Tuesday, 19 January 2016

Makalah Muzara'ah dan Musaqah

A.      Latar belakang
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satuu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomidalam kehidupan sosial, Nabi Muhammad mengajarkan kepada kita semua tentang bermuamalah agar terjadi kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan bersama.
Dalam pembahasan kali ini, pemakalah ingin membahas tiga diantara muamalah yang diajarkan Nabi Muhammad yaitu Musaqah, Mukhabarah, dan Muzara’ah. Karena di dalam pembahasan ini terdapat suatu hikmah untuk kehidupan sosial.

B.       Rumusan masalah
1.         Apa pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, serta hikmah dari muzara’ah?
2.         Apa pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, serta hikmah dari mukhabarah?
3.         Apa pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, serta hikmah dari musaqah?

C.      Tujuan
1.         Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, serta hikmah dari muzara’ah.
2.         Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, serta hikmah dari mukhabarah.
3.         Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, serta hikmah dari musaqah.



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Muzara’ah
1.         Pengertian muzara’ah
Secara etimologi, muzara’ah berarti kerja sama dibidang pertanian antara pihak pemilik tanah dan petani penggarap. Secara terminologi, terdapat beberapa definisi muzara’ah yang dikemukakan oleh ulama fiqh, yakni:
a.         Menurut Ulama Malikiyah mendefinisikan: Perserikatan dalam pertanian.
b.        Ulama Hanabilah mendefinisikan: Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua.
c.         Imam syafi’I mendefinisikan: Pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah.
Dalam mukharabah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedangkan dalam al-muzara’ah, bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.
Jadi, muzara’ah itu yaitu kerja sama antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila dalam kerjasama ini bibit disediakan oleh pekerja, maka secara khusus kerja sama ini disebut al-mukharabah.
Antara muzara’ah dan musaqah terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah kedua-duanya merupakan akad (perjanjian) bagi hasil. Adapun perbedaannya ialah didalam musaqah tanaman telah ada tetapi memerlukan tenaga kerja untuk memeliharanya. Di dalam musaqah  tanaman telah ada tetapi, memerlukan tenaga kerja untuk memeliharanya. Di dalam muzara’ah, tanaman di tanah belum ada, tanahnya masih harus digarap dahulu oleh penggarapnya.[1]
Kerja sama dalam bentuk muzara’ah menurut kebanyakan ulama fiqih hukumnya mubah (boleh). Dasar kebolehannya itu, disamping dapat dipahami dari keumuman firman Allah yang menyuruh saling menolong, juga secara khusus hadist Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang mengatakan: “Bahwasanya Rasulullah SAW, memperkerjakan penduduk Khaibar (dalam pertanian) dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya, dalam bentuk tanaman atau buah-buahan”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i).[2]
2.         Dasar hukum muzara’ah
Dasar hukum Mukhabarah ini sama dengan dasar hukum yang digunakan dalam Muzara’ah karena memang pada dasarnya keduanya tidak memiliki perbedaan yang mendasar kecuali asal benihnya. Namun terdapat perbedaan pendapat antar ulama terkait mukhabarah ini. dalam Fiqih Islami dijelaskan terdapat beberapa ulama yang membolehkan, tapi ada juga yang melarang. Ulama yang melarang mukhabarah ini beralasan pada hadits dalam kitab hadits Bukhari dan Muslim, diantaranya: “Rafi’ bin Khadij berkata, “Di antara Ansar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian untuk mereka yang mengerjakannya. Kadang-kadang sebagian tanah itu berhasil baik, dan yang lain tidak berhasil. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. Melarang paroan dengan cara demikian”.  (HR.Riwayat Bukhari).
Sedangkan ulama yang memperbolehkan mukhabarah ini diperkuat pendapatnya oleh Nawawi, Ibnu Munzir, dan Khattabi; mereka dikatakan telah mengambil alasan dari hadis Ibnu Umar sebagai berikut: “Dari Ibnu Umar, “sesungguhnya Nabi Saw. Telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah-buahan maupun dari hasil pertahunan (palawija).” (HR.Riwayat Muslim)[3]
Dalam Fiqhul Islami dijelaskan bahwa hadis yang melarang ini dimaksudkan apabila penghasilan dari sebagian tanah diharuskan menjadi milik  salah seorang diantara keduanya (pemilik tanah atau penggarap). Karena orang-orang pada masa dahulu memarokan tanah dengan syarat akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur, persentase bagian masing-masing pun tidak diketahui. Keadaan inilah yang dilarang oleh Rasulullah lantaran pekerjaan yang demikian bukanlah dengan cara adil dan insaf.  Dalam Fiqih Islami tersebut pun juga menegaskan bahwa pendapat tersebut dikuatkan dengan alasan bila dipandang dari segi kemaslahatan dan kebutuhan orang banyak.
Zira’ah merupakan salah satu bentuk kerja (buruh) dan pemiik tanah. Dalam banyak kasus, pihak buruh memiliki keahlian mengolah tanah namun tidak memiliki tanah. Dan ada  pemilik tanah yang tidak memiliki keahlian dalam mengelola tanah tersebut. Oleh karena itu, islam mensyariahkan zira’ah sebagai upaya mempertemukan kepentingan dua belah pihak.[4]
Praktek muzara’ah model tersebut pernah dilakukan oleh Rasulillah dan para sahabat setelahnya. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. memperkerjakan penduduk Khaibar dengan upah sebagian dari biji-bijian dan buah-buahan yang bisa dihasilkan tanah Khaibar.
Muhamad Bakhir bin Ali bin Husain r.a, berkata, “ tidak seorang pun dari kaum Muhajirin dan Madinah, kecuali mereka menjadi petani dengan mendapatkan hasil sepertiga atau seperempat. Dan Ali r.a, Said bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali dan Ibnu Sirin, semua bekerja dalam bidang pertanian.” (HR Bukhari)
Dalam kitab al-Mughni disebutkan, “pekerjaan tersebut sangat popular Rasulullah saw. sendiri mengerjakanya hingga tiba wafatnya, kemudaian pula dilakukan oleh para khalifahnya sampai mereka meninggal dunia, kemudian keluarga mereka, dan sesudah mereka”.
Di Madinah, tidak ada seorang penghuni rumah yang tidak melakukan praktek tersebut, termasuk Istri-Istri Nabi saw. Tradisi tersebut tidak boleh dihapuskan, karena penghapusan hanya berlaku pada masa kehidupan Rasulullah saw. Adapun sesuatu yang telah ia kerjakan hingga berpulang kerahmatullah, kemudaian dilakukan oleh khalifah-khalifah sesudahnya, para sahabat sepakat melakukan, dan tidak seorang pun yang tidak turut serat melakukanya, tiadak mungkin untuk dihapus.
Apabila muzara’ah telah dihapuskan pada masa hidup Rsulullah, bagai mana mungkin orang-orang sesudahnya masih tetap mempraktekanya. Dan bagai mana mungkin penghapusan atas praktek itu disembunyikan dan para khalifah tidak menyampaikanya di tengah-tengah populernya kisah Khibar yang merupakan engalaman pribadi mereka.[5]
3.         Rukun muzara’ah
Jumhur ulama yang membolehkan akad muzara’ah mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehinggah akad dianggap sah. Rukun muzara’ah menurut mereka sebagai berikut:
a.         Pemilik tanah
b.        Petani penggarap
c.         Obejek al–muzarah’ah yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani
d.        Ijab dan Kabul[6]
4.         Syarat muzara’ah
Adapun syarat- syarat  muzara’ah, menurut jumhur ulama sebagai berikut:
a.         Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus sudah balig dan berakal.
b.        Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehinggah benih yang akan ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.
c.         Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut:
1)        Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan. Jika tanah itu tanah tandus dan kering sehinggah tidak memungkinkan untuk dijadikan tanah pertania, maka akad muzara’ah tidak sah.
2)        Batas – batas tanah itu jelas.
3)        Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengelolah pertanian itu maka akad muzara’ah tidak sah.
d.        Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut:
1)        Pembagian hasil panen bagi masing – masing pihak harus jelas.
2)        Hasil itu benar – benar milik bersama orang yang berakad tanpa boleh ada pengkhususan.
3)        Pembagian hasil panen itu ditentukan : setengah, sepertiga, atau seperempat, sejak daria awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari, dan penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kwintal untuk pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh di bawah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu.
e.         Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad sejak semula, karena akad muzara’ah mengandung makna akad al-ijarah (sewa–menyewa atau upah–mengupah) dengan imbalan sebagai hasil panen. Oleh sebab itu, jangka waktunya harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat setempat.
Untuk obyek akad, jumhur ulama yang memperbolehkan al – muzara’ah, masyarakat juga harus jelas, baik berupa jasa petani, sehinggah benih yang akan ditanam datangnya dari pemilik tanah,maupun pemanfaatan tanah, sehingga benihnya dadri petani.
5.         Hikmah muzara’ah
Ada beberapa hikmah muzara’ah diantaranya adalah
a.         Terwujudnya kerjasama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan penggarap.
b.        Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
c.         Tertanggulanginya kemiskinan.
d.        Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani, tetapi tidak memiliki tanah garapan.[7]

B.       Mukhabarah
1.         Pengertian mukhabarah
Mukhabarah adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah/tanah dan penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi anttara pemilik tanah dan penggarap menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya, dan benihnya dari penggarap tanah.
Perbedaan antara muzara’ah dengan mukhabarah hanya terletak di benih tanaman. Dalam muzara’ah, benih tanaman berasal dari pemilik tanah, sedangkan dalam mukhabarah, benih tanaman berasal dari pihak penggarap.
Pada umumnya, kerja sama mukhabrah ini dilakukan pada perkebunan yang benihnya relative murah, seperti padi, jagung, dan kacang. Namun, tidak menutup kemungkinan pada tanaman yang benihnya relative murah pun dilakukan kerja sma muzara’ah.
2.         Dasar hukum mukhabarah
Hukum mukhabarah sama dengan muzara’ah, yaitu mubah (boleh). Landasan hukum mukhabarah adalah sabda Nabi saw: “Dari Thawus r.a bahwa ia suka bermukhabarah. Amru berkata: Lalu aku katakan kepadanya: Ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi saw. telah melarang mukhabarah. Lantas Thawus berkata: Hai Amr, telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh–sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi saw. tidak melarang mukhabarah itu, hanya beliau berkata: Seseorang memberi manfaat bagi saudaranya lebih baik daripada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan upah tertentu”. (HR. Muslim ).[8]
3.         Rukun mukhabarah
Adapun rukun mukhabarah menurut pendapat umum antara lain:
a.         Pemilik dan penggarap sawah/ladang.
b.        Sawah/ladang jenis pekerjaan yang harus dilakukan kesepakatan dalam pembagian hasil.


