Tuesday, 19 January 2016

Makalah Muamalah

A.     Latar belakang
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, yang telah mengutus Nabi Muhammad Saw. Untuk menyampaikan agama yang hak, memberi petunjuk kepada segenap manusia ke jalan kebaikan, untuk kehidupan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Berdasarkan uraian di atas maka kami mempersembahkan makalah yang berjudul “Muamalah” yang juga sebagai salah satu kewajiban memenuhi tugas pada mata perkuliahan Agama Islam II. Diharapkan makalah yang sudah kami buat semaksimal mungkin ini, dapat berguna bagi siapa saja. Dan semoga makalah ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi kita semua.

B.       Rumusan masalah
1.  Apa pengertian muamalah?
2.  Apa saja rukun, hukum, dan sifat jual beli yang sah?
4.  Apa pengertian khiyar dan manfaat khiyar?

C.      Tujuan
1.    Agar mengetahui pengertian dari muamalah.
2.    Agar mengetahui rukun, hukum, serta sifat jual beli.
3.    Agar mengetahui pengertian dari khiyar dan manfaatnya.




BAB II
PEMBAHASAN

A.     Muamalah
Allah Swt. telah menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jalan jual beli, sewa-menyewa, bercocok tanam, atau perusahaan yang lain-lain, baik dalam urusan kepentingan sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Dengan cara demikian, kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang satu dengan yang lain pun menjadi teguh. Akan tetapi, sifat loba dan tamak tetap ada pada manusia, suka mementingkan diri sendiri supaya hak masing-masing jangan sampai tersia-sia, dan juga menjaga kemaslahatan umum agar pertukaran dapat berjalan dengan lancar dan teratur. Oleh sebab itu, agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya; karena dengan teraturnya muamalat, maka penghidupan manusia jadi terjamin pula dengan sebaik-baiknya sehingga perbantahan dan dendam-mendendam tidak akan terjadi.
Nasihat luqmanul hakim kepada anaknya, “Wahai anakku! Berusahalah untuk menghilangkan kemiskinan dengan usaha yang halal. Sesungguhnya orang yang berusaha dengan jalan yang halal itu tidaklah akan mendapat kemiskinan, kecuali apabila dia telah dihinggapi oleh tiga macam penyakit: yang pertama yaitu tipis kepercayaan agamanya, yang kedua lemah akalnya, dan yang ketiga hilang kesopanannya”.
 Jadi, yang di maksud dengan muamalat ialah tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan, seperti jual beli, sewa-menyewa, upah-mengupah, pinjam-meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.[1]

B.     Aturan jual beli
Jual beli adalah tukar menukar barang, baik dilakukan dengan uang maupun benda lain, atas dasar suka rela atau suka sama suka diantara kedua belah pihak yaitu antara penjual dan pembeli(akad).
      Description: http://c00022506.cdn1.cloudfiles.rackspacecloud.com/2_275.png
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.  (QS: Al-baqarah: 275)
ﺎ َﻴُّﻬَﺎﺍﻠّﺬِﻴْﻦَ ﺍٰﻤَﻨُﻭﺍ ﻻَﺘﺄﻜُﻠﻭﺍ ﺍَﻤْﻮَﺍﻠَﻜُﻢْ ﺒَﻴْﻨَﻜُﻢ ﺒِﺎ ﻠْﺒَﺎﻄِﻞِ ﺍِﻻﱠ ﺃﻦْ ﺘَﻜُﻮﻦَ ﺘِﺠَﺎﺮَﺓً ﻋَﻦْ ﺘَﺮَﺍﺾٍ ﻤِّﻧْﻜﻢْ
ﻮَﻻَﺘَﻘﺘﻠﻮﺍ ﺃﻧﻔﺴﻜﻢۚ ﺇﻦﺍﷲ ﻜﺎﻦﺑﻜﻢ ﺮﺤﻴﻤﺎ
Artinya: “janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan bathil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. (QS: An-Nisa’: 29)[2]
C.      Rukun jual beli
1.         Penjual dan pembeli.
Syaratnya adalah:
a.         Berakal, agar dia tidak terkecoh.
b.        Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa).
c.         Tidak mubazir (pemboros).
Firman Allah Swt.:
 Description: http://c00022506.cdn1.cloudfiles.rackspacecloud.com/4_5.png
Artinya: “dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupanmu, berilah mereka belanja”. (QS: An-Nisa’: 5)
d.        Balig (berumur 15 tahun ke atas/dewasa). Anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai umur dewasa, menurut pendapat sebagian ulama, mereka diperbolehkan berjual beli barang yang kecil-kecil; karena kalau tidak diperbolehkan, sudah tentu menjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama Islam sekali-kali tidak akan menetapkan peraturan yang mendatangkan kesulitan pada pemeluknya.[3]
2.         Uang dan benda yang diperjualbelikan.
Syaratnya yaitu:
a.         Suci. Baarang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai yang belum dimasak.
          

