A. Latar
belakang
Dengan
menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, yang telah mengutus
Nabi Muhammad Saw. Untuk menyampaikan agama yang hak, memberi petunjuk kepada
segenap manusia ke jalan kebaikan, untuk kehidupan di dunia dan keselamatan di
akhirat.
Berdasarkan
uraian di atas maka kami mempersembahkan makalah yang berjudul “Muamalah” yang
juga sebagai salah satu kewajiban memenuhi tugas pada mata perkuliahan Agama
Islam II.
Diharapkan
makalah yang sudah kami buat semaksimal mungkin ini, dapat berguna bagi siapa
saja. Dan semoga makalah ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi
kita semua.
B.
Rumusan masalah
1. Apa pengertian muamalah?
2. Apa saja rukun, hukum, dan sifat jual beli
yang sah?
4.
Apa pengertian khiyar dan manfaat
khiyar?
C.
Tujuan
1. Agar mengetahui pengertian dari
muamalah.
2. Agar mengetahui rukun, hukum, serta
sifat jual beli.
3. Agar mengetahui pengertian dari khiyar
dan manfaatnya.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Muamalah
Allah
Swt. telah menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama lain,
supaya mereka tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusan
kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jalan jual beli, sewa-menyewa,
bercocok tanam, atau perusahaan yang lain-lain, baik dalam urusan kepentingan
sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Dengan cara demikian, kehidupan
masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang satu dengan yang lain pun
menjadi teguh. Akan tetapi, sifat loba dan tamak tetap ada pada manusia, suka
mementingkan diri sendiri supaya hak masing-masing jangan sampai tersia-sia,
dan juga menjaga kemaslahatan umum agar pertukaran dapat berjalan dengan lancar
dan teratur. Oleh sebab itu, agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya;
karena dengan teraturnya muamalat, maka penghidupan manusia jadi terjamin pula
dengan sebaik-baiknya sehingga perbantahan dan dendam-mendendam tidak akan
terjadi.
Nasihat
luqmanul hakim kepada anaknya, “Wahai anakku! Berusahalah untuk menghilangkan
kemiskinan dengan usaha yang halal. Sesungguhnya orang yang berusaha dengan
jalan yang halal itu tidaklah akan mendapat kemiskinan, kecuali apabila dia
telah dihinggapi oleh tiga macam penyakit: yang pertama yaitu tipis kepercayaan
agamanya, yang kedua lemah akalnya, dan yang ketiga hilang kesopanannya”.
Jadi, yang di maksud dengan muamalat ialah
tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang
ditentukan, seperti jual beli, sewa-menyewa, upah-mengupah, pinjam-meminjam,
urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.[1]
B. Aturan
jual beli
Jual
beli adalah tukar menukar barang, baik dilakukan dengan uang maupun benda lain,
atas dasar suka rela atau suka sama suka diantara kedua belah pihak yaitu
antara penjual dan pembeli(akad).
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS: Al-baqarah: 275)
ﺎ َﻴُّﻬَﺎﺍﻠّﺬِﻴْﻦَ ﺍٰﻤَﻨُﻭﺍ
ﻻَﺘﺄﻜُﻠﻭﺍ ﺍَﻤْﻮَﺍﻠَﻜُﻢْ ﺒَﻴْﻨَﻜُﻢ ﺒِﺎ ﻠْﺒَﺎﻄِﻞِ ﺍِﻻﱠ ﺃﻦْ ﺘَﻜُﻮﻦَ ﺘِﺠَﺎﺮَﺓً ﻋَﻦْ
ﺘَﺮَﺍﺾٍ ﻤِّﻧْﻜﻢْ
ﻮَﻻَﺘَﻘﺘﻠﻮﺍ ﺃﻧﻔﺴﻜﻢۚ ﺇﻦﺍﷲ ﻜﺎﻦﺑﻜﻢ
ﺮﺤﻴﻤﺎ
Artinya: “janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan bathil kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. (QS:
An-Nisa’: 29)[2]
C. Rukun
jual beli
1.
Penjual
dan pembeli.
Syaratnya adalah:
a.
Berakal, agar dia tidak terkecoh.
b.
Dengan
kehendak sendiri (bukan dipaksa).
c.
Tidak
mubazir (pemboros).
Firman Allah Swt.:
Artinya:
“dan janganlah
kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka
yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupanmu,
berilah mereka belanja”. (QS: An-Nisa’: 5)
d.
Balig
(berumur 15 tahun ke atas/dewasa). Anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun
anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai umur dewasa, menurut pendapat
sebagian ulama, mereka diperbolehkan berjual beli barang yang kecil-kecil;
karena kalau tidak diperbolehkan, sudah tentu menjadi kesulitan dan kesukaran,
sedangkan agama Islam sekali-kali tidak akan menetapkan peraturan yang
mendatangkan kesulitan pada pemeluknya.[3]
2.
Uang
dan benda yang diperjualbelikan.
Syaratnya yaitu:
a.
Suci.
Baarang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan,
seperti kulit binatang atau bangkai yang belum dimasak.
Artinya: “Dari Jabir Ibnu
Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda di Makkah pada tahun
penaklukan kota itu: ”Sesungguhnya Allah melarang jual beli minuman keras,
bangkai, babi, dan berhala”. (HR Muttafaq Alaih).
b.
Ada
manfaatnya. Tidak boleh menjual
barang yang tidak ada manfaatnya. Dilarang pula mengambil tukarannya karena hal
itu termasuk dalam arti menyia-nyiakan (memboroskan) harta yang terlarang dalam
Kitab Suci.
Firman Allah Swt:
Artinya: “sesungguhnya pemboros-pemboros itu
saudara-saudara syetan”. (QS: Al-Isra’: 27)
c.
Barang
itu dapat diserahkan. Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat
diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dalam laut, barang rampasan yang
masih berada ditangan yang merampasnya, barang yang sedang dijaminkan, sebab
semua itu mengandung tipu daya (kecohan).
Artinya: “Dari pada Abu
Hurairah (r.a), beliau berkata: “Rasulullah (s.a.w) melarang jual beli hashah (beli dengan cara melempar batu) dan
gharar (jual beli dengan cara menipu)”. (Diriwayatkan
oleh Muslim: 817).
d.
Barang
tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang diwakilinya, atau yang
mengusahakan.
Sabda Rosullullah Saw:
(دىودوالترم ابوداهارو)كيُمْلَ إِلاَّفِيْمَا لآَبَيْعَ
Artinya:
“tidak sah jual beli selain mengenai barang yang dimiliki”. (HR. Abu dawud dan tirmidzi)
e.
Arang
tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli; zat, bentuk, kadar (ukuran),
dan sifat-sifatnya jelas sehingga antara keduanya tidak akan terjadi kecoh
mengecoh. Yang wajib diketahui zatnya, kalau barang itu tertentu ialah
kadarnya, umpamanya sukatan atau timbangannya. Kalau barang itu bercampur
dengan yang lain, umpamanya segantang beras atau sekilo gula, cukup melihat
sebagian barang, asal yang lainnya sama dengan contoh yang dilihat itu; dan
cukup melihat kulitnya kalu sekiranya kulit itu dipecah bakal rusak; yang
dimaksud ialah tempurung, umpamanya. Begitu juga sesuatu yang telah dimaklumi
menurut kebiasaan seperti bawang dalam tanah walaupun keadaan barang yang boleh
jadi ada lebih kurangnya serta bakal merugikan salah satu pembeli atau penjual,
tetapi hanya sedikit. Keadaan yang sedikit itu dimaafkan karena kemaslahatan
untuk memudahkan kelancaran pekerjaan. Kata Ibnu Qaiyim, “sesungguhnya orang
yang ahli dapat mengetahui barang yang berada di dalam tanah dengan melihat
yang diatasnya, maka jika barang di dalam tanah tidak boleh dijual, sudah tentu
akan memperlambat pekerjaan yang tidak semestinya”.[4]
3.
Lafadz
ijab dan qobul.
Ijab
adalah perkataan penjual, umpamanya,”Saya jual barang ini sekian”.
Sedangkan Qobul adalah ucapan si pembeli, “Saya terima, (saya beli) dengan harga sekian”.
Sedangkan Qobul adalah ucapan si pembeli, “Saya terima, (saya beli) dengan harga sekian”.
Ayat yang menerangkan
bahwa jual beli itu harus suka sama suka, yaitu:
(ماجه ابن رواه ) تراض عن البيع إنما
Artinya:
“sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka sama suka”. (HR.
Ibnu majah).
Sedangkan
suka sama suka itu tidak dapat diketahui dengan jelas kecuali dengan perkataan,
karena perasaan ssuka itu bergantung pada hati masing-masing. Ini pendapat
kebanyakan ulama. Tetap Nawawi, Mutawali, Bagawi, dan beberapa ulama yang lain
berpendapat bahwa lafadz itu tidak menjadi rukun, hanya menurut adat kebiasaan
saja. Apabila menurut adat telah berlaku bahwa hal seperti itu sudah dipadang
sebagai jual beli, itu saja sudah cukup karena tidak ada suatu dalil yang jelas
untuk mewajibkan lafadz.
Menurut
ulama yang mewajibkan lafadz, lafadz itu diwajibkan memenuhi beberapa syarat:
a.
Keadaan
ijab dan qobul berhubungan. Artinya, salah satu dari keduanya pantas menjadi
jawaban dari yang lain dan belum berselang lama.
b.
Makna
keduanya hendaklah mufakat (sama) walaupun lafadz keduanya berlainan.
c.
Keduanya
tidak disangkutkan dengan urusan yang lain, seperti katanya, “kalau saya jadi
pergi, saya jual barag ini sekian.”
d.
Tidak
berwaktu, sebab jual beli berwaktu seperti sebulan atau setahun tidak sah.[5]
D.
Hukum-hukum dan sifat jual beli
1.
Hukum-hukum
jual beli. antara lain:
a.
Mubah,
(boleh) merupakan asal hukum jual beli.
b.
Wajib,
umpamanya wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa; begitu juga kadi
menjual harta muftis (orang yang lebih banyak utangnya dari pada hartanya).
Bisa juga menjual harta benda peninggalan orang yang meninggal dunia untuk
melunasi hitangnya ketika masih hidup.
c.
Haram,
sebagaimana yang telah diterangkan pada rupa-rupa jual beli yang dilarang.
d.
Sunat,
misalnya jual beli kepada sahabat atau famili yang dikasihi, dan kepada orang
yang sangat membutuhkan barang itu.
2.
Sifat jual beli.
Ditinjau dari hukum dan sifat jual beli, jumhur
ulama membagi jual beli menjadi 2 macam.
Yaitu jual beli yang dikategorikan sah (sahih) dan jual beli yang dikategorikan
tidak sah.
Jual beli sah adalah jual beli yang menmenuhi ketentuan syara’, baik rukun maupun
syaratnya, sedangkan jual beli tidak sah adalah jual beli yang tidak memenuhi
salah satu syarat dan rukun sehinggan
jual beli menjadi rusak dan batal dengan kata lain rusak dan batal
memiliki arti yang sama. Adapun ulama hanafiah membagi hokum dan sifat jual
beli menjadi sah, batal, rusak.
Adapun menurut ulama hanafiah dalam masalah muamalat
terkadang ada suatu kemaslahatan yang tidak ada ketentuannya dari syara’
sehingga tidak sesuai atau ada kekurangan dengan ketentuan syariat. Akad
seperti itu adalah rusak, tetapi tidak batal. Dengan kata lain ada akad yang
batal saja dan ada pula yang rusak saja. Lebih jauh tentang penjelasan jual
beli shahih, fasad, dan batal adalah berikut ini:
a.
Jual beli shahih: adalah jual beli yang memenuhi
ketentuan syariat. Hukumnya, sesuatu yang diperjual belikan menjadi milik yang
melakukan akad.
b.
Jual beli batal adalah jual beli yang tidak memenuhi
salah satu rukun atau tidsak sesuai dengan syariat. Yakni orang yang akad bukan
ahlinya seperti jual beli yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil.
c.
Jual beli rusak adalah jual beli yang sesuai dengan
ketentuan syariat pada asalnya, tetapi tidak sesuai dngan syariat dan sifatnya,
seperti jual beli yang dilakukan oleh orang
mumayyiz, tetapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan.[6]
3.
Larangan-larangan dalam jual beli.
Sebenarnya
dalam jual beli itu dibolehkan oleh Allah atau tidak dilarang. Tetapi apabila
dalam jual beli itu dilakukan dengan cara yang menyimpang dari aturan Allah,
maka hal tersebut termasuk perbuatan yang haram dan berdosa, misalnya:
a.
Jual
beli dilakukan dengan jalan menipu, baik mengenai ukuran, timbangan atau
takaran.
b.
Memperjualkan
barang-barang haram atau barang-barang subhat yang mendekati haram atau
maksiat, seperti: memperjual belikan anak kambing yang masih dalam kandungan
induknya, memperjual belikan wanita tuna susila.
c.
Jual
beli dengan menimbun barang, dengan maksud mengacaukan harga barang di pasaran,
atau ingin mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.
d.
Jual
beli dengan dua harga dalam satu barang, seperti barang dijual kontan dengan
harga Rp. 1000; tetapi apabila dijual dengan dihutang maka harga menjadi Rp. 1500;.
e.
Segala
jual beli yang belum jelas keadaannya, seperti: menjual buah-buahan yang masih
hijau atau belum masak dan masih di pohon, sebab buah-buahan tersebut
kemungkinan masih bisa gugur atau terserang hama.berarti mengandung spekulasi
atau untung-untungan.
4.
Macam-macam jual beli.
Jual beli berdasarkan
pertukarannya secara umum dibagi empat macam yaitu:
a.
Jual
beli saham (pesanan).
b.
Jual
beli muqayyadah (barter).
c.
Jual
beli muthlaq yang telah disepakati, misanya berupa uang dan lain-lain.
d.
Jual
beli alat penukar dengan alat penukar, misalnya uang perak dengan uang emas.
Jual beli berdasarkan segi harga terbagi menjadi empat yaitu:
1)
Jual
beli yang menguntungkan (al-murabbahah).
2)
Jual
beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dengan harga aslinya (at-tauliyah).
3)
Jual
beli rugi (al-khasarah).
4)
Jual
beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi keduaorang
yang akad saling meridlai, jual beli seperti inilah yang berkembang sekarang.
E.
Khiyar
Khiyar
artinya boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau
mengurungkannya. Diadakan khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli
dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan
terjadi penyesalan di kemudian hari lantaran merasa tertipu. Macam-macam khiyar
ada tiga, yakni:
1.
Khiyar
majelis: yaitu penjual dan pembeli boleh memilih antara dua hal, apakah jual
beli itu dilangsungkan atau dibatalkan selama keduanya masih di tempat itu. Khiyar Majlis mempunyai
syarat-syarat yang harus diperhatikan: 28)
a.
Pilihan hendaknya
hanya terdapat sebanyak-banyaknya
3 barang
saja.
b.
Barang-barang yang akan dipilih berbeda-beda
satu dari yang lain dan harganya
pun harus diketahui dengan pasti.
c.
Waktu
khiyar supaya dibatasi agar pihak penjual dapat jelas kapan akad
mempunyai kepastian, dan barang-barang yang tidak dipilih segera kembali
untuk kemudian dapat dilakukan oleh penjual.
mempunyai kepastian, dan barang-barang yang tidak dipilih segera kembali
untuk kemudian dapat dilakukan oleh penjual.
2.
Khiyar
syarat: yaitu jual beli itu bisa dilangsungkan atau dibatalkan dengan menggunakan
syarat-syarat tertentu atau dengan perjanjian terlebih dahulu. Contohnya:
penjual mengatakan, barang ini saya jual sekian dengan syarat ada khiyar selama
3 hari atau kurang dari 3 hari. Atau pembeli mengatakan: barang ini saya beli
dengan harga sekian dengan syarat ada khiyar selama 3 hari atau kurang dari 3
hari.
Khiyar syarat boleh
dilakukan dalam segala macam jual beli, kecuali barang yang barang-barang riba.
Masa khiyar syarat paling lama hanya tiga hari tiga malam, terhitung dari waktu
akad.
Sabda Rasulullah Saw:
لَيَالٍ ثَلَاثَاابْتَعْتَهَ سِلْعَةٍ كُلِّ فِيْ ر بِالْخِيَاأَنْتَ
Artinya:
“Engkau boleh khiyar pada segala barang
yang telah engkau beli selama tiga hari tiga malam.” ( Riwayat baihaqi dan
Ibnu Majah ).
3.
Khiyar
‘aibi (cacat) : yaitu pembeli boleh mengembalikan barang atau benda yang
dibelinya, apabila dalam benda tersebut terdapat cacat atau rusak, yang dapat
mengurangi nilai barang tersebut atau nilai harganya.
Perkara yang
menghalangi untuk mengembalikan barang yang cacat tidak boleh dikembalikan
karena adanya hal – hal sebagai berikut:
a.
Rida
setelah mengetahui adanya cacat.
b.
Menggugurkan
khiyar.
c.
Barang
rusak karena perbuatan pembeli.
d.
Adanya
tambahan pada barang yang bersatu dengan barang tersebut dan
bukan berasal dari aslinya atau terpisah dari barangnya.
bukan berasal dari aslinya atau terpisah dari barangnya.
F.
Manfaat khiyar
1.
Untuk
mewujudkan adanya keihlasan atau kerelaan di antara keduanya.
2.
Untuk
mencegah timbulnya rasa penyesalan dari kedua belah pihak.
3.
Untuk
mencegah unsur penipuan dalam akad jual beli.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan materi yang telah kita bahas, maka dapat
kami simpulkan bahwa muamalah merupakan tukar menukar
barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan, seperti
jual beli, sewa-menyewa, upah-mengupah, pinjam-meminjam, urusan bercocok tanam,
berserikat, dan usaha lainnya.
Aturan jual beli telah ada dalam A-qur’an surat
Al-baqarah ayat 275 dan pada surat An-nisa’ ayat 29. Rukun jual beli yakni:
penjual dan pembeli harus sesuai ketentuan, uang dan benda juga harus memenuhi
syara’, juga harus adanya ijab qobul. Hukum jual beli ada empat yakni: mubah,
wajib, haram, sunat. Khiyar adalah boleh memilih antara meneruskan akad jual
beli ataupun mengurungkannya.
B. Saran
Setelah disusunnya makalah mengenai Agama Islam II
ini, diharapkan dapat menambah wawasan pembaca khususnya di mata kuliah Agama
Islam II. Disamping itu kami juga menyadari bahwa pada makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari
itu kami menerima kritik maupun saran yang membangun agar dalam pembuatan tugas
selanjutnya lebih baik lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Masduqi, Nana. 1987. Fiqh Mu’amalah (diktat). Bandung : IAIN Sunan Gunung Djati.
Rasjid, Sulaiman, H. 2012. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghozi. 2005. Fathul qorib al-mujib.
Dr. Rachmat, Syafe’i, MA. Fathul qorib.
Drs. H. Mahmud Sujuthi. 1995. Fiqh. Lakarsantri Surabaya: Jl. Raya SawoVII/ 58 Brigin.
No comments:
Post a Comment