4.         Syarat mukhabarah
Ada beberapa syarat dalam mukhabarah, diantaranya:
a.         Pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan berakal.
b.        Benih yang akan ditanam harusjelas dan menghasilkan.
c.         Lahan merupakan lahan yang menghasilkan, jelas batas batasnya, dan diserahkan sepenuhnya kepada penggarap.
d.        Pembagian untuk masing-masing harus jelas penentuannya.
e.         Jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan.
5.         Hikmah mukharabah
Sebagian orang ada yang mempunyai binatang ternak. Dia mampu untuk menggarap sawah dan dapat mengembangkannya, tetapi tidak ememiliki tanah ada pula orang yang memiliki tanah yang susbur untuk ditanami tetapi tidak punya binatang ternak dan tidak mampu untuk menggarapnya. Kalau dijalin kerjasama antara mereka, dimana yang satu menyerahkan tanah dan bibit, sedangkan yang lain menggarap dan bekerja menggunakan binatangnya dengan tetap mendapatkan bagian masing–masing, maka yang terjadi adalah kemakmuran bumi, dan semakin luasnya daerah pertanian yang merupakan sumber kekayaan terbesar.[9]
C.      Musaqah
1.         Pengertian musaqah
Secara etimologi, musaqah berarti transaksi dalam pengairan, yang oleh penduduk Madinah disebut dengan al-mu’amalah. Secara terminologi, musaqah didefinisikan oleh para ulama fiqih sebagai berikut:
a.         Menurut Abdurrahman al-jaziri,musaqah ialah: Akad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian), dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu.
b.        Menurut Ibn ‘Abidin yang dikutip Nasrun Haroen, musaqah ialah: Penyerahan sebidang kebun pada petani untuk digarap dan dirawat dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu.
c.         Ulama Syafi’iyah mendefinisikan,musaqah ialah: Memperkerjakan petani penggarap untuk menggarap kurma atau pohon anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya, dan hasilkurma atau anggur itu dibagi bersama antara pemilik dan petani yang menggarap.
Dengan demikian, akad musaqah adalah sebuah bentuk kerja sama antara pemilik kebun dan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itiu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kemudian, sesuatu yang dihasilkan pihak kedua berupa buah merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.
Kerja sama dalam bentuk musaqah ini berbeda dengan mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman, karena hasil yang diterimanya adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan dari hasilnya yang belum tentu.
Menurut kebanyakan ulama, hukum musaqah yaitu boleh atau mubah, berdasarkan sabda Rasullullah saw yang artinya: “Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw. telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian: mereka akan memperoleh dari pengahasilannya, baik dari buah–buahan maupun hasil tanamannya”. ( HR. Muslim ).
Al-musaqah berasal dari kata as saqa. Diberi nama ini karena
pepohonan penduduk Hijaz amat membutuhkan saqi (penyiraman) ini dari
sumur-sumur. Karena itu diberi nama musaqah (penyiraman/pengairan).
Menurut Istilah Musaqah adalah penyerahan pohon tertentu kepada orang yang menyiramnya dan menjanjikannya, bila sampai buah pohon masak dia akan diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu.
Menurut ahli fiqih adalah menyerahkan pohon yang telah atau belum ditanam dengan sebidang tanah, kepada seseorang yag menanam dan merawatnya di tanah tersebut (seperti menyiram dan sebagainya hingga berbuah). Lalu pekerja mendapatkan bagian yang telah disepakati dari buah yang dihasilkan, sedangkan sisanya adalah untuk pemiliknya.[10]
2.         Dasar hukum musaqah
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum musaqah adalah:
a.         Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah–buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).
b.        Dari Ibnu Umar: “Bahwa Rasulullah SAW telah menyerahkan pohon kurma dan tanahnya kepada orang-orang yahudi Khaibar agar mereka mengerjakannya dari harta mereka, dan Rasulullah SAW mendapatkan setengah dari buahnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).[11]
Menurut ulama Hanafiyah hukum musaqah sahih adalah:
a.         Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada penggarap, sedang biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua.
b.        Hasil dari musaqah dibagi berdasarkan kesepakatan.
c.         Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa.
d.        Akad adalah lazim dari kedua belah pihak.
e.         Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja kecuali ada uzur.
f.         Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah disepakati.
g.        Penggarap tidak memberikan musaqah kepada penggarap lain kecuali jika di izinkan oleh pemilik.
Musaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara’. Menurut ulama Hanafiyah, musaqah fasid meliputi:
a.         Mensyaratkan hasil musaqah bagi salah seorang dari yang akad.
b.        Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad.
c.         Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarapan.
d.        Mensyaratkan pemetikan dan kelebihan pada penggarap.
e.         Mensyaratkan penjagaan pada penggarap setelah pembagian.
f.         Mensyaratkan kepada penggarap untuk terus bekerja setelah habis waktu akad.
g.        Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan.
h.        Musaqah digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada penggarap lainnya.[12]
3.         Rukun musaqah
Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad musaqah adalah ijab dari pemilik tanah perkebunan, Kabul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak penggarap.Adapun Jumhur ulama fiqh yang terdiri dari ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendirian bahwa rukun musaqah ada lima, yaitu:
a.         Dua orang atau pihak yang melakukan transaksi.
b.        Tanah yang dijadika obyek musaqah.
c.         Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap.
d.        Ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah.
e.         Shighat (ungkapan) ijab dan Kabul[13]
4.         Syarat musaqah
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun sebagai berikut:
a.         Kedua belah pihak yang melakukan transaksi musaqah  harus orang yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil baliq) dan berakal.
b.        Obyek musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah. Dalam penentuan obyek musaqah ini terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh. Menurut ulama Hanafiyah, yang boleh menjadi obyek musaqah adalah pepohonan yang berbuah ( boleh berbuah ), seperti kurma, anggur, dan terong. Akan tetapi, ulama Hanafiyah mutaakhkhirin menyatakan, musaqah juga berlaku pada pepohonan yang tidak mempunyai buah, jika hal itu dibutuhkan masyarakat. Ulama Malikiyah, menyatakan bahwa yang menjadi obyek musaqah itu adalah tanaman keras dan palawija, seperti kurma, terong, apel, dan anggur dengan syarat bahwa:
1)        Akad musaqah itu dilaksanakan sebelum buah itu layak dipanen.
2)        Tenggang waktu yang ditentukan jelas.
3)        Akadnya dilakukan setelah tanaman itu tumbuh.
4)        Pemilik perkebunan tidak mampu untuk mengolah dan memelihara tanaman itu.
Menurut ulama Hanabilah, yang boleh dijadikan obyek musaqah adalah terhadap tanaman yang buahnya boleh dikonsumsi. Oleh sebab itu,musaqah tidak berlaku terhadap tanaman yang tidak memiliki buah.
Adapun ulama Syafi’iya berpendapat bahwa yang boleh dijadikan obyek akad musaqah adalah  kurma dan anggur saja, sebagaimana sabda Rasullullah saw: “Rasulullah saw. menyerahkan perkebunan kurma di Khaibar kepada orang Yahudi dengan ketentuan sebagian dari hasilnya, baik buah–buahan mmaupun dari biji – bijian menjadi milik orang Yahudi itu”.
c.         Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung untuk digarap, tanpa campur tangan pemilik tanah.
d.        Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi dua, tiga, dan sebagainya. Menurut Imam Syafi’I yang terkuat, sah melakukan perjanjian musaqah pada kebun yang telah mulai berbuah, tetapi buahnya belum dapat dipastikan akan baik (belum matang).
e.         Lamanya perjanjian harus jelas, karena transaksi ini sama dengan transaksi sewa -menyewa agar terhindar dari ketidakpastian.[14]
Menurut para ulama fiqh, akad musaqah berakhir apabila:
a.         Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis.
b.        Salah satu pihak meninggal dunia.
c.         Ada unzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.
Unzur yang mereka maksudkan dalam hal ini  diantaranya adalah petani penggarap itu terkenal sebagai seorang pencuri hasil tanaman dan petani penggarap itu sakit yang tidak memungkinkan dia untuk bekerja.
Jika petani yang wafat, maka ahli warisnya boleh melanjutkan akad itu jiaka tanaman itu boleh dipanen. Adapun jika penilik perkebunan yang wafat, maka pekerjaan petani harus dilanjutkan. Jika kedua belah pihak yang berakad meninggal duniia, kedua belah pihak ahli waris boleh memilih antara meneruskan atau menghentikannya.
Akan tetapi, ulama Malikiyah menyatakan bahwa akad musaqah ialah akad yang boleh diwarisi, jika salah satu pihak meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan karena adanya uzur. Jika petani penggarap mempunyai uzur, maka harus ditunjuk salah seorang yang bertanggung jawab untuk melanjutkan pekerjaan itu. Menurut ulama Hanabilah, akad musaqah sama dengan akad muzara’ah, akad yang tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, masing-masing pihak boleh saja membatalkan akad itu. Jika pembatalan akad itu dilakukan setelah pohon berbuah, maka buah itu dibagi dua antara pemilik kebun dan petani penggarap, sesuai dengan kesepakatan yang telah ada.[15]
5.         Hikmah musaqah
Ada orang kaya yang memiliki tanah yang ditanami pohon kurma dan pohon–pohon yang lain, tetapi di tidak mampu menyirami (memelihara) pohon ini karena ada suatu halangan yang menghalanginya. Maka Allah Yang Maha Bijaksana meperbolehkan orang itu untuk mengadakan suatu perjanjian dengan orang yang dapat menyiraminya, yang masing-masing mendapatkan bagian dari buah yang dihasilkan. Dalam hal ini ada dua hikmah:
1.        Menghilangkan kemiskinan dari pundak orang – orang miskin sehingga dapat mencukupi kebutuhannya.
2.        Saling tukar manfaat antar manusia.
Disamping itu, ada faedah lain bagi pemilik pohon, yaitu karena pemelihara telah berjasa merawat hingga pohon menjadi besar. Kalau seandainya pohon itu dibiarkan begitu saja tanpa disirami, tentu dapat mati dalam waktu singkat. Belum lagi faedah dari adanya ikatan cinta, kasih saying, antara sesama manusia, maka jadilah umat ini umat yang bersatu dan bekerja untuk kemaslahatan, sehingga apa yang diperoleh mengandung faedah yang besar.[16]
















BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.         Muzara’ah adalah kerja sama dibidang pertanian antara pihak pemilik tanah dan petani penggarap. Dasar hukum muzara’ah yaitu berdasarkan hadits riwayat bukhari dan muslim. Rukun muzara’ah ada empat, yakni: pemilik tanah, Petani penggarap, Objek al–muzarah’ah yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani serta yang terakhir ijab dan Kabul. Syarat muzaraa’ah menyangkut empat aspek yakni syarat orang, syarat benih, syarat tanah, syarat hasil, dan syarat waktu.
2.         Mukhabarah adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah/tanah dan penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi anttara pemilik tanah dan penggarap menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya, dan benihnya dari penggarap tanah. Dasar hukum mukhabarah yaitu berdasarkan hadits riwayat bukhari dan muslim. Rukun mukhabarah ada dua yakni pemilik dan penggarap serta sawah/ladang. Syarat mukhabarah ada beberapa macam, yaitu: pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan berakal, benih yang akan ditanam harus jelas dan menghasilkan, lahan merupakan lahan yang menghasilkan jelas batas batasnya dan diserahkan sepenuhnya kepada penggarap, pembagian untuk masing-masing harus jelas penentuannya, jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan.
3.         Musaqah adalah transaksi dan pengairan. Dasar hukum musaqah berbeda-beda oleh beberapa ulama. Rukun musaqah ada lima, yaitu: dua orang atau pihak yang melakukan transaksi, tanah yang dijadika obyek musaqah, jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap, ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah, shighat (ungkapan) ijab dan kabul. Syarat musaqah ada lima aspek yakni: syarat orang, syarat objek, syarat tanah, syarat hasil, syarat waktu.


