A. Latar
Belakang
Dalam
hal jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara untuk mencari uang dan salah
satunya dengan cara gadai ( rahn ). Para ulama’ berpendapat bahwa gadai boleh
dilakukan dan tidak termasuk riba apabila memenuhi syaratdan rukunnya. Akan
tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut, sehingga tidak
sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalantanpa mengetahui hukum
dasar gadai tersebut.
Dalam
syari’at bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya mampu melaksanakan syari’at
tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syari’at yang ditentukan. Ada
kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang kehabisan
bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat tinggalnya
untuk mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya.
Dalam
kehidupan bisnis baik Klasik dan Modern, masalah penggadaian tidak terlepas
dari masalah perekonomian. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai pnggadaian
dijelaskan sebagai berikut.
Selain
daripada itu, keinginan manusia untuk memnuhi kebutuhannya, cenderung membuat
mereka untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai kendala, misalnya
saja kekurangan modal, tenaga dsb. maka dari itu, dalam islam diberlakukan
syari’at gadai. Adapun pengertian, hukum, dan syaratnya, serta bagaimana
penggunaannya akan dibahas dalam makalah ini.
B. Rumusan
masalah
1.
Apa
pengertian, dasar hukum, syarat serta rukun Ar-rahn?
2.
Apa
saja manfaat pengambilan barang gadai?
3.
Apa
saja hak dan kewajiaban serta larangan ar-rahn dan murtahin, dan bagaimana kekuasaan
menjualan barang gadai?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian, dasar hukum, syarat, serta rukun ar-rahn.
2.
Agar
mengetahui manfaat pengambilan barang gadai.
3.
Supaya
mengetahui hak dan kewajiban serta larangan ar-rahn dan murtahin, dan bagaimana
kekuasaan menjual barang gadai tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Gadai ( Ar-Rahn )
Secara
etimologi rahn atau gadai berarti الثُّبُوْتُ وَ الْحَادُ (tetap atau penahanan) Sedangkan secara
terminologi pengertian rahn adalah menahan suatu benda secara hak yang
memungkinkan untuk dieksekusi, maksudnya menjadikan sebuah benda atau barang
yang memiki nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas hutang
selama dari barang tersebut hutang dapat diganti baik keseluruhan atau sebagian. Ulama’ fiqih berbeda
pendapat dalam mendefinisikan rahn:
1. Menurut Ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah:
Menjadikan
suatu benda atau harta sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar
ketika berhalangan dalam membayar utang. Harta yang dimaksud madzhab ini
sebatas berupa materi , bukan termasuk dalam harta manfaat .
2. Menurut Ulama’ Malikiyah:
Harta
yang dijadikan oleh pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.
Menurutnya harta tersebut bukan saja berupa materi, namun juga berupa manfaat.
Harta yang diserahkannya tersebut penyerahannya tidak secara aktual, tetapi
bisa secara hukum. Misalnya, menyerahkan sawah sebagai jaminan, maka yang
diserahi jaminan, maka yang diserahkan sebagai jaminan adalah sertifikasinya.
3. Menurut Ulama’ Hanafiah:
Menjadikan
suatu barang sebagai jaminan terhadap hak piutang yang mungkin dijadikan
sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik seluruh maupun sebagian. Sedangkan
menurut Hukum Perdata dalam kitab Undang-undang hukum pedata pasal 1150, bagian
ke dua puluh, Bab gadai, Buku ke tiga menyatakan bahwa gadai adalah suatu hak
yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang yang bergerak, yang
diserahkan oleh seorang yang berutang kepadanya .
B. Dasar
hukum Gadai ( Rahn )
Ar-Râhn
adalah sebagai salah satu akad dalam fiqih muamalah dan hukumnya boleh menurut
al qur’an, sunnah, dan Ijma’ para ulama’.
1. Dalam al qur’an telah dijelaskan tentang
rahn pada surah al-Baqoroh ayat 283:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُضَةٌ, فَإِنْ آمَنَ بَعْضٌكٌمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَنَتَهُ.......
Artinya:
“Dan apabila kamu dalam perjalanan dan
bermuamalah tidak secara tunai, sedangkan kamu tidak memperoleh seorang
penulis, hendaklah ada barang tangguangan yang dipegang. Akan tatapi, jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya )”. (QS. Al-Baqorah: 283).
2. Dalam As-Sunnah
أَنَّ النّبِيَّ صَلَّى الَّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إشْتَرَى مِنْ يَهُوْدِيُّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
Artinya:
“Sesungguhnya Rosulullah saw pernah
membeli makanan dengan berhutang dan nabi menggadaikan sebuahbaju besi
kepadanya”.
رَهَنَ رَسُوْلُ الّلهِ صَلَّى الّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًا عِنْدَ يَهُوْدِيٌ بِالْمَدِيْنَةِ وَاَخَذَ مِنْهُ شَعِيْرًا لِأَهْلِهِ
Artinya:
“Rosulullah saw, merungguhkan baju besi
kepada seorang yahudi di madinah ketika beliau menutang gandung kepada seorang
yahudi”.
3. Dalam Ijma’ para ulama’:
Jumhur ulama memperbolehkan dalam
bepergian atau dimana saja berdasar hadits nabi yang melakukan transaksi gadai
di Madinah.
Sehingga dapat disimpulkan perjanjian gadai diperbolehkan di dalam islam berdasarkan Al qur’an surat Al Baqoroh ayat 283, hadits nabi Muhammad saw, dan ijma ulama. Para Ulama’ telah sepakat bahwa gadai itu boleh, dan tidak terdengar seorang pun menyalahinya.
Sehingga dapat disimpulkan perjanjian gadai diperbolehkan di dalam islam berdasarkan Al qur’an surat Al Baqoroh ayat 283, hadits nabi Muhammad saw, dan ijma ulama. Para Ulama’ telah sepakat bahwa gadai itu boleh, dan tidak terdengar seorang pun menyalahinya.
C. Syarat
dan
Rukun
Gadai
atau
Rahn
Gadai
atau Rahn dengan jaminan harus memenuhi beberapa rukun dan syarat, yaitu antara
lain:
1. Rukun Rahn
a.
Orang
yang menggadaikan (rahin)
b.
Yang
meminta gadai (murtahin)
c.
Barang
yang digadaikan (marhunataurahn)
d.
Utang
(marhunbih)
e.
Ucapan sighot ijab dan qobul
2. Syarat Rahn
Adapun
syarat-syarat yang terkait dengan rukun diatas, diantaranya yaitu:
a.
Syarat
yang terkait dengan marhun (barang yang digadaikan)
Barang yang digadaikan adalah barang yang dapat diperjual belikan (memiliki nilai ekonomis ) dalam pandangan syara’.
Barang yang digadaikan adalah barang yang dapat diperjual belikan (memiliki nilai ekonomis ) dalam pandangan syara’.
1)
Nilainya seimbang dengan hutang
2)
Jelas dan tertentu
3)
Tidak terkait dengan hak orang lain
4)
Bisa diserahkan baik materinya maupun manfaatnya
b.
Syarat yang terkait dengan marhunbih (tanggungan atau hutang)
1)
Hak
yang wajib dikembalikan dan diserahkan kepada pemiliknya dan memungkinkan pemanfaatannya
2)
Bila sesuatu yang menjadi hutang tidak bias dimanfaatkan maka tidak sah
3)
Hutang jelas dan tertentu
c.
Syarat
yang terkait dengan elakutran saksi rahn dan murtahin
Syarat bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi adalah mereka harus memenuhi kreteri aahliyatul al-tabarru yakni: berakal sehat, baligh, cakap beryindak dalam mengelola hartanya, dan dalam kondisi tidak ada paksaan dan tekanan .
Syarat bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi adalah mereka harus memenuhi kreteri aahliyatul al-tabarru yakni: berakal sehat, baligh, cakap beryindak dalam mengelola hartanya, dan dalam kondisi tidak ada paksaan dan tekanan .
d.
Syarat
yang terakhir terkait dengan shigat (ucapan serah terima)
Shig hat ini tidak boleh terkait dengan syarat tertentu dan juga dengan waktu dimasa mendatang. Rahn mempunyai sisi pelapasan barang dan pemberian utang sepertihalnya dalam akad jual beli. Ucapan serah terima ini diharuskan ada kesinambungan antara ucapan penyerahan (Ijab) dan ucapan penerimaan (Qobul). Apa yang telah diucpakan oleh kedua belah pihak tidak boleh ada jeda dari transaksi lain.
Shig hat ini tidak boleh terkait dengan syarat tertentu dan juga dengan waktu dimasa mendatang. Rahn mempunyai sisi pelapasan barang dan pemberian utang sepertihalnya dalam akad jual beli. Ucapan serah terima ini diharuskan ada kesinambungan antara ucapan penyerahan (Ijab) dan ucapan penerimaan (Qobul). Apa yang telah diucpakan oleh kedua belah pihak tidak boleh ada jeda dari transaksi lain.
D.
Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Jumhur
ulama fiqh, selain ulama Hanabilah, berpendapat bahwa pemegang barang jaminan
tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu bukan miliknya
secara penuh. Apabila orang yang berutang tidak mampu melunasinya utangnya, ia
boleh menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi piutangnya.
Akan
tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan
barang itu selama di tangannya, maka sebagian ulama Hanafiyah membolehkannya,
karena dengan adanya izin, tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan
untuk memanfaatkan barang jaminan itu. Akan tetapi, sebagian ulama Hanafiyah
lainnya, Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat, sekalipun pemilik barang
itu mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang
jaminan itu. Karena, apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil
pemanfaatan itu merupakan riba yang dilarang syara’, sekalipun diizinkan
pemilik barang. Apabila barang gadaian berupa hewan atau kendaraan, penerima gadai boleh mengambil susunya an
menungganginya dalam kadar seimbang dengan makanan dan biaya yang diberikan untuknya. Dalam hail ini,
orang yang menerima gadai tidak perlu meminta izin oleh pemiliknya, tetapi menurut
madzhab Hambali, apabila barang yang digadaiakna berupa hewan atau sesuatu yang
tidak memerlkan biaya pemeliharaan, sepert itanah, maka pemegang bagunan atau barang
tidak boleh mengambil ataumemanfaatkannya.
Orang
yang memegang barang gadaian boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan
hanya sekedar mengganti kerugiannya untuk menjaga barang itu.
Sabda
Rasulullah Saw:
اِذَاارْتُهِنَ
شَاةٌ شَرِبَ المُرْتَهِنُ مِنْ لَبَنِهَا بِقَدْرِ عَلْفِهَا فَاِنِاسْتَفْضَلَ مِنَ اللَبَنِ بَعْدَ ثَمَنِ العَلْفِ فَهُوَ رِبَا
Artinya: “Apabila seekor kambing digadaikan, maka yang
memegang gadaian itu boleh meminum susunya sekedar sebanyak makanan yang
diberikannya pada kambing itu. Maka jika dilebihkannya dar sebanyak itu,
lebihnya itu menjadi riba.” (Riwayat Hammad bin Salmah).
E.
Hak dan kewajiban serta larangan Ar-rahn dan
murtahin
Adapun
beberapa hak dan kewajiaban serta larangan rahin dan murtahin, antara lain
yaitu :
1.
Barang
gadai harus ditangan murtahin bikan ditanganrahin dan barang yang tidak boleh
di perjual balikan tidak boleh digadaiakan, kecuali tanaman dan buah-buahan
yang masih ada dipohonnya yang belum masak, karena penjualan kedua barang tersebut
hukumnya haram, tetapi bila digadaikan diperbolehkan, karena tidak ada unsur ghoror
didalamnya.
2.
Murtahin mempunyai hak untuk menahan marhun sampai semuahu yang rohin terlunasi.
3.
Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap kewaji banrahin. Dari oparasional rahn diatas berbeda dengan penggadaian konvesioanl padaumumnya. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut
a.
Di
dalam penggaidaian konvesional, tambahan
yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman. Sedangkan dalamra hnhanya diperkenankan untuk mengambil sejumlah dana dari biaya perawatan dan sewa atas ruang pemeliharaan.
b.
Penggadaian konvesioanal hanya melakukan satu akad perjanjian, hutang piutang dengan jaminan barang yang bergerak dan ditinjau dari aspek hokum
konvesioanal, keberadaan
barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir. Berbeda dengan penggadaian syari’ah yang hanya mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jamina untuk membenarkan penarikan beajasa simpan. Dalam lembaga keuangan syari’ah transaksi rahn dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1)
Sebagai produk pelengkap, dalam produk ini, akad rahn merupakan pengiring dari produk-produk perbankan yang lain,
seperti produk bai’ murabahah maupun qordl al-hasan. Bank
dapet menahan barang dari nasabah sebagai jaminan atau kollateral bagiakad yang lain. Dalam hal ini, barang yang
ditahan oleh
bank harus tetap diberlakukan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam akad rahn.
2)
Sebagai produk tersendiri, dalam artian rahn dilembagakan sebagai sebuah lembaga keunagan selain bank. Dalam prakteknya rahn dapat digunakan untuk alterative lain
dari penggadaian konvesional.
F.
Kekuasaan menjual barang gadai
Marhun
(barang gadaian) merupakan jaminan atas hutang yang jatuh tempo perjanjian tidak
bias melunasi hutangnya tetapi bias diambil dari barang gadaian tersebut,
pelunasan melalui penjualan dari barang gadai haruslah sama besarnya tanggungan
yang harus dipikul oleh penggadai rahin. Artinya jika barang tersebut telah terjual ternyata harganya melebih itanggungan penggadai makan selebihnya adalah menjadi hak penggadai. Dalam penjualan marhun atau barang gadai ini, ada kekuasaan menjual rahn antara lain:
1.
Apabila
telah jatuh temponya, murtahin harus memperingatkan rahin terlebih dahulu untuk
segera melunasi hutangnya, dan apabil arahin tidak melunasi hutangnya, maka marhun
dijual paksa.
2.
Penjualan dalam waktu pilihan (dalam berlangsungnya rahn). Ulama’ sepakat bahwa yang berhak menjual marhun atau barang gadaian adalah rahin, tetapi harus
seizin murtahin.
3.
Menjual barang yang cepet rusak, jika tidak segera dijual dan tidak akan bertahan lama, murtahin dibolehkan untuk menjualnya atas seizin hakim.
4.
Hak menentukan harga Jumhurulama’ telah sepakat bahwa murtahin lebih berhak dalam menentukan harga jual borg atau barang gadaian.
5.
Murtahin mensyaratkan untuk memiliki borg atau barang gadaian
Ulama’ telah sepakat bahwa murtahin tidak boleh mensyaratkan bahwa jika rahin tidak mampu untuk membayar, barang gadaian menjadi miliknya. Yang seperti itu dikatagorikan syarat fasid.
Ulama’ telah sepakat bahwa murtahin tidak boleh mensyaratkan bahwa jika rahin tidak mampu untuk membayar, barang gadaian menjadi miliknya. Yang seperti itu dikatagorikan syarat fasid.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ar-rahn
adalah menahan suatu benda secara hak yang memungkinkan untuk dieksekusi,
maksudnya menjadikan sebuah benda atau barang yang memiki nilai harta dalam
pandangan syara’ sebagai jaminan atas hutang selama dari barang tersebut hutang
dapat diganti baik keseluruhan atau sebagian. Dasar hukum Ar-rahn ada pada
al-qur’an surat al-baqarah ayat 283. Rukun Ar-rahn ada lima, yakni: rahin,
murtahin, marhunaturahn, marhunbih, ucapan sighot ijab dan qobul.
B. Saran
Setelah disusunnya makalah mengenai Agama Islam II
ini, diharapkan dapat menambah wawasan pembaca khususnya di mata kuliah Agama
Islam II. Disamping itu kami juga menyadari bahwa pada makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari
itu kami menerima kritik maupun saran yang membangun agar dalam pembuatan tugas
selanjutnya lebih baik lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Afendi,
Yazid, FIQIH MUAMALAH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH,
Yogykarta: Logung Pustaka. 2009Ø
Syafi’i,
Rachmat, FIQIH MUAMALAH, Bandung : CV PUSTAKA SETIA. 2001ØSubekti, Kitab Undang-undang HUKUM
PERDATA ( BW ), Tjitrosudibio, ( Jakarta: Pradnya Paramita. 2004Ø
Nawawi,
Isma’il, FIKIH MUAMALAH Klasik dan Konteporer, Bogor : Ghalia Indonesia.
2012
Lathif,
AH. Azharuddin. Fiqh Muamalat. Jakarta : UIN Jakarta Press, 2005.Ø
Rasjid,
Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo,1992.Ø
Suhendi,
Hendi, FIQIH MUAMALAH, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 2002Ø
No comments:
Post a Comment