A.
Latar belakang
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai
makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satuu dengan yang lain. Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada
dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomidalam kehidupan sosial, Nabi Muhammad
mengajarkan kepada kita semua tentang bermuamalah agar terjadi kerukunan antar
umat serta memberikan keuntungan bersama.
Dalam pembahasan kali ini, pemakalah
ingin membahas tiga diantara muamalah yang diajarkan Nabi Muhammad yaitu
Musaqah, Mukhabarah, dan Muzara’ah. Karena di dalam pembahasan ini terdapat
suatu hikmah untuk kehidupan sosial.
B.
Rumusan masalah
1.
Apa
pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, serta hikmah dari muzara’ah?
2.
Apa
pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, serta hikmah dari mukhabarah?
3.
Apa
pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, serta hikmah dari musaqah?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, serta hikmah dari muzara’ah.
2.
Untuk
mengetahui pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, serta hikmah dari
mukhabarah.
3.
Untuk
mengetahui pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, serta hikmah dari musaqah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Muzara’ah
1.
Pengertian muzara’ah
Secara etimologi, muzara’ah berarti
kerja sama dibidang pertanian antara pihak pemilik tanah dan petani penggarap.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi muzara’ah yang dikemukakan oleh
ulama fiqh, yakni:
a.
Menurut Ulama Malikiyah mendefinisikan: Perserikatan dalam pertanian.
b.
Ulama
Hanabilah mendefinisikan: Penyerahan
tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua.
c.
Imam
syafi’I mendefinisikan: Pengolahan tanah
oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian
disediakan penggarap tanah.
Dalam
mukharabah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedangkan
dalam al-muzara’ah, bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.
Jadi,
muzara’ah itu yaitu kerja sama antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan
perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan
benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila dalam kerjasama ini
bibit disediakan oleh pekerja, maka secara khusus kerja sama ini disebut
al-mukharabah.
Antara
muzara’ah dan musaqah terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah
kedua-duanya merupakan akad (perjanjian) bagi hasil. Adapun perbedaannya ialah
didalam musaqah tanaman telah ada tetapi memerlukan tenaga kerja untuk
memeliharanya. Di dalam musaqah tanaman
telah ada tetapi, memerlukan tenaga kerja untuk memeliharanya. Di dalam
muzara’ah, tanaman di tanah belum ada, tanahnya masih harus digarap dahulu oleh
penggarapnya.[1]
Kerja
sama dalam bentuk muzara’ah menurut kebanyakan ulama fiqih hukumnya mubah
(boleh). Dasar kebolehannya itu, disamping dapat dipahami dari keumuman firman
Allah yang menyuruh saling menolong, juga secara khusus hadist Nabi dari Ibnu
Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang mengatakan: “Bahwasanya Rasulullah SAW, memperkerjakan penduduk Khaibar (dalam
pertanian) dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya, dalam bentuk
tanaman atau buah-buahan”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i).[2]
2.
Dasar hukum muzara’ah
Dasar
hukum Mukhabarah ini sama dengan dasar hukum yang digunakan dalam Muzara’ah karena memang pada
dasarnya keduanya tidak memiliki perbedaan yang mendasar kecuali asal benihnya.
Namun terdapat perbedaan pendapat antar ulama terkait mukhabarah ini. dalam
Fiqih Islami dijelaskan terdapat beberapa ulama yang membolehkan, tapi ada juga
yang melarang. Ulama yang melarang mukhabarah ini beralasan pada hadits dalam
kitab hadits Bukhari dan Muslim, diantaranya: “Rafi’ bin Khadij berkata, “Di
antara Ansar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami
persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian untuk mereka yang
mengerjakannya. Kadang-kadang sebagian tanah itu berhasil baik, dan yang lain
tidak berhasil. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. Melarang paroan dengan cara demikian”. (HR.Riwayat
Bukhari).
Sedangkan
ulama yang memperbolehkan mukhabarah ini diperkuat pendapatnya oleh Nawawi, Ibnu Munzir, dan Khattabi; mereka
dikatakan telah mengambil alasan dari hadis Ibnu Umar sebagai berikut: “Dari
Ibnu Umar, “sesungguhnya Nabi Saw. Telah memberikan kebun beliau kepada
penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan
diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah-buahan maupun dari hasil
pertahunan (palawija).” (HR.Riwayat Muslim)[3]
Dalam
Fiqhul Islami dijelaskan bahwa hadis yang melarang ini dimaksudkan apabila
penghasilan dari sebagian tanah diharuskan menjadi milik salah seorang
diantara keduanya (pemilik tanah atau penggarap). Karena orang-orang pada masa
dahulu memarokan tanah dengan syarat akan mengambil penghasilan dari sebagian
tanah yang lebih subur, persentase bagian masing-masing pun tidak diketahui.
Keadaan inilah yang dilarang oleh Rasulullah lantaran pekerjaan yang demikian
bukanlah dengan cara adil dan insaf. Dalam Fiqih Islami tersebut pun juga
menegaskan bahwa pendapat tersebut dikuatkan dengan alasan bila dipandang dari
segi kemaslahatan dan kebutuhan orang banyak.
Zira’ah
merupakan salah satu bentuk kerja (buruh) dan pemiik tanah. Dalam banyak kasus,
pihak buruh memiliki keahlian mengolah tanah namun tidak memiliki tanah. Dan
ada pemilik tanah yang tidak memiliki
keahlian dalam mengelola tanah tersebut. Oleh karena itu, islam mensyariahkan zira’ah sebagai upaya mempertemukan
kepentingan dua belah pihak.[4]
Praktek muzara’ah model tersebut pernah
dilakukan oleh Rasulillah dan para sahabat setelahnya. Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. memperkerjakan penduduk
Khaibar dengan upah sebagian dari biji-bijian dan buah-buahan yang bisa dihasilkan
tanah Khaibar.
Muhamad Bakhir bin Ali bin Husain r.a,
berkata, “ tidak seorang pun dari kaum
Muhajirin dan Madinah, kecuali mereka menjadi petani dengan mendapatkan hasil
sepertiga atau seperempat. Dan Ali r.a, Said bin Malik, Abdullah bin Mas’ud,
Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga
Ali dan Ibnu Sirin, semua bekerja dalam bidang pertanian.” (HR Bukhari)
Dalam kitab al-Mughni disebutkan, “pekerjaan
tersebut sangat popular Rasulullah saw. sendiri mengerjakanya hingga tiba
wafatnya, kemudaian pula dilakukan oleh para khalifahnya sampai mereka
meninggal dunia, kemudian keluarga mereka, dan sesudah mereka”.
Di Madinah, tidak ada seorang penghuni
rumah yang tidak melakukan praktek tersebut, termasuk Istri-Istri Nabi saw.
Tradisi tersebut tidak boleh dihapuskan, karena penghapusan hanya berlaku pada
masa kehidupan Rasulullah saw. Adapun sesuatu yang telah ia kerjakan hingga
berpulang kerahmatullah, kemudaian dilakukan oleh khalifah-khalifah sesudahnya,
para sahabat sepakat melakukan, dan tidak seorang pun yang tidak turut serat
melakukanya, tiadak mungkin untuk dihapus.
Apabila muzara’ah telah dihapuskan pada masa hidup Rsulullah, bagai mana
mungkin orang-orang sesudahnya masih tetap mempraktekanya. Dan bagai mana
mungkin penghapusan atas praktek itu disembunyikan dan para khalifah tidak
menyampaikanya di tengah-tengah populernya kisah Khibar yang merupakan
engalaman pribadi mereka.[5]
3.
Rukun muzara’ah
Jumhur ulama yang membolehkan akad
muzara’ah mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehinggah akad
dianggap sah. Rukun muzara’ah menurut mereka sebagai berikut:
a.
Pemilik
tanah
b.
Petani
penggarap
c.
Obejek
al–muzarah’ah yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani
d.
Ijab
dan Kabul[6]
4.
Syarat muzara’ah
Adapun
syarat- syarat muzara’ah, menurut jumhur
ulama sebagai berikut:
a.
Syarat
yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus sudah balig dan berakal.
b.
Syarat
yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehinggah benih yang akan
ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.
c.
Syarat
yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut:
1)
Menurut
adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan. Jika
tanah itu tanah tandus dan kering sehinggah tidak memungkinkan untuk dijadikan
tanah pertania, maka akad muzara’ah tidak sah.
2)
Batas
– batas tanah itu jelas.
3)
Tanah
itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan
bahwa pemilik tanah ikut mengelolah pertanian itu maka akad muzara’ah tidak
sah.
d.
Syarat-syarat
yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut:
1)
Pembagian
hasil panen bagi masing – masing pihak harus jelas.
2)
Hasil
itu benar – benar milik bersama orang yang berakad tanpa boleh ada
pengkhususan.
3)
Pembagian
hasil panen itu ditentukan : setengah, sepertiga, atau seperempat, sejak daria
awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari, dan
penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti
satu kwintal untuk pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan seluruh hasil
panen jauh di bawah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu.
e.
Syarat
yang menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad sejak semula,
karena akad muzara’ah mengandung makna akad al-ijarah (sewa–menyewa atau
upah–mengupah) dengan imbalan sebagai hasil panen. Oleh sebab itu, jangka
waktunya harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan
dengan adat setempat.
Untuk
obyek akad, jumhur ulama yang memperbolehkan al – muzara’ah, masyarakat juga
harus jelas, baik berupa jasa petani, sehinggah benih yang akan ditanam
datangnya dari pemilik tanah,maupun pemanfaatan tanah, sehingga benihnya dadri
petani.
5.
Hikmah muzara’ah
Ada beberapa hikmah muzara’ah diantaranya adalah
a.
Terwujudnya kerjasama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan
penggarap.
b.
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
c.
Tertanggulanginya kemiskinan.
d.
Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki
kemampuan bertani, tetapi tidak memiliki tanah garapan.[7]
B.
Mukhabarah
1.
Pengertian mukhabarah
Mukhabarah
adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah/tanah dan penggarap dengan
perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi anttara pemilik tanah dan penggarap
menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya, dan benihnya dari penggarap
tanah.
Perbedaan
antara muzara’ah dengan mukhabarah hanya terletak di benih tanaman. Dalam
muzara’ah, benih tanaman berasal dari pemilik tanah, sedangkan dalam
mukhabarah, benih tanaman berasal dari pihak penggarap.
Pada
umumnya, kerja sama mukhabrah ini dilakukan pada perkebunan yang benihnya
relative murah, seperti padi, jagung, dan kacang. Namun, tidak menutup
kemungkinan pada tanaman yang benihnya relative murah pun dilakukan kerja sma
muzara’ah.
2.
Dasar hukum mukhabarah
Hukum
mukhabarah sama dengan muzara’ah, yaitu mubah (boleh). Landasan hukum
mukhabarah adalah sabda Nabi saw: “Dari
Thawus r.a bahwa ia suka bermukhabarah. Amru berkata: Lalu aku katakan
kepadanya: Ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti
mereka mengatakan bahwa Nabi saw. telah melarang mukhabarah. Lantas Thawus
berkata: Hai Amr, telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh–sungguh
mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi saw. tidak melarang
mukhabarah itu, hanya beliau berkata: Seseorang memberi manfaat bagi saudaranya
lebih baik daripada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan upah
tertentu”. (HR. Muslim ).[8]
3.
Rukun mukhabarah
Adapun
rukun mukhabarah menurut pendapat umum antara lain:
a.
Pemilik dan penggarap sawah/ladang.
b.
Sawah/ladang
jenis pekerjaan yang harus dilakukan kesepakatan dalam pembagian hasil.
4.
Syarat mukhabarah
Ada beberapa syarat dalam
mukhabarah, diantaranya:
a.
Pemilik kebun dan penggarap harus
orang yang baligh dan berakal.
b.
Benih yang akan ditanam harusjelas
dan menghasilkan.
c.
Lahan merupakan lahan yang menghasilkan, jelas batas batasnya, dan diserahkan sepenuhnya kepada
penggarap.
d.
Pembagian untuk masing-masing harus
jelas penentuannya.
e.
Jangka waktu harus jelas menurut
kebiasaan.
5.
Hikmah mukharabah
Sebagian
orang ada yang mempunyai binatang ternak. Dia mampu untuk menggarap sawah dan
dapat mengembangkannya, tetapi tidak ememiliki tanah ada pula orang yang
memiliki tanah yang susbur untuk ditanami tetapi tidak punya binatang ternak
dan tidak mampu untuk menggarapnya. Kalau dijalin kerjasama antara mereka, dimana
yang satu menyerahkan tanah dan bibit, sedangkan yang lain menggarap dan
bekerja menggunakan binatangnya dengan tetap mendapatkan bagian masing–masing,
maka yang terjadi adalah kemakmuran bumi, dan semakin luasnya daerah pertanian
yang merupakan sumber kekayaan terbesar.[9]
C.
Musaqah
1.
Pengertian musaqah
Secara etimologi, musaqah berarti
transaksi dalam pengairan, yang oleh
penduduk Madinah disebut dengan al-mu’amalah. Secara terminologi, musaqah
didefinisikan oleh
para ulama fiqih sebagai berikut:
a.
Menurut
Abdurrahman al-jaziri,musaqah ialah: Akad untuk pemeliharaan pohon kurma,
tanaman (pertanian), dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu.
b.
Menurut
Ibn ‘Abidin yang dikutip Nasrun Haroen, musaqah ialah: Penyerahan sebidang
kebun pada petani untuk digarap dan dirawat dengan ketentuan bahwa petani
mendapatkan bagian dari hasil kebun itu.
c.
Ulama
Syafi’iyah mendefinisikan,musaqah ialah:
Memperkerjakan petani penggarap untuk menggarap kurma atau pohon anggur saja
dengan cara mengairi dan merawatnya, dan hasilkurma atau anggur itu dibagi
bersama antara pemilik dan petani yang menggarap.
Dengan demikian, akad musaqah
adalah sebuah bentuk kerja sama antara pemilik kebun dan petani penggarap
dengan tujuan agar kebun itiu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil
yang maksimal. Kemudian, sesuatu yang dihasilkan pihak kedua berupa buah
merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan
yang mereka buat.
Kerja sama dalam bentuk musaqah ini
berbeda dengan mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman, karena hasil yang
diterimanya adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan dari hasilnya yang
belum tentu.
Menurut kebanyakan ulama, hukum
musaqah yaitu boleh atau mubah, berdasarkan sabda Rasullullah saw yang artinya:
“Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw.
telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh
mereka dengan perjanjian: mereka akan memperoleh dari pengahasilannya, baik
dari buah–buahan maupun hasil tanamannya”. ( HR. Muslim ).
Al-musaqah
berasal dari kata as saqa. Diberi nama ini
karena
pepohonan penduduk Hijaz amat membutuhkan saqi (penyiraman) ini dari
sumur-sumur. Karena itu diberi nama musaqah (penyiraman/pengairan).
pepohonan penduduk Hijaz amat membutuhkan saqi (penyiraman) ini dari
sumur-sumur. Karena itu diberi nama musaqah (penyiraman/pengairan).
Menurut
Istilah Musaqah adalah penyerahan pohon
tertentu kepada orang yang menyiramnya dan menjanjikannya, bila sampai buah
pohon masak dia akan diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu.
Menurut
ahli fiqih adalah menyerahkan pohon yang telah atau belum ditanam dengan sebidang
tanah, kepada seseorang yag menanam dan merawatnya di tanah tersebut (seperti
menyiram dan sebagainya hingga berbuah). Lalu pekerja mendapatkan bagian yang
telah disepakati dari buah yang dihasilkan, sedangkan sisanya adalah untuk
pemiliknya.[10]
2.
Dasar hukum musaqah
Dasar
hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum musaqah adalah:
a.
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan
kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian
mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah–buahan maupun dari
hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).
b.
Dari Ibnu Umar: “Bahwa Rasulullah SAW telah menyerahkan pohon
kurma dan tanahnya kepada orang-orang yahudi Khaibar agar mereka mengerjakannya
dari harta mereka, dan Rasulullah SAW mendapatkan setengah dari buahnya”. (HR.
Bukhari dan Muslim).[11]
Menurut ulama Hanafiyah hukum musaqah sahih adalah:
a.
Segala pekerjaan yang berkenaan
dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada penggarap, sedang biaya yang
diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua.
b.
Hasil dari musaqah dibagi
berdasarkan kesepakatan.
c.
Jika pohon tidak menghasilkan
sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa.
d.
Akad adalah lazim dari kedua belah
pihak.
e.
Pemilik boleh memaksa penggarap
untuk bekerja kecuali ada uzur.
f.
Boleh menambah hasil dari ketetapan
yang telah disepakati.
g.
Penggarap tidak memberikan musaqah
kepada penggarap lain kecuali jika di izinkan oleh pemilik.
Musaqah
fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara’.
Menurut ulama Hanafiyah, musaqah fasid meliputi:
a.
Mensyaratkan hasil musaqah bagi
salah seorang dari yang akad.
b.
Mensyaratkan salah satu bagian
tertentu bagi yang akad.
c.
Mensyaratkan pemilik untuk ikut
dalam penggarapan.
d.
Mensyaratkan pemetikan dan kelebihan
pada penggarap.
e.
Mensyaratkan penjagaan pada
penggarap setelah pembagian.
f.
Mensyaratkan kepada penggarap untuk
terus bekerja setelah habis waktu akad.
g.
Bersepakat sampai batas waktu
menurut kebiasaan.
3.
Rukun musaqah
Ulama
Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad musaqah adalah ijab
dari pemilik tanah perkebunan, Kabul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari
pihak penggarap.Adapun Jumhur ulama fiqh yang terdiri dari ulama Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendirian bahwa rukun musaqah ada lima, yaitu:
a.
Dua
orang atau pihak yang melakukan transaksi.
b.
Tanah
yang dijadika obyek musaqah.
c.
Jenis
usaha yang akan dilakukan petani penggarap.
d.
Ketentuan
mengenai pembagian hasil musaqah.
e.
Shighat
(ungkapan) ijab dan Kabul[13]
4.
Syarat musaqah
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh masing-masing rukun
sebagai berikut:
a.
Kedua
belah pihak yang melakukan transaksi musaqah
harus orang yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil baliq) dan
berakal.
b.
Obyek
musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah. Dalam penentuan
obyek musaqah ini terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh. Menurut ulama
Hanafiyah, yang boleh menjadi obyek musaqah adalah pepohonan yang berbuah (
boleh berbuah ), seperti kurma, anggur, dan terong. Akan tetapi, ulama
Hanafiyah mutaakhkhirin menyatakan, musaqah juga berlaku pada pepohonan yang
tidak mempunyai buah, jika hal itu dibutuhkan masyarakat. Ulama Malikiyah,
menyatakan bahwa yang menjadi obyek musaqah itu adalah tanaman keras dan
palawija, seperti kurma, terong, apel, dan anggur dengan syarat bahwa:
1)
Akad
musaqah itu dilaksanakan sebelum buah itu layak dipanen.
2)
Tenggang
waktu yang ditentukan jelas.
3)
Akadnya
dilakukan setelah tanaman itu tumbuh.
4)
Pemilik
perkebunan tidak mampu untuk mengolah dan memelihara tanaman itu.
Menurut
ulama Hanabilah, yang boleh dijadikan obyek musaqah adalah terhadap tanaman
yang buahnya boleh dikonsumsi. Oleh sebab itu,musaqah tidak berlaku terhadap
tanaman yang tidak memiliki buah.
Adapun
ulama Syafi’iya berpendapat bahwa yang boleh dijadikan obyek akad musaqah
adalah kurma dan anggur saja, sebagaimana
sabda Rasullullah saw: “Rasulullah saw.
menyerahkan perkebunan kurma di Khaibar kepada orang Yahudi dengan ketentuan
sebagian dari hasilnya, baik buah–buahan mmaupun dari biji – bijian menjadi
milik orang Yahudi itu”.
c.
Tanah
itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung
untuk digarap, tanpa campur tangan pemilik tanah.
d.
Hasil
(buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama, sesuai
dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi dua, tiga, dan sebagainya.
Menurut Imam Syafi’I yang terkuat, sah melakukan perjanjian musaqah pada kebun
yang telah mulai berbuah, tetapi buahnya belum dapat dipastikan akan baik
(belum matang).
e.
Lamanya
perjanjian harus jelas, karena transaksi ini sama dengan transaksi sewa -menyewa
agar terhindar dari ketidakpastian.[14]
Menurut para ulama
fiqh, akad musaqah berakhir apabila:
a.
Tenggang
waktu yang disepakati dalam akad telah habis.
b.
Salah
satu pihak meninggal dunia.
c.
Ada
unzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.
Unzur yang mereka maksudkan dalam
hal ini diantaranya adalah petani
penggarap itu terkenal sebagai seorang pencuri hasil tanaman dan petani penggarap
itu sakit yang tidak memungkinkan dia untuk bekerja.
Jika petani yang wafat, maka ahli warisnya
boleh melanjutkan akad itu jiaka tanaman itu boleh dipanen. Adapun jika penilik
perkebunan yang wafat, maka pekerjaan petani harus dilanjutkan. Jika kedua
belah pihak yang berakad meninggal duniia, kedua belah pihak ahli waris boleh
memilih antara meneruskan atau menghentikannya.
Akan tetapi, ulama Malikiyah
menyatakan bahwa akad musaqah ialah akad yang boleh diwarisi, jika salah satu
pihak meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan karena adanya uzur. Jika
petani penggarap mempunyai uzur, maka harus ditunjuk salah seorang yang
bertanggung jawab untuk melanjutkan pekerjaan itu. Menurut ulama Hanabilah,
akad musaqah sama dengan akad muzara’ah, akad yang tidak mengikat bagi kedua
belah pihak. Oleh sebab itu, masing-masing pihak boleh saja membatalkan akad
itu. Jika pembatalan akad itu dilakukan setelah pohon berbuah, maka buah itu
dibagi dua antara pemilik kebun dan petani penggarap, sesuai dengan kesepakatan
yang telah ada.[15]
5.
Hikmah musaqah
Ada orang kaya yang memiliki tanah yang
ditanami pohon kurma dan pohon–pohon yang lain, tetapi di tidak mampu menyirami
(memelihara) pohon ini karena ada suatu halangan yang menghalanginya. Maka
Allah Yang Maha Bijaksana meperbolehkan orang itu untuk mengadakan suatu
perjanjian dengan orang yang dapat menyiraminya, yang masing-masing mendapatkan
bagian dari buah yang dihasilkan. Dalam hal ini ada dua hikmah:
1.
Menghilangkan
kemiskinan dari pundak orang – orang miskin sehingga dapat mencukupi
kebutuhannya.
2.
Saling
tukar manfaat antar manusia.
Disamping
itu, ada faedah lain bagi pemilik pohon, yaitu karena pemelihara telah berjasa
merawat hingga pohon menjadi besar. Kalau seandainya pohon itu dibiarkan begitu
saja tanpa disirami, tentu dapat mati dalam waktu singkat. Belum lagi faedah
dari adanya ikatan cinta, kasih saying, antara sesama manusia, maka jadilah
umat ini umat yang bersatu dan bekerja untuk kemaslahatan, sehingga apa yang
diperoleh mengandung faedah yang besar.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Muzara’ah
adalah kerja sama dibidang pertanian antara pihak pemilik tanah dan petani
penggarap. Dasar hukum muzara’ah yaitu berdasarkan hadits riwayat bukhari dan
muslim. Rukun muzara’ah ada
empat, yakni: pemilik tanah, Petani penggarap, Objek
al–muzarah’ah yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani serta yang
terakhir ijab dan Kabul. Syarat muzaraa’ah menyangkut empat aspek yakni syarat
orang, syarat benih, syarat tanah, syarat hasil, dan syarat waktu.
2.
Mukhabarah
adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah/tanah dan penggarap dengan
perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi anttara pemilik tanah dan penggarap
menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya, dan benihnya dari penggarap
tanah. Dasar hukum mukhabarah yaitu berdasarkan hadits riwayat bukhari dan
muslim. Rukun mukhabarah ada dua yakni pemilik dan penggarap serta
sawah/ladang. Syarat mukhabarah ada beberapa macam, yaitu: pemilik kebun dan penggarap harus
orang yang baligh dan berakal, benih yang akan ditanam harus jelas dan
menghasilkan, lahan merupakan lahan yang menghasilkan jelas batas batasnya dan
diserahkan sepenuhnya kepada penggarap, pembagian untuk masing-masing harus
jelas penentuannya, jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan.
3.
Musaqah adalah transaksi dan
pengairan. Dasar hukum musaqah berbeda-beda oleh beberapa ulama. Rukun musaqah
ada lima, yaitu: dua orang atau pihak yang melakukan
transaksi, tanah yang dijadika obyek musaqah, jenis usaha yang akan dilakukan
petani penggarap, ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah, shighat (ungkapan)
ijab dan kabul. Syarat musaqah ada lima aspek yakni: syarat orang, syarat
objek, syarat tanah, syarat hasil, syarat waktu.
B.
Saran
Setelah disusunnya makalah mengenai Agama Islam II
ini, diharapkan dapat menambah wawasan pembaca khususnya di mata kuliah Agama
Islam II. Disamping itu kami juga menyadari bahwa pada makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari
itu kami menerima kritik maupun saran yang membangun agar dalam pembuatan tugas
selanjutnya lebih baik lagi.
[2] http//120214/muslim-education/muamalah-fiqih/pengertian.Muzara’ah.co.id
(diunduh pada selasa,24 maret 2015, 12:36 WIB).
[3] http//120214/muslim-education/muamalah-fiqih/pengertian.Muzara’ah.co.id
(diunduh pada selasa,24 maret 2015, 12:36 WIB).
[8] http//www.jurnal-muslim/fiqihmuamalah/56890/musaqah.co.id (diunduh pada
selasa, 24 maret 2015 12:56 WIB).
[14] http//www.jurnal-muslim/fiqihmuamalah/56890/musaqah.co.id (diunduh pada
selasa, 24 maret 2015 12:01 WIB).
Cara mendawnloadnya gimana bro...
ReplyDelete