B.       Saran
Setelah disusunnya makalah mengenai Agama Islam II ini, diharapkan dapat menambah wawasan pembaca khususnya di mata kuliah Agama Islam II. Disamping itu kami juga menyadari bahwa pada makalah  ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami menerima kritik maupun saran yang membangun agar dalam pembuatan tugas selanjutnya lebih baik lagi.



[1] Sabbiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), cet.ke-1, hal 93

[2] http//120214/muslim-education/muamalah-fiqih/pengertian.Muzara’ah.co.id (diunduh pada selasa,24 maret 2015, 12:36 WIB).
[3] http//120214/muslim-education/muamalah-fiqih/pengertian.Muzara’ah.co.id (diunduh pada selasa,24 maret 2015, 12:36 WIB).
[4] Ghazaly, Abdul Rahman, Fiqih Muamalat  (Jakarta: Kencana, 2010), cet. Ke-1, hal 190.

[5] Sabbiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), cet.ke-1, hal 96
[6] Ibid, hal 96
[7]Op.Cit, hal 97
[8] http//www.jurnal-muslim/fiqihmuamalah/56890/musaqah.co.id (diunduh pada selasa, 24 maret 2015 12:56 WIB).
[9] Syafi’i, Rahmat, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia. 2006. Cet. Ke-3, hal 72


[10]Ghazaly, Abdul Rahman, Fiqih Muamalat  (Jakarta: Kencana, 2010), cet. Ke-1, hal 187
[11] Sabbiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), cet.ke-1, hal 92
[12] Syafi’i, Rahmat, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia. 2006. Cet. Ke-3, hal 67-68
[13] Ibid, hal 68
[14] http//www.jurnal-muslim/fiqihmuamalah/56890/musaqah.co.id (diunduh pada selasa, 24 maret 2015 12:01 WIB).
[15] Ghazaly, Abdul Rahman, Fiqih Muamalat (Jakarta: Kencana, 2010), cet. Ke-1, hal 188
[16] Syafi’i, Rahmat, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia. 2006. Cet. Ke-3, hal 70

1 comment: