Tuesday 19 January 2016

Makalah Ar- Rahn

A.     Latar Belakang
Dalam hal jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara gadai ( rahn ). Para ulama’ berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba apabila memenuhi syaratdan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut, sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalantanpa mengetahui hukum dasar gadai tersebut.
Dalam syari’at bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya mampu melaksanakan syari’at tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syari’at yang ditentukan. Ada kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang kehabisan bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat tinggalnya untuk mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya.
Dalam kehidupan bisnis baik Klasik dan Modern, masalah penggadaian tidak terlepas dari masalah perekonomian. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai pnggadaian dijelaskan sebagai berikut.
Selain daripada itu, keinginan manusia untuk memnuhi kebutuhannya, cenderung membuat mereka untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai kendala, misalnya saja kekurangan modal, tenaga dsb. maka dari itu, dalam islam diberlakukan syari’at gadai. Adapun pengertian, hukum, dan syaratnya, serta bagaimana penggunaannya akan dibahas dalam makalah ini.

B.       Rumusan masalah
1.         Apa pengertian, dasar hukum, syarat serta rukun Ar-rahn?
2.         Apa saja manfaat pengambilan barang gadai?
3.         Apa saja hak dan kewajiaban serta larangan ar-rahn dan murtahin, dan bagaimana kekuasaan menjualan barang gadai?



C.      Tujuan
1.         Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum, syarat, serta rukun ar-rahn.
2.         Agar mengetahui manfaat pengambilan barang gadai.
3.         Supaya mengetahui hak dan kewajiban serta larangan ar-rahn dan murtahin, dan bagaimana kekuasaan menjual barang gadai tersebut.























BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Gadai ( Ar-Rahn )
Secara etimologi  rahn atau gadai berarti    الثُّبُوْتُ وَ الْحَادُ   (tetap atau penahanan) Sedangkan secara terminologi pengertian rahn adalah menahan suatu benda secara hak yang memungkinkan untuk dieksekusi, maksudnya menjadikan sebuah benda atau barang yang memiki nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas hutang selama dari barang tersebut hutang dapat diganti baik keseluruhan atau sebagian. Ulama’ fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn:
1.      Menurut Ulama Syafi’iyah  dan Hanabilah:
Menjadikan suatu benda atau harta sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang. Harta yang dimaksud madzhab ini sebatas berupa materi , bukan termasuk dalam harta manfaat .
2.      Menurut Ulama’  Malikiyah:
Harta yang dijadikan oleh pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat. Menurutnya harta tersebut bukan saja berupa materi, namun juga berupa manfaat. Harta yang diserahkannya tersebut penyerahannya tidak secara aktual, tetapi bisa secara hukum. Misalnya, menyerahkan sawah sebagai jaminan, maka yang diserahi jaminan, maka yang diserahkan sebagai jaminan adalah sertifikasinya.
3.      Menurut Ulama’ Hanafiah:
Menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak piutang yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik seluruh maupun sebagian. Sedangkan menurut Hukum Perdata dalam kitab Undang-undang hukum pedata pasal 1150, bagian ke dua puluh, Bab gadai, Buku ke tiga menyatakan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang yang bergerak, yang diserahkan oleh seorang yang berutang kepadanya .



B.       Dasar hukum Gadai ( Rahn )
Ar-Râhn adalah sebagai salah satu akad dalam fiqih muamalah dan hukumnya boleh menurut al qur’an, sunnah, dan Ijma’ para ulama’.
1.      Dalam al qur’an telah dijelaskan tentang rahn pada surah al-Baqoroh ayat 283:

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُضَةٌ, فَإِنْ آمَنَ بَعْضٌكٌمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَنَتَهُ.......

Artinya: “Dan apabila kamu dalam perjalanan dan bermuamalah tidak secara tunai, sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tangguangan yang dipegang. Akan tatapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya )”. (QS. Al-Baqorah: 283).
2.      Dalam As-Sunnah

أَنَّ النّبِيَّ صَلَّى الَّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إشْتَرَى مِنْ يَهُوْدِيُّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ

Artinya: “Sesungguhnya Rosulullah saw pernah membeli makanan dengan berhutang dan nabi menggadaikan sebuahbaju besi kepadanya”.

رَهَنَ رَسُوْلُ الّلهِ صَلَّى الّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًا عِنْدَ يَهُوْدِيٌ بِالْمَدِيْنَةِ وَاَخَذَ مِنْهُ شَعِيْرًا لِأَهْلِهِ

Artinya: “Rosulullah saw, merungguhkan baju besi kepada seorang yahudi di madinah ketika beliau menutang gandung kepada seorang yahudi”.
3.      Dalam Ijma’ para ulama’:
Jumhur ulama memperbolehkan dalam bepergian atau dimana saja berdasar hadits nabi yang melakukan transaksi gadai di Madinah.
Sehingga dapat disimpulkan perjanjian gadai diperbolehkan di dalam islam berdasarkan Al qur’an surat Al Baqoroh ayat 283, hadits nabi Muhammad saw, dan ijma ulama. Para Ulama’ telah sepakat bahwa gadai itu boleh, dan tidak terdengar seorang pun menyalahinya.

C.      Syarat dan Rukun Gadai atau Rahn
Gadai atau Rahn dengan jaminan harus memenuhi beberapa rukun dan syarat, yaitu antara lain:
1.    Rukun Rahn
a.       Orang yang menggadaikan (rahin)
b.      Yang meminta gadai (murtahin)
c.       Barang yang digadaikan (marhunataurahn)
d.      Utang (marhunbih)
e.       Ucapan sighot ijab dan qobul
2.      Syarat Rahn
Adapun syarat-syarat yang terkait dengan rukun diatas, diantaranya yaitu:
a.       Syarat yang terkait dengan marhun (barang yang digadaikan)
Barang yang digadaikan
adalah barang yang dapat diperjual belikan (memiliki nilai ekonomis ) dalam pandangan syara’.
1)      Nilainya seimbang dengan hutang
2)      Jelas dan tertentu
3)      Tidak terkait dengan hak orang lain
4)      Bisa diserahkan baik materinya maupun manfaatnya
b.       Syarat yang terkait dengan marhunbih (tanggungan atau hutang)
1)      Hak yang wajib dikembalikan dan diserahkan kepada pemiliknya dan memungkinkan pemanfaatannya
2)      Bila sesuatu yang menjadi hutang tidak bias  dimanfaatkan maka tidak sah
3)      Hutang jelas dan tertentu
c.       Syarat yang terkait dengan elakutran saksi rahn dan murtahin
Syarat
bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi adalah mereka harus memenuhi kreteri aahliyatul al-tabarru yakni: berakal sehat, baligh, cakap beryindak dalam mengelola hartanya, dan dalam kondisi tidak ada paksaan dan tekanan .
d.      Syarat yang terakhir terkait dengan shigat (ucapan serah terima)
Shig
hat ini tidak boleh terkait dengan syarat tertentu dan juga dengan waktu dimasa mendatang. Rahn mempunyai sisi pelapasan barang dan pemberian utang sepertihalnya dalam akad jual beli. Ucapan serah terima ini diharuskan ada kesinambungan antara ucapan penyerahan (Ijab) dan ucapan penerimaan (Qobul). Apa yang telah diucpakan oleh kedua belah pihak tidak boleh ada jeda dari transaksi lain.
D.      Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Jumhur ulama fiqh, selain ulama Hanabilah, berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Apabila orang yang berutang tidak mampu melunasinya utangnya, ia boleh menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi piutangnya.
Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan barang itu selama di tangannya, maka sebagian ulama Hanafiyah membolehkannya, karena dengan adanya izin, tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang jaminan itu. Akan tetapi, sebagian ulama Hanafiyah lainnya, Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat, sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu. Karena, apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba yang dilarang syara’, sekalipun diizinkan pemilik barang. Apabila barang gadaian berupa hewan atau kendaraan, penerima gadai boleh mengambil susunya an menungganginya dalam kadar seimbang dengan makanan dan biaya yang diberikan untuknya. Dalam hail ini, orang yang menerima gadai tidak perlu meminta izin oleh pemiliknya, tetapi menurut madzhab Hambali, apabila barang yang digadaiakna berupa hewan atau sesuatu yang tidak memerlkan biaya pemeliharaan, sepert itanah, maka pemegang bagunan atau barang tidak boleh mengambil ataumemanfaatkannya.
Orang yang memegang barang gadaian boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan hanya sekedar mengganti kerugiannya untuk menjaga barang itu.
Sabda Rasulullah Saw:

اِذَاارْتُهِنَ شَاةٌ شَرِبَ المُرْتَهِنُ مِنْ لَبَنِهَا بِقَدْرِ عَلْفِهَا فَاِنِاسْتَفْضَلَ مِنَ اللَبَنِ بَعْدَ ثَمَنِ العَلْفِ فَهُوَ رِبَا


Artinya: “Apabila seekor kambing digadaikan, maka yang memegang gadaian itu boleh meminum susunya sekedar sebanyak makanan yang diberikannya pada kambing itu. Maka jika dilebihkannya dar sebanyak itu, lebihnya itu menjadi riba.” (Riwayat Hammad bin Salmah).
E.       Hak dan kewajiban serta larangan Ar-rahn dan murtahin
Adapun beberapa hak dan kewajiaban serta larangan rahin dan murtahin, antara lain yaitu :
1.         Barang gadai harus ditangan murtahin bikan ditanganrahin dan barang yang tidak boleh di perjual balikan tidak boleh digadaiakan, kecuali tanaman dan buah-buahan yang masih ada dipohonnya yang belum masak, karena penjualan kedua barang tersebut hukumnya haram, tetapi bila digadaikan diperbolehkan, karena tidak ada unsur ghoror didalamnya.
2.         Murtahin mempunyai hak untuk menahan marhun sampai semuahu yang rohin terlunasi.
3.         Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap kewaji banrahin. Dari oparasional rahn diatas berbeda dengan penggadaian konvesioanl padaumumnya. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut
a.         Di dalam penggaidaian konvesional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman. Sedangkan dalamra hnhanya diperkenankan untuk mengambil sejumlah dana dari biaya perawatan dan sewa atas ruang pemeliharaan.
b.        Penggadaian konvesioanal hanya melakukan satu akad perjanjian, hutang piutang dengan jaminan barang yang bergerak dan ditinjau dari aspek hokum konvesioanal, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir. Berbeda dengan penggadaian syari’ah yang hanya mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jamina untuk membenarkan penarikan beajasa simpan. Dalam lembaga keuangan syari’ah transaksi rahn dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1)        Sebagai produk pelengkap, dalam produk ini, akad rahn merupakan pengiring dari produk-produk perbankan yang lain, seperti produk bai’ murabahah maupun qordl al-hasan. Bank dapet menahan barang dari nasabah sebagai jaminan atau kollateral bagiakad yang lain. Dalam hal ini, barang yang ditahan oleh bank harus tetap diberlakukan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam akad rahn.
2)        Sebagai produk tersendiri, dalam artian rahn dilembagakan sebagai sebuah lembaga keunagan selain bank. Dalam prakteknya rahn dapat digunakan untuk alterative lain dari penggadaian konvesional.
F.       Kekuasaan menjual barang gadai
Marhun (barang gadaian) merupakan jaminan atas hutang yang jatuh tempo perjanjian tidak bias melunasi hutangnya tetapi bias diambil dari barang gadaian tersebut, pelunasan melalui penjualan dari barang gadai haruslah sama besarnya tanggungan yang harus dipikul oleh penggadai rahin. Artinya jika barang tersebut telah terjual ternyata harganya melebih itanggungan penggadai makan selebihnya adalah menjadi hak penggadai. Dalam penjualan marhun atau barang gadai ini, ada kekuasaan menjual rahn antara lain:
1.         Apabila telah jatuh temponya, murtahin harus memperingatkan rahin terlebih dahulu untuk segera melunasi hutangnya, dan apabil arahin tidak melunasi hutangnya, maka marhun dijual paksa.
2.         Penjualan dalam waktu pilihan (dalam berlangsungnya rahn). Ulama’ sepakat bahwa yang berhak menjual marhun atau barang gadaian adalah rahin, tetapi harus seizin murtahin.
3.         Menjual barang yang cepet rusak, jika tidak segera dijual dan tidak akan bertahan lama, murtahin dibolehkan untuk menjualnya atas seizin hakim.
4.         Hak menentukan harga Jumhurulama’ telah sepakat bahwa murtahin lebih berhak dalam menentukan harga jual borg atau barang gadaian.
5.         Murtahin mensyaratkan untuk memiliki borg atau barang gadaian
Ulama’ telah
sepakat bahwa murtahin tidak boleh mensyaratkan bahwa jika rahin tidak mampu untuk membayar, barang gadaian menjadi miliknya. Yang seperti itu dikatagorikan syarat fasid.


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Ar-rahn adalah menahan suatu benda secara hak yang memungkinkan untuk dieksekusi, maksudnya menjadikan sebuah benda atau barang yang memiki nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas hutang selama dari barang tersebut hutang dapat diganti baik keseluruhan atau sebagian. Dasar hukum Ar-rahn ada pada al-qur’an surat al-baqarah ayat 283. Rukun Ar-rahn ada lima, yakni: rahin, murtahin, marhunaturahn, marhunbih, ucapan sighot ijab dan qobul.

B.       Saran
Setelah disusunnya makalah mengenai Agama Islam II ini, diharapkan dapat menambah wawasan pembaca khususnya di mata kuliah Agama Islam II. Disamping itu kami juga menyadari bahwa pada makalah  ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami menerima kritik maupun saran yang membangun agar dalam pembuatan tugas selanjutnya lebih baik lagi.














DAFTAR PUSTAKA

Afendi, Yazid, FIQIH MUAMALAH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH, Yogykarta: Logung Pustaka. 2009Ø
Syafi’i, Rachmat, FIQIH MUAMALAH, Bandung : CV PUSTAKA SETIA. 2001ØSubekti, Kitab Undang-undang HUKUM PERDATA ( BW ), Tjitrosudibio, ( Jakarta: Pradnya Paramita. 2004Ø
Nawawi, Isma’il, FIKIH MUAMALAH Klasik dan Konteporer,  Bogor : Ghalia Indonesia. 2012
Lathif, AH. Azharuddin. Fiqh Muamalat. Jakarta : UIN Jakarta Press, 2005.Ø
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo,1992.Ø

Suhendi, Hendi, FIQIH MUAMALAH, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 2002Ø

No comments:

Post a Comment