BAB II
LANDASAN TEORI
Perkembangan
teori ekonomi Islam telah dimulai
sejak diturunkannya ayat-ayat Al-Qur’an tentang ekonomi,
seperti: QS. Al-Baqarah ayat
275
dan 279 tetang jual-beli dan riba; QS. Al-Baqarah ayat 282 tentang pembukuan
transaksi; QS. Al-Maidah ayat 1 tentang akad; QS. Al-A’raf ayat 31, An-Nisa’
ayat 5 dan 10 tentang pengaturan pencarian, penitipan dan membelanjakan harta.
Ayat-ayat ini, menurut At-Tariqi[3] menunjukkan bahwa Islam telah menetapkan
pokok ekonomi sejak pensyariatan Islam (Masa Rasulullah SAW) dan dilanjutkan
secara metodis oleh para penggantinya (Khulafaur Rosyidin). Pada masa ini
bentuk permasalaan perokonomian belum sangat variatif, sehingga teori-teori
yang muncul pun belum beragam. Hanya saja yang sangat subtansial dari
perkembangan pemikiran ini adalah adanya wujud komitmen terhadap realisasi visi
Islam rahmatan lil ‘alamin. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam dari sejak
masa nabi sampai sekarang dapat dibagi menjadi 6 tahapan.[4]
1) Tahap Pertama
(632-656M), Masa Rasulullah SAW antara
lain;
a. Penghapusan riba.
b. Pengenalan etika bisnis dan transaksi
syariah.
c. Pendirian baitul mal.
2) Tahap Kedua (656-661M),
pemikiran ekonomi Islam di Masa Khulafaur Rosyidin antara lain:
a. Melanjutkan fungsi baitul mal dalam
mengatur sirkulasi keuangan.
b. Muncul para banker individual
(jihbiz/jahabiz) berfungsi sbg pemungut pajak,
melayani kebutuhan uang masyarakat.
3) Tahap Ketiga
atau Periode Awal (738-1037), Pemikir Ekonomi Islam periode ini diwakili
Zayd bin Ali (738M), Abu Hanifa (787 M), Awzai (774), Malik (798), Abu Yusuf
(798 M), Muhammad bin Hasan Al Syaibani (804), Yahya bin Dam (818 M), Syafi’I
(820 M), Abu Ubayd (838 M), Amad bin Hambal (855 M), Yahya bin Hambal (855 M),
Yahya bin Umar (902 M), Qudama bin Jafar (948 M), Abu Jafar al Dawudi (1012 M),
Mawardi (1058 M), Hasan Al Basri (728 M), Ibrahim bin Dam (874 M) Fudayl bin
Ayad (802 M), Makruf Karkhi (815 M), Dzun Nun Al Misri (859), Ibn Maskawih
(1030 M), Al Kindi (1873 M), Al Farabi (950 M), Ibnu Sina (1037).
4) Tahap
Keempat atau Periode Kedua (1058-1448 M). Pemikir Ekonomi Islam Periode ini Al
Gazali (1111 M), Ibnu Taymiyah (1328 M), Ibnu Khaldun (1040 M), Syamsuddin Al
Sarakhsi (1090 M), Nizamu Mulk Tusi (1093 M), Ibnu Masud Al kasani (1182 M),
Al-Saizari (1993), fakhruddin Al Razi (1210 M), Najnudin Al Razi (1256 M),
Ibnul Ukhuwa (1329 M), Ibnul Qoyyim (1350 M), Muhammad bin Abdul rahman Al
Habshi (1300 M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M), Al Maqrizi (1441 M), Al
Qusyairi (857), Al Hujwary (1096), Abdul Qadir Al Jailani (1169 M), Al Attar
(1252 M), Ibnu Arabi (1240), Jalaluddin Rumi (1274 M), Ibnu Baja (1138 M),
Ibnulk Tufayl (1185 M), Ibnu Rusyd (1198 M).
5) Tahap
Kelima atau Periode Ketiga (1446-1931 M). Shah Walilullah Al Delhi (1762 M),
Muhammad bin Abdul Wahab (1787 M), Jamaluddin Al Afghani (1897 M), Mufti
Muhammad Abduh (1905 M), Muhammad Iqbal (1938 M), Ibnu Nujaym (1562 M), Ibnu
Abidin (1836), Syeh Ahmad Sirhindi (1524M).
6) Tahap
Keenam atau Periode Lanjut (1931 M –
Sekarang). Muhammad Abdul Mannan (1938), Muhammad Najatullah Siddiqi (1931 M),
Syed Nawad Haider Naqvi (1935), Monzer Kahf, Sayyid Mahmud Taleghani, Muhammad
Baqir as Sadr, Umer Chapra.
Banyak
sekali keterangan dari Al-Qur’an yang menyinggung masalah ekonomi, baik secara
eksplisit maupun implisit. Bagaimana jual-beli yang baik dan sah menurut Islam,
pinjam meminjam dengan akad yang sah sampai dengan pelarangan riba dalam
perekonomian. Walaupun pada kitab suci sebelumnya juga pernah disebutkan,
dimana perbuatan riba itu dibenci Tuhan. Sedangkan pada tatanan teknisnya
diperjelas dengan hadist
serta teladan dari Rasulullah dan para alim ulama.
Dari
namanya sudah dapat dipastikan bahwa secara ideologi sistem ekonomi Islam
kental dengan nuansa keislaman. Sistem ekonomi Islam memberikan tuntunan pada
manusia dalam perilakunya untuk memenuhi segala kebutuhannya dengan
keterbatasan alat pemuas dengan jalan yang baik dan alat pemuas yang tentunya
halal, secara dzatnya maupun secara perolehannya.
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Sejarah Kebangkitan Ekonomi Islam
Sesungguhnya
telah sepuluh abad sebelum orang-orang Eropa menyusun teori-teori tentang
ekonomi, telah diturunkan oleh Allah Swt sebuah analisa tentang ekonomi yang
khas di daerah Arab. Hal yang lebih menarik adalah bahwa analisa ekonomi
tersebut tidak mencerminkan keadaan bangsa Arab pada waktu itu, tetapi adalah
untuk seluruh dunia. Jadi sesungguhnya hal tersebut merupakan hidayah dari
Allah Swt, Tuhan yang mengetahui sedalam-dalamnya akan isi dan hakikat dari
segala sesuatu. Kemudian struktur ekonomi yang ada dalam firman Allah dan sudah
sangat jelas aturan-aturannya tersebut, pernah dan telah dilaksanakan dengan
baik oleh umat pada waktu itu. Sistem ekonomi tersebut adalah susatu susunan
baru yang bersifat universal, bukan merupakan ekonomi nasional bangsa Arab.
Sistem ekonomi tersebut dinamakan ekonomi Islam.
Berbagai
pemikiran dari para sarjana ataupun filosof-filosof zaman dahulu mengenai
ekonomi tersebut juga sudah ada. Diantaranya adalah pemikiran Abu Yusuf
(731-798 M), Yahya Ibnu adam (wafat 818 M), Al-Farabi (870-950 M), Ibnu Sina
(980-1037 M), el-Hariri (1054-1122 M), Imam al-Ghozali (1058-1111 M), Tusi
(1201-1274 M), Ibnu Taimiyah (1262-1328 M), Ibnu Khaldun (1332-1406 M) dan
lain-lain . Barangkali tidaklah pada tempatnya untuk menyebut secara singkat
sumbangan dari beberapa diantara mereka itu. Sumbangan Abu Yusuf terhadap
keuangan umum adalah tekanannya terhadap peranan negara, pekerjaan umum dan
perkembangan pertanian yang bahkan masih berlaku sampai sekarang ini.
Gagasan
Ibnu Taimiyah tentang harga ekuivalen, pengertiannya terhadap ketidaksempurnaan
pasar dan pengendalian harga, tekanan terhadap peranan negara untuk menjamin
dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat dan gagasannya terhadap hak milik.
Memberikan sejumlah petunjuk penting bagi perkembangan ekonomi dunia sekarang
ini. Ibnu Khaldun telah memberikan definisi ekonomi yang lebih luas dari Tusi.
Dia menganggap bahwa ilmu ekonomi merupakan ilmu pengetahuan yang positif
maupun normatif. Maksudnya mempelajari ekonomi adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, dan bukan kesejahteraan individu. Ibnu Khaldun yang
telah melihat adanya hubungan timbale balik antara factor-faktor ekonomi,
politik, sosial, etika dan pendidikan. Dia memperkenalkan sejumlah gagasan
ekonomi yang mendasar seperti pentingnya pembagian kerja, pengakuan terhadap
sumbangan kerja dalam teori nilai, teori mengenai pertumbuhan penduduk,
pembentukan modal, lintas perdagangan, sistem harga dan sebagainya.
Secara
keseluruhan para cendekiawan tersebut pada umumnya dan Ibnu Khaldun pada khususnya
dapat dianggap sebagai pelopor perdagangan fisiokrat dan klasik (misalnya Adam
Smith, Ricardo dan Malthus) dan neo klasik (misalnya Keynes).
Sebutan
ekonomi Islam melahirkan kesan beragam. Bagi sebagian kalangan, kata “Islam”
memposisikan Ekonomi Islam pada tempat yang sangat ekslusif, sehingga
menghilangkan nilai kefitrahannya sebagai tatanan bagi semua manusia. Bagi
lainnya, ekonomi Islam digambarkan sebagai ekonomi hasil racikan antara aliran
kapitalis dan sosialis, sehingga ciri hal khusus yang dimiliki oleh ekonomi
Islam itu sendiri hilang.
Sebenarnya
ekonomi Islam adalah satu sistem yang mencerminkan fitrah dan ciri khasnya
sekaligus. Dengan fitrahnya ekonomi Islam merupakan satu sistem yang dapat
mewujudkan keadilan ekonomi bagi seluruh umat. Sedangkan dengan cirri khasnya,
ekonomi Islam dapat menunjukan jati dirinya-dengan segala kelebihannya pada
setiap sistem yang dimilikinya.
Ekonomi
Rabbani menjadi ciri khas utama dari model Ekonomi Islam. Chapra menyebutnya
dengan Ekonomi Tauhid. Tapi secara umum dapat dikatakan sebagai divine
economics. Cerminan watak “ketuhanan” ekonomi Islam bukan aspek pelaku
ekonominya - sebab pelakunya pasti manusia – tetapi pada aspek aturan atau
sistem yang harus dipedomani oleh pelaku ekonomi. Ini didasarkan pada keyakinan
bahwa semua factor ekonomi termasuk diri manusia pada dasarnya adalah milik
Allah, dan kepadaNya (kepada aturanNya) dikembalikan segala urusan (QS 3:109).
Melalui aktivitas ekonomi, manusia dapat mengumpulkan nafkah sebanyak mungkin,
tetapi tetap dalam batas koridor aturan main. “Dialah yang memberi kelapangan
atau membatasi rezeki orang yang Dia kehendaki” (QS. 42:12,13, 26). Atas hikmah
Ilahiah, untuk setiap makhluk hidup telah Dia sediakan rezekinya selama ia
tidak menolak untuk mendapatkannya (QS 11:6) Namun Allah tak pernah menjamin
kesejahteraan ekonomi tanpa manusia tadi melakukan usaha.
Sebagai
ekonomi yang ber-Tuhan maka ekonomi Islam – meminjam istilah dari Ismail
al-faruqi – mempunyai sumber “nilai-nilai normative-imperatif”, sebagaim acuan
yang mengikat. Dengan mengakses kepada aturan Ilahiah, setiap perbuatan manusia
mempunyai nilai moral dan ibadah. Setiap tindakan manusia tidak boleh lepas
dari nilai yang secara vertical merefleksikan moral yang baik, dan secara
horizontal memberi manfaat bagi manusia dan makhluk lainnya.
Sistem
ekonomi Islam mengalami perkembangan sejarah baru pada era modern. Menurut
Khurshid Ahmad, yang dikenal sebagai bapak ekonomi Islam, ada tiga tahapan
perkembangan dalam wacana pemikiran ekonomi Islam, yaitu :
1) Tahapan
Pertama, dimulai ketika sebagian ulama, yang
tidak memiliki pendidikan formal dalam bidang ilmu ekonomi namun memiliki
pemahaman terhadap persoalan-persoalan sosio-ekonomi pada masa itu, mencoba
untuk menuntaskan persoalan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu
haram dan kaum muslimin harus meninggalkan hubungan apapun dengan perbankan
konvensional. Mereka mengundang para ekonom dan banker untuk saling bahu
membahu mendirikan lembaga keuangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip
syariah dan bukan pada bunga. Masa ini dimulai kira-kira pada pertengahan
decade 1930-an dan mengalami puncak kemajuannya pada akhir decade 1950-an dan
awal decade 1960-an. Pada masa itu di Pakistan didirikan Bank Islam local yang
beroperasi bukan pada bunga, lembaga keuangan ini diberi nama Mit Ghomr Local
Saving Bank yang berlokasi di delta sungai Nil, Mesir.
2) Tahapan
Kedua, dimulai pada akhir dasa warsa 1960-an.
Pada tahapan ini para ekonom muslim yang pada umumnya dididik dan dilatih di
perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat dan Eropa mulai mencoba
mengembangkan aspek-aspek tertentu dari sistem moneter Islam. Mereka melakukan
analisis ekonomi terhadap larangan riba (bunga) dan mengajukan alternatif
perbankan yang tidak berbasis bunga. Serangkaian konferensi dan seminar tentang
ekonomi Islam digelar dengan mengundang para pakar, ulama, ekonom baik muslim
dan nonmuslim. Konfrensi internasional pertama tentang ekonomi Islam pertama
diadakan di Makkah al-Mukaromah pada tahun 1976 yang disusul kemudian dengan
konferensi internasional tentang Islam dan Tata Ekonomi internasional yang baru
di London pada tahun 1977. Pada tahapan ini muncul nama-nama ekonom muslim
terkenal diseluruh dunia Islam antara
lain : Prof. Dr. Khurshid Ahmad yang dinobatkan sebagai bapak ekonomi Islam,
Dr. M. Umer Chapra, Dr. MA. Mannan, Dr. Omar Zubair, Dr. Ahmad An-Najjar, Dr.
M. Nezatullha Siddiqi, Dr. Fahim Khan, Dr. Munawwar Iqbal, Dr. Muhammad Ariff,
Dr. Anas Zarqa dan lain-lain. Mereka adalah ekonom-ekonom yang didik di barat
tetapi memahami sekali bahwa Islam sebagai way of live yang integral dan
komprehenshif memiliki sistem ekonomi tersendiri dan jika diterapkan dengan
baik akan mampu membawa umat Islam kepada kedudukan yang berwibawa dimata
dunia.
3) Tahapan
ketiga ditandai dengan upaya-upaya konkrit
untuk mengembangkan perbankan dan lembaga-lembaga non-riba baik dalam sektor
swasta maupun dalam sektor pemerintah. Tahapan ini merupakan sinergi konkrit
antara usaha intelektual dan material para ekonom, pakar, banker, para
pengusaha dan para hartawan muslim yang memiliki kepedulian kepada perkembangan
ekonomi Islam. Pada tahapan ini sudah
mulai didirikan bank-bank Islam dan lembaga investasi berbasis non-riba
dengan konsep yang lebih jelas dan pemahaman ekonomi yang lebih mapan. Bank
Islam pertama yang didirikan adalah Islamic Development Bank (IDB) pada tahun
1975 di Jeddah, Saudi Arabia. Bank Islam ini merupakan kerjasama antara
negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Selanjutnya bermunculan bank-bank syariah di mayoritas negara-negara Islam
termasuk di Indonesia.
B. Pengertian & Prinsip Dasar Ekonomi
Islam
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang
mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan
agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman
dan rukun Islam. Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah SWT
memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105:
“Dan
katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang
beriman akan melihat pekerjaan itu.Karena kerja membawa pada keampunan”,
sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad SAW :
“Barang
siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu
ia mendapat ampunan.” (HR.Thabrani dan Baihaqi).
Definisi Ekonomi Islam menurut para pakar antara lain;
Ekonomi Islam adalah cabang ilmu yang
membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi
sumber daya yang langka, sejalan dengan ajaran islam tanpa membatasi kebebasan
individu ataupun menciptakan ketidakseimbangan makro dan ekologis ( Chapra,
1996: 33).
Ekonomi Islam adalah suatu aplikasi petunjuk dan aturan syariah
yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh dan menggunakan sumber potensial
agar memenuhi kebutuhan manusia dan agra dapat menjalankan kepada Allah dan
Masyarakat. (
Hasanuzzaman, 1984: 18).
Ekonomi Islam adalah
suatu kajian studi
bersifat universal artinya tidak terkait dengan sebuah ideologi tertentu. Ia
dapat dikembangkan dan diadopsi dari
manapun selama tidak kontraduktif dengan sistem ekonomi yang diatur islam (An
Nabhani, 1990)
Para pakar ekonomi Islam memberikan
definisi ekonomi Islam yang berbeda-beda akan tetapi semuanya bermuara pada
pengertian yang relatif sama yaitu; suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk
memandang, meninjau, meneliti dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan
ekonomi secara
Islami (berdasarkan ajaran-ajaran Islam).
Sedangkan
prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam menurut Umer Chapra adalah sebagai berikut
:
a)
Prinsip Tauhid,
ini bermakna bahwa segala apa yang di alam semesta ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh
Allah SWT. Bukan kebetulan, dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah
yang memberikan signifikansi dan makna pada eksistensi jagat raya, termasuk
manusia yang menjadi salah satu penghuni di dalamnya.
b)
Prinsip Khilafah,
Manusia adalah khilafah Allah SWT. Di muka bumi. Ia dibekali dengan perangkat
baik jasmaniah maupun rohaniah untuk dapat berperan secara efektif sebagai
khilafah-Nya.
c)
Prinsip Keadilan,
Keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam.
C. Tujuan Ekonomi Islam
Segala aturan yang diturunkan Allah SWT
dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan,
keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada
seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu
manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Seorang Fuqaha asal Mesir bernama
Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang
menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia,
yaitu:
a) Penyucian jiwa, agar setiap muslim bisa
menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
b) Tegaknya keadilan dalam masyarakat,
Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
c) Tercapainya Maslahah (Inti), Para ulama
menyepakati bahwa maslahah yang menjadi puncak sasaran di atas mencakup lima
jaminan dasar :
·
keselamatan
keyakinan agama ( ad din)
·
kesalamatan
jiwa (an nafs)
·
keselamatan
akal (al aql)
·
keselamatan
keluarga dan keturunan (an nasl)
·
keselamatan
harta benda (al mal)
D. Kebangkitan Ekonomi Islam di Indonesia
Kebangkitan ekonomi umat Islam di
Indonesia bersamaan dengan kebangkitan umat Islam secara global. Ada sedikit
perbedaan wacana antara perkembangan pemikiran ekonomi Islam di Indonesia
dengan yang terjadi di berbagai belahan dunia Islam lainnya terutama di Timur
Tengah. Lebih dari separuh pertama abad dua puluh ini para ulama dan tokoh
masyarakat Islam di Indonesia lebih memikirkan bagaimana nasib ekonomi umat
Islam yang dari dulu tidak pernah dibenahi dan selalu dipinggirkan oleh
penjajah Belanda.
Karena itu mereka agaknya kurang waktu
untuk memikirkan dan menggali sistem ekonomi Islam tersendiri yang rohnya
diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Rasanya kita belum menemukan
tulisan-tulisan dari para tokoh Islam sendiri yang mencoba menjelaskan Islam
secara komplit dan integratif dibarengi dengan pengajuan Islam sebagai sistem
kehidupan bukan saja dalam bidang keagamaan melainkan juga dalam bidang sosial,
ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan dan lain-lain.
Sebagai negara yang mayoritas
penduduknya umat Islam, sistem ekonomi syariah harus dilaksanakan sebagai
sistem ekonomi yang universal, yang mengedepankan transparansi, keadilan dan (Good
governance) dalam pengelolaan usaha dan aset-aset negara. Di mana praktik
ekonomi yang dijalankan berpihak pada rakyat kebanyakan dan berpihak pada
kebenaran.
Perjalanan waktu menunjukkan, bahwa
ekonomi syariah bisa menjadi pilihan untuk mengatasi masalah umat yang saat ini
masih mengalami krisis ekonomi. Adalah menjadi tantangan bagi para pelaku
ekonomi syariah untuk lebih meningkatkan pemahaman umat soal prinsip ekonomi
syariah, karena mereka akan menjadi pasar potensial bagi penerapan ekonomi
syariah yang bukan tidak mungkin akan menjadi batu loncatan bagi penerapan
hukum syariah di semua aspek kehidupan yang menjadi impian banyak umat Islam di
negeri ini.
Di Indonesia, praktek ekonomi Islam,
khususnya perbankan syariah sudah ada sejak 1992. Diawali dengan berdirinya
Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS).
Namun, pada decade hingga tahun 1998, perkembangan bank syariah boleh dibilang
agak lambat. Pasalnya, sebelum terbitnya UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, tidak ada perangkat hokum yang mendukung sistem operasional bank
syariah kecuali UU No. 7 Tahun 1992 dan PP No. 72 Tahun 1992.
Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 itu bank
syariah dipahami sebagai bank bagi hasil. Selebihnya bank syariah harus tunduk
kepada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional. Karenanya manajemen
bank-bank syariah cenderung mengadopsi
produk-produk perbankan konvensional yang “disyariatkan”. Dengan variasi produk
yang terbatas. Akibatnya tidak semua keperluan masyarakat terakomodasi dan
produk yang ada tidak kompetitif terhadap semua produk bank konvensional.Peraturan
itu menjadi penghalang bagi berkembangnya bank syariah, karena jalur
pertumbuhan jaringan kantor bank syariah yang telah ada.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian Ekonomi Islam sendiri yaitu;
suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, meninjau, meneliti dan
menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi secara Islami (berdasarkan
ajaran-ajaran Islam), dengan tujuan membantu manusia mencapai kemenangan di
dunia dan di akhirat.
Sedangkan prinsip-prinsip dasar ekonomi
Islam menurut Umer Chapra adalah sebagai berikut :
Ø Prinsip
Tauhid, ini bermakna bahwa segala apa yang di
alam semesta ini didesain dan dicipta
dengan sengaja oleh Allah SWT.
Ø Prinsip
Khilafah, Manusia adalah khilafah Allah SWT. Di
muka bumi.
Ø Prinsip
Keadilan, Keadilan adalah salah satu misi utama
ajaran Islam.
Untuk
kebangkitan Ekonomi Islam di Indonesia sendiri dimulai sejak
praktek ekonomi Islam, khususnya perbankan syariah sudah ada sejak 1992.
Diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank-bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Namun, pada decade hingga tahun 1998,
perkembangan bank syariah boleh dibilang agak lambat. Pasalnya, sebelum
terbitnya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, tidak ada perangkat hokum
yang mendukung sistem operasional bank syariah kecuali UU No. 7 Tahun 1992 dan
PP No. 72 Tahun 1992.
B. Saran
1) Pemerintah Indonesia harus segera
merambah pada upaya menguatkan peran ekonomi Islam dalam perekonomian nasional
melalui strategi jangka panjang yang mencakup lebih banyak aspek kehidupan
bersama.
2) Para pakar ekonomi islam (para ulama,
cendekiawan muslim) perlu menggali kembali kaidah-kaidah hukum ekonomi islam
secara mendalam karena akan menjadi rujukan dari pelaku bisnis syariah.
3) Pentingnya pendidikan tentang
Ekonomi Islam, untuk mengetahui bagaimana
mengembangkan, serta manjalankan Ekonomi Islam dengan baik dan
benar sesuai dengan Ajaran agama Islam, untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
4) Masyarakat seyogyanya sudah mulai
beralih menggunakan jasa dari bank/lembaga keuangan yang berbasis syariah
karena lebih berpihak kepada nasabah.
5) Praktik dalam lembaga ekonomi islam
sudah saatnya meninggalkan paradigma lama yaitu dengan menyatukan barisan dalam
paradigma baru yang membangun ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip syariah yang
nyata dalam implementasi dan bukan hanya sekedar pada tataran simbol-simbol dan
MoU semata.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø
http://master.islamic.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=94&Itemid=57, Sejarah Ekonomi Islam: Perkembangan
Panjang Realitas Ekonomi Islam
Ø
http://islampeace.clubdiscussion.net/t13-pengertian-tujuan-prinsip-prinsip-ekonomi-islam,
Pengertian,Tujuan,dan Prinsip-prinsip
Ekonomi Islam.
Ø
http://vhara.wordpress.com/perkembangan-ekonomi-islam-di-indonesia/,
Perkembangan Ekonomi Islam di Indonesia.
Ø
http://research.mercubuana.ac.id/proceeding/EKONOMI-ISLAM-SEBUAH-ALTERNATIF.doc,
Ekonomi Islam Sebuah Alternatif.
No comments:
Post a Comment