Tuesday, 19 January 2016

Makalah Syirkah dan Mudharabah

A.      Latar Belakang
Syirkah  menurut bahasa berarti al-ikhtilath  yang beraati campuran atau percampuran. Demikian dinyatakan oleh Taqiyudin. Maksud percampuran di sini ialah seseoramg mempercampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk di bedakan. Menurut Malikiyah syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan pintar. Syafi’iyah berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkan ‘inan, sedangkan syirkah yang lain batal.
Sedangkan, Menurut bahasa Mudharabah  atau  qiradh diambil dari kata qordhu yang berarti potongan, sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada pengusahah agar mengusahakan harta tersebut, dan pengusaha akan memberikan potongan dari laba yang diperoleh. Bisa juga diambil dari kata muqabaradha yang berarti kesamaan, sebeb pemilik modal dan pengusaha memiliki hak yang sama terhadap laba.
Berdasarkan uraian di atas maka kami mempersembahkan makalah yang berjudul “Syirkah dan Mudharabah” yang juga sebagai salah satu kewajiban memenuhi tugas pada mata perkuliahan Agama Islam II. Diharapkan makalah yang sudah kami buat semaksimal mungkin ini, dapat berguna bagi siapa saja. Dan semoga makalah ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi kita semua.

B.       Rumusan Masalah
1.         Apa Pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, dan macam-macam syirkah?
2.         Apa Pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, dan macam-macam mudharobah?


C.      Tujuan
Untuk mengetahui:
1.         Pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, dan macam-macam syirkah.
2.         Pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, dan macam-macam mudharobah.
























BAB II
PEMBAHASAN

A.      SYIRKAH
1.         Pengertian syirkah
Secara etimologi syirkah atau perkongsian berarti percampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainya , tanpa dapat di bedakan antara keduanya. Sedangkan, Menurut terminologi ulama’ fiqih beragam pendapat dalam mengklasifikasikannya, antara lain:[1]
a.         Menurut malikiyah:
“perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang di miliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk tasharruf”.
b.        Menurut hanabilah:
“perhimpunan adalah hak (kewenangan) atau pengolahan harta (tasarruf)”.
c.         Menurut syafi’iyah:
“ketetapan hak pada sesuatu yang dimiliki dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui)”.
d.        Menurut hanafiyah:
“ungkapan tentang adanya transaksi (akad) antara dua orang yang bersekutu pada pokok harta dan keuntungan”.
2.         Dasar hukum syirkah
Dasar  hukum syirkah (perseroan) terdapat dalam al-qur’an, al-hadist, dan ijma’, berikut ini:[2]
a.         Al-qur’an
….الثُّلُثِ فِي شُرَكَاءُ فَهُمْ….

Artinya: “ mereka bersekutu dalam yang sepertiga”. (QS. An-Nisa’ ayat 12).

وَ اِنَّ كَثِيْرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِىْ بَعْضُهُمْ عَلَيَ بَعْضٍ اِلاَّ الَّذِيْنَ اَمَنُوْا وَعَمِلُوْا                                                        الصَّلِحَاتِ وَقَلِيْلٌ مَا هُمْ.... (ص                                            

Artinya: “ sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian meraka berbuat zholim kepada sebagian yang lain , kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan amat sedikitlah meraka ini”. (QS. Shad ayat 24).
b.        Al-hadist

عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ اِليَ النَّبِيِّ ص م قَالَ:اِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُوْلُ : اَنَا ثَالِثُ                                 الشَّرِيْكَيْنِ مَالَمْ يَخُنْ اَحَدُ هُمَا صَاحِبَهُ فَاِذَا خَا نَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا   
                                          (روه ابوداودوالحاكم وصحه اسناده)                                                   
Artinya: “ Dari abu huraira yang di rafa’kan kepada Nabi SAW , bahwa Nabi SAW bersabda, “ sesungguhnya allah SWT . berfirman, “aku adalah yang ketiga pada dua orang yang bersekutu, selama salah seorang dari keduanya tidak menghianati temanya, aku akan keluar dari persekutuan tersebut apabila salah seorang menghianatinya”.
(HR. Abu Dawud dan Hakim dan menyahitkan sanadnya).
Maksudnya, allah SWT. Akan menjaga dan menolong dua orang yang bersekutu dan menurunkan berkah pada pandangan meraka. Jika salah seorang yang bersekutu itu menghianati temanya, allah SWT. Akan menghilangkan pertolongan dan keberkahan tersebut.
Legalitas perkongsian pun di perkuat, ketika nabi diutus, masyarakat sedang melakukan perkongsian. Beliau bersabda:

يد الله على الشريكين ما لم يتخاونا (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Kekuasaan allah SWT senantiasa berada pada dua orang yang bersekutu selam keduanya tidak berkhianat”. (HR. Bukhari dan Muslim).
c.         Al-ijma’
Umat islam sepakat bahwa syirkah di bolehkan. Hanya saja, meraka berbeda pendapat tentang jenisnya.[3]
3.         Syarat–syarat syirkah
Syarat–syarat syirkah sebagai berikut:[4]
a.         Lafad akad atau surat perjanjian yang berarti izin untuk membelanjakan barang serikat dan penentuan persentase keuntungan. Dengan kata lain, anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya jelas, sehingga ada pedoman operasional yang jelas.
b.        Anggota perseorangan atau perkongsian harus memenuhi syarat:
1)        Sehat akalnya.
2)        Balig (setidaknya sudah berumur 15).
3)        Merdeka dan dengan kehendak sendiri (tidak dipaksa).
c.         Pokok atau modal harus jelas, dengan ketentuan sebagai berikut:
1)        Jika modal bukan berupa uang, yakni berupa barang, maka barang tersebut dapat dihitung dengan nilai uang atau dapat diuangkan.
2)        Jika terjadi dua jenis barang pokok yang berbeda, maka keduanya dicampurkan sehingga sebelum akad, kedua jenis barang ini tidak dapat dibedakan lagi.[5]
4.         Rukun syirkah
Rukun-rukun syirkah (berwakil) adalah:
a.         Muwakil (orang yang berwakil). Disyartkan bahwa orang yang berwakil itu sah melaukan apa yang di wakilkannya, sebab milik atu di bawah kekuasaanya. Maka tidaklah sah berwakil orang yang tidak ahli milik, atau ahli wilayah, seperti anak kecil, orang gila, dan lain-lain.
b.        Wakil. Disyaratkan bahwa wakil itu sah melakukan apa yang di wakilkan kepadanya, tak ubahnya seperti orang yang berwakil. Maka tidaklah sah wakil bagi anak kecil, orang gila, dll, sebab ia tidak ahli tassaruf (tidak boleh mengendalikan harta benda).
c.         Muakkal fih (sesuatu yang diwakilkan). Disyaratkan bahwa muwakkal fih itu adalah:
1)        Menerima penggantian, artinya boleh di wakilan kepada orang lain untuk mengerjakanya. Tidaklah sah mewakilkan shalat dan ibadah yang sifatnya fardhu ain sebagaimana telah disebutkan diatas.
2)        Dimiliki oleh orang yang berwakil. Tidaklah sah mewakilkan menjual barang yang akan dibeli.
3)        Diketahui dengan jelas. Tidaklah sah wakil orang yang berkata “aku mewakilkan kepada engkau untuk menikahkan salah seorang anakku”, dan lainya.
4)        Shigat (lafal wakil). Disyaratkan bahwa shigat itu adalah ucapan dari orang yang berwakil menyatakan kerelaannya, yaitu hendaklah ia berkata, “aku wakilkan ini….kepada engkau, atau kepada si….” Tidak disyaratkan Kabul dari ysng menerima wakil, tetapi disyarakan agar ia tidak menolak.[6]
5.         Macam-macam syirkah
Syirkah/perkongsian terbagi atas dua macam, yaitu perkongsian amla’ (kepemilikan) dan perkongsian uqud (kontrak), sabagi berikut:
a.         Perkongsian amla’
Adalah dua orang atau lebih yang memiliki barang tanpa adanya akad. Perkongsian ini ada dua macam, yakni:
1)        Perkongsian sukarela (ikhtiar) adalah perkongsian yang muncul karena adanya kontrak dari dua orang yang bersekutu. Contohnya: dua orang membeli/memberi atau berwasiat tentang sesuatu dan keduanya menerima, maka jadilah pembeli , yanag di beri , dan yang di beri wasiat bersekutu diantara keduanya, yakni perkongsian milik.
2)        Perkongsian paksaan (ijbar) adalah perkongsian yang di tetapkan kepada dua orang atau lebih yang bukan di dasarkan atas perbuatan keduanya, seperti dua orang mewariskan sesuatu, maka yang di beri waris menjadi sekutu mereka.
Hukum kedua jenis perkongsian ini adalah salah seorang yang bersekutu seolah-olah sebagai orang lain di hadapan yang bersekutu lainya. Oleh karena itu, salah seorang di antara meraka tidak boleh mengolah (tasharruf) harta perkongsian tersebut tanpa izin dari teman sekutunya, kaerena keduanya tidak mempunyai wewenang untuk menentukan bagian masing-masing.[7]
b.        Perkongsian uqud
Perkongsian ini merupakan bentuk transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk bersekutu dalam harta dan keuntunganya. Pegertian ini sama dengan pengertian perseroan yang telah di kemukakan oleh ulama’ hanafiyah di atas.
Secara umum, fuqaha mesir, yang kebanyakan bermadzhab syafi’i dan maliki, berpendapat bahwa perkongsian terbagi atas empat macam, yaitu:[8]
1)        Perkongsian ‘inan
Adalah persekutuan antara dua orang dalam harta milik untuk berdagang  secara bersama-sama, dan membagi laba atau kerugian bersama-sama.Ulama’ fiqih sepakat membolehkan perkongsian jenis ini. Hanya saja meraka berbeda pendapat dalam menentukan persyaratanya, sebagaimana meraka berbeda pedapat dalam memberikan namanya.
Perkongsian ini banyak dilakukan oleh manusia karena di dalamya tidak di syaratkan adanya kesamaan dalam modal dan pengolahan (tasharruf). Boleh saja modal satu orang lebih banyak di bandingkan lainya, sebagaimana di bolehkan juga seseorang bertanggung jawab sedang yang lain tidak. Begitu pula dalam bagi hasil, dapat sama dapat juga berbeda, bergantung pada persetuhuan, yang mereka buat sesuai dengan syarat transaksi.[9]
2)        Perkongsian mufawidhah
Arti dari mufawidhah menurut bahasa adalah persamaan. Dinamakan mufawidhah antara lain sebab harus ada kesamaan dalam modal, keuntungan, serta bentuk kerja sama lainnya. Menurut istilah, perkongsian mufawidhah adalah transaksi dua orang atau lebih untuk berserikat dengan syarat memiliki kesamaan dalam jumlah modal, penentuan keuntungan, pengolahan, serta agama yang di anut.
Dengan demikian, setiap orang akan menjamin yang lain, baik dalam pemberian atau penjualan. Orang yang bersekutu tersebut saling mengisi dalam hak dan kewajibannya, yakni masing-masing menjadi wakil yang lain atau menjadi orang yang di wakili oleh lainnya.[10]
3)        Perkongsian wujuh
Adalah bersekutunya dua pemimpin dalam pandangan masyarakat tanpa modal, untuk membeli barang secara tidak kontan, kemudian keuntungan yang di peroleh di bagi di antara mereka dengan syarat tertentu. Penamaan wujuh karena tidak terjadi jual beli secara tidak kontan jika keduannya tidak di anggap pemimpin dalam pandangan manusia secara adat. Perkongsian ini pun di kenal sebagai bentuk perkongsian karena adanya tanggung jawab bukan kerena modal atau pekerjaan.
4)        Perkongsian a’mal atau abdan
Adalah persekutuan dua orang untuk menerima suatu pekerjaan yang akan dikerjakan secara bersama-sama. Kemudian keuntungan di bagi diantara keduannya dengan menetapkan persyaratan tertentu. Perkongsian jenis ini terjadi, misalnya diantara dua orang penjahit, tukang besi, dan lain-lain. Perkongsian ini disebut juga dengan perkongsian shana’I dan taqabbul.[11]
B.       MUDHARABAH
1.         Pengertian mudharabah
Mudharabah atau qiradh termasuk salah satu bentuk akad syirkah atau perkongsian. Istilah mudharabah digunakan oleh orang irak, sedangkan orang hijaz menyebutnya dengan istilah qiradh. Dengan demikian, mudharabah atau qiradh adalah dua istilah untuk maksud yang sama.
Menurut bahasa, qiradh diambil dari kata qordhu yang berarti potongan, sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan  kepada  pengusahah agar  mengusahakan  harta tersebut, dan  pengusaha akan  memberikan potongan dari laba yang diperoleh. Bisa juga diambil dari kata muqaradhah yang berarti kesamaan, sebeb pemilik modal dan pengusaha memiliki hak  yang sama  terhadap laba.
Orang irak menyebutnya dengan istilah mudharabah. Sebab setiap yang melakukan akad memiliki bagian dari laba, atau pengusaha harus mengadakan perjalanan dalam mengusahakan harta modal tersebut.
Mengenai pengertian  mudharabah menurut istilah, diantara ulama fiqih terjadi perbedaan pendapat, salah satunya adalah :

اَنْ يَدْ فَعَ الْمَا لِكُ اِلَيَ  الْعَا مِلِ مَا لاً لِيَتَّجِرَ فِيْهِ وَ يَكُوْ نُ الرِّبْحُ مُشْتَرِ كًا بَيْنَهُمَا بِحَسْبِ
  مَا شُرِ طَا.
Artinya: “Pemilik harta menyerahkan  modal kepada pengusaha untuk berdagang dengan modal tersebut, dan laba dibagi di antara keduanya berdasarkan persyaratan yang disepakati.”
Apabila rugi, hal itu ditanggung oleh pemilik modal. Dengan kata lain , pekerja tidak bertanggung jawab atas kerugiannya. Kerugian pengusaha hanyalah dari segi kesungguhan dan pekerjaanya yang tidak akan mendapat imbalan jika rugi.
Dari pengertian diatas , dapat diketahui bahwa modal boleh berupa barang yang tidak dibayarkan, seperti rumah. Begitu pula tidak boleh berupa hutang. Pemilik modal memiliki hak untuk mendapatkan laba sebab modal tersebut memilikinya, sedangkan pekerja mendapatkan laba dari hasil pekerjaanya.
2.         Dasar hukum mudharabah
Ulama’ fiqih sepakat bahwa mudharabah disyaratkan dalam  islam berdasarkan Al-qur’an , Sunah, Ijma’, dan Qiyas. Sebagai berikut:
a.         Al-Qur’an
Ayat-ayat yang berkenaan dengan mudharabah , antara lain :
وَاَخَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِيْ الاَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللهِ (المزمل)
Artinya:  “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagai karunia allah”. (QS. Al-mujammil: 20)

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَا نْتَشِرُوْا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوْا
                                                                      مِنْ فَضْلِ اللهِ ......(الجمعة:٠٢)      
Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilaah karuniaa allah”. (QS. Al-Jumu’ah : 10).
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلاًمِنْ رَبِّكُمْ (البقرة:۱۹۸)
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari tuhan-Mu”. (QS. Al-Baqarah : 198).[12]
b.        As-sunah
Di antara hadist yang berkaitan dengan mudharabah adalah hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Shuhaib bahwanabi SAW, bersabda:

ثَلاَ ثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ : اَلْبَيْعُ اِلَيَ اَجَلٍ وَالْمُقَارَضَةُ وَخَلْطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ
 لاَ لِلْبَيْعِ (رواه ابن ما جه عن  صهيب)
Artinya: “Tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual-beli yang ditangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain), dan yang mencamprkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk diperjualbelikan.” (HR. Ibn Majah dan Shuhaib).
Dalam hadist yang lain diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibn Abbas bahwa Abbas Muthalib jika memberikan harta untuk mudharabah, dia mensyaratkan kepada pengusaha untuk tidak melewati lautan , menuruni jurang, dan membeli hati yang lembab. Jika melanggar persyaratan tersebut, ia harus menanggungnya. Persyaratan tersebut disampaiakan kepada Rasulullah SAW. Dan beliau membolehkannya.
c.         Ijma’
Di antara ijma’ dalam  mudharabah adanya riwayat yang menyatakan bahwa jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainya.
d.        Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada al-musyaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun). Selain di antara manusia, ada yang miskin dan ada yang kaya. Distu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan meraka.
3.         Syarat–syarat mudharabah
Syarat–syarat mudharabah ada 3 macam, sebagai berikut:
a.         Syarat Aqidani (dua orang yang akan akad)
Di syaratkan orang yang akan melakukan akad, yakni pemilik modal dan pengusaha adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil, sebab mudharib mengusahakan harta pemilik modal, yakni menjadi wakil. Namun demikian, tidak disyaratkan harus muslim. Mudharabah dibolehkan dengan orang kafir dzimmi atau orang kafir yang dilindungi di Negara islam.Adapun ulama malikiyah memahruhkan mudharabah dengan kafir dzimmi jika mereka tidak melakukan riba dan melarangnya jika meraka melakukan riba.
b.        Syarat Modal
1)        Modal harus berupa uang, seperti dinar, dirham, atau sejenisnya.
2)        Modal harus diketahui dengan jelas dan memiliki ukuran.
3)        Modal harus ada, bukan berupa utang, tetapi tidak berarti harus ada di tempat akad.
Modal harus di berikan kepada pengusaha. Hal itu di maksudkan agar pengusaha dapat mengusahakanya, yakni menggunakan harta tersebut sebagai amanah.[13]
c.         Syarat Laba
1)        Laba harus memiliki ukuran.
2)        Laba harus berupa bagian yang umum (masyhur).
4.         Rukun mudharabah
Rukun mudharabah adalah ijab dan qobul yang dilakukan oleh orang yang layak yang  melakukan akad. Akad  mudharabah tidak disyaratkan adanya lafadz tertentu, akan tetapi dapat diungkapkan dengan bentuk apapun yang menunjukkan makna mudharabah. Akad dinilai dari tujuan dan maknanya, bukan lafadz dan ungkapan verbal.[14]
5.         Macam-macam mudharabah
Secara umum mudharabah dapat dibagi menjadi dua macam yaitu:
a.         Mudharabah muthlaqoh
Dimana pemilik modal (shahibul maal) memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf).



b.        Mudharabah muqoyyadah
Dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya.


























BAB III
PENUTUP


A.      Kesimpulan
Berdasarkan seluruh uraian yang sudah di bahas di atas, maka kami dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Syirkah secara etimologi berarti percampuan, sedangkan menurut terminologi ulama’ fiqih beragam pendapat. Seperti halnya menurut malikiyah “perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharuf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk tasharuf”. Dasar hukum syirkah ada tiga, yakni: Al-qur’an, Al-hadist, dan Al-ijma’. Syarat syirkah ada tiga, yakni: lafad akad harus jelas, anggota syirkah harus memenuhi syarat, dan modal harus jelas. Rukun syirkah ada tiga, yakni: muwakil, wakil, dan muakkal fih. Sedangkan macam-macam syirkah ada dua yakni: syirkah amla’ dan syirkah uqud.
2.      Pengertian mudharabah sama halnya dengan qiradh yang berarti potongan. Dasar hukum mudharabah ada empat, yakni: Al-qur’an, As-sunah, ijma’, dan qiyas. Syarat mudharabah ada tiga, yakni: syarat aqidani, syarat modal, syarat laba. Rukun mudharabah adalah ijab dan qobul. Macam-macam mudharabah ada dua, yakni: mudharabah muthlaqoh dan mudharabah muqoyyadah.

B.       Saran
Setelah disusunnya makalah mengenai Agama Islam II ini, diharapkan dapat menambah wawasan pembaca khususnya di mata kuliah Agama Islam II. Disamping itu kami juga menyadari bahwa pada makalah  ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami menerima kritik maupun saran yang membangun agar dalam pembuatan tugas selanjutnya lebih baik lagi.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an terjemah.
Mas’ud Ibnu  dan Abidin Zainal. 1997. Fiqih madzhab syafi’I, buku 2. Bandung : Pustaka Setia.
Syafe’I Rachmat. 1997. Fiqih Muamalah. Bandung : Gunung Djati Press.
Sabiq Sayyid. 2004. Fiqih Sunnah,  jilid 4. Jakarta Pusat : Pena Pundi Aksara.
Achmadi W. 2005. Islam jalan hidupku. Klaten : Cempaka putih.



[1] Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, (Gunung Djati Press, Bandung, 1997), hlm : 184
[2] Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, ....... hlm : 185
[3] Rachmat Syafe’I,  Fiqih Muamalah, ....... hlm : 185
[4] Achmadi W, Islam jalan hidupku , (klaten: Cempaka putih 2005), hlm: 84
[5] Achmadi W, Islam jalan hidupku, .......  hlm: 84
[6] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin S., Fiqih madzhab syafi’i, buku 2, ....... hlm : 115-116
[7] Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, (Gunung Djati Press, Bandung, 1997), hlm : 187
[8] Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, .......  hlm : 187
[9] Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, (Gunung Djati Press, Bandung, 1997), hlm : 189
[10] Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, ......  hlm : 190-192
[11] Rachmat Syafe’I,, Fiqih Muamalah, ....... hlm : 223-224
[12] Rachmat Syafe’I,, Fiqih Muamalah, ....... hlm : 225-226
[13] Rachmat Syafe’I, MA, Fiqih Muamalah, (Gunung Djati Press, Bandung, 1997), hlm : 228
[14] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 4(2004), hlm : 218

No comments:

Post a Comment