Artinya: “Dari Jabir Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda di Makkah pada tahun penaklukan kota itu: ”Sesungguhnya Allah melarang jual beli minuman keras, bangkai, babi, dan berhala”. (HR Muttafaq Alaih).
b.        Ada manfaatnya. Tidak boleh menjual barang yang tidak ada manfaatnya. Dilarang pula mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalam arti menyia-nyiakan (memboroskan) harta yang terlarang dalam Kitab Suci.
Firman Allah Swt:

Description: http://c00022506.cdn1.cloudfiles.rackspacecloud.com/17_27.png

Artinya: “sesungguhnya pemboros-pemboros itu saudara-saudara syetan”. (QS: Al-Isra’: 27)
c.         Barang itu dapat diserahkan. Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dalam laut, barang rampasan yang masih berada ditangan yang merampasnya, barang yang sedang dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu daya (kecohan).
Artinya: “Dari pada Abu Hurairah (r.a), beliau berkata: “Rasulullah (s.a.w) melarang jual beli hashah (beli dengan cara melempar batu) dan gharar (jual beli dengan cara menipu)”. (Diriwayatkan oleh Muslim: 817).
d.        Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang diwakilinya, atau yang mengusahakan.
Sabda Rosullullah Saw:
(دىودوالترم ابوداهارو)كيُمْلَ إِلاَّفِيْمَا لآَبَيْعَ
Artinya: “tidak sah jual beli selain mengenai barang yang dimiliki”.  (HR. Abu dawud dan tirmidzi)
e.         Arang tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli; zat, bentuk, kadar (ukuran), dan sifat-sifatnya jelas sehingga antara keduanya tidak akan terjadi kecoh mengecoh. Yang wajib diketahui zatnya, kalau barang itu tertentu ialah kadarnya, umpamanya sukatan atau timbangannya. Kalau barang itu bercampur dengan yang lain, umpamanya segantang beras atau sekilo gula, cukup melihat sebagian barang, asal yang lainnya sama dengan contoh yang dilihat itu; dan cukup melihat kulitnya kalu sekiranya kulit itu dipecah bakal rusak; yang dimaksud ialah tempurung, umpamanya. Begitu juga sesuatu yang telah dimaklumi menurut kebiasaan seperti bawang dalam tanah walaupun keadaan barang yang boleh jadi ada lebih kurangnya serta bakal merugikan salah satu pembeli atau penjual, tetapi hanya sedikit. Keadaan yang sedikit itu dimaafkan karena kemaslahatan untuk memudahkan kelancaran pekerjaan. Kata Ibnu Qaiyim, “sesungguhnya orang yang ahli dapat mengetahui barang yang berada di dalam tanah dengan melihat yang diatasnya, maka jika barang di dalam tanah tidak boleh dijual, sudah tentu akan memperlambat pekerjaan yang tidak semestinya”.[4]
3.         Lafadz ijab dan qobul.
Ijab adalah perkataan penjual, umpamanya,”Saya jual barang ini sekian”.
Sedangkan  Qobul adalah ucapan si pembeli, “Saya terima, (saya beli) dengan harga sekian”.
Ayat yang menerangkan bahwa jual beli itu harus suka sama suka, yaitu:
(ماجه ابن رواه ) تراض عن البيع إنما
Artinya: “sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka sama suka”. (HR. Ibnu majah).
Sedangkan suka sama suka itu tidak dapat diketahui dengan jelas kecuali dengan perkataan, karena perasaan ssuka itu bergantung pada hati masing-masing. Ini pendapat kebanyakan ulama. Tetap Nawawi, Mutawali, Bagawi, dan beberapa ulama yang lain berpendapat bahwa lafadz itu tidak menjadi rukun, hanya menurut adat kebiasaan saja. Apabila menurut adat telah berlaku bahwa hal seperti itu sudah dipadang sebagai jual beli, itu saja sudah cukup karena tidak ada suatu dalil yang jelas untuk mewajibkan lafadz.
Menurut ulama yang mewajibkan lafadz, lafadz itu diwajibkan memenuhi beberapa syarat:
a.         Keadaan ijab dan qobul berhubungan. Artinya, salah satu dari keduanya pantas menjadi jawaban dari yang lain dan belum berselang lama.
b.        Makna keduanya hendaklah mufakat (sama) walaupun lafadz keduanya berlainan.
c.         Keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang lain, seperti katanya, “kalau saya jadi pergi, saya jual barag ini sekian.”
d.        Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu seperti sebulan atau setahun tidak sah.[5]
D.       Hukum-hukum dan sifat jual beli
1.         Hukum-hukum jual beli. antara lain:
a.         Mubah, (boleh) merupakan asal hukum jual beli.
b.        Wajib, umpamanya wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa; begitu juga kadi menjual harta muftis (orang yang lebih banyak utangnya dari pada hartanya). Bisa juga menjual harta benda peninggalan orang yang meninggal dunia untuk melunasi hitangnya ketika masih hidup.
c.         Haram, sebagaimana yang telah diterangkan pada rupa-rupa jual beli yang dilarang.
d.        Sunat, misalnya jual beli kepada sahabat atau famili yang dikasihi, dan kepada orang yang sangat membutuhkan barang itu.
2.         Sifat jual beli.
Ditinjau dari hukum dan sifat jual beli, jumhur ulama membagi  jual beli menjadi 2 macam. Yaitu jual beli yang dikategorikan sah (sahih) dan jual beli yang dikategorikan tidak sah.
Jual beli sah adalah jual beli yang menmenuhi  ketentuan syara’, baik rukun maupun syaratnya, sedangkan jual beli tidak sah adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehinggan  jual beli menjadi rusak dan batal dengan kata lain rusak dan batal memiliki arti yang sama. Adapun ulama hanafiah membagi hokum dan sifat jual beli menjadi sah, batal, rusak.
Adapun menurut ulama hanafiah dalam masalah muamalat terkadang ada suatu kemaslahatan yang tidak ada ketentuannya dari syara’ sehingga tidak sesuai atau ada kekurangan dengan ketentuan syariat. Akad seperti itu adalah rusak, tetapi tidak batal. Dengan kata lain ada akad yang batal saja dan ada pula yang rusak saja. Lebih jauh tentang penjelasan jual beli shahih, fasad, dan batal adalah berikut ini:
a.         Jual beli shahih: adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syariat. Hukumnya, sesuatu yang diperjual belikan menjadi milik yang melakukan akad.
b.        Jual beli batal adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun atau tidsak sesuai dengan syariat. Yakni orang yang akad bukan ahlinya seperti jual beli yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil.
c.         Jual beli rusak adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat pada asalnya, tetapi tidak sesuai dngan syariat dan sifatnya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang  mumayyiz, tetapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan.[6]
3.         Larangan-larangan dalam jual beli.
Sebenarnya dalam jual beli itu dibolehkan oleh Allah atau tidak dilarang. Tetapi apabila dalam jual beli itu dilakukan dengan cara yang menyimpang dari aturan Allah, maka hal tersebut termasuk perbuatan yang haram dan berdosa, misalnya:
a.         Jual beli dilakukan dengan jalan menipu, baik mengenai ukuran, timbangan atau takaran.
b.        Memperjualkan barang-barang haram atau barang-barang subhat yang mendekati haram atau maksiat, seperti: memperjual belikan anak kambing yang masih dalam kandungan induknya, memperjual belikan wanita tuna susila.
c.         Jual beli dengan menimbun barang, dengan maksud mengacaukan harga barang di pasaran, atau ingin mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.
d.        Jual beli dengan dua harga dalam satu barang, seperti barang dijual kontan dengan harga Rp. 1000; tetapi apabila dijual dengan dihutang maka harga menjadi Rp. 1500;.
e.         Segala jual beli yang belum jelas keadaannya, seperti: menjual buah-buahan yang masih hijau atau belum masak dan masih di pohon, sebab buah-buahan tersebut kemungkinan masih bisa gugur atau terserang hama.berarti mengandung spekulasi atau untung-untungan.
4.         Macam-macam jual beli.
Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi empat macam yaitu:
a.         Jual beli saham (pesanan).
b.        Jual beli muqayyadah (barter).
c.         Jual beli muthlaq yang telah disepakati, misanya berupa uang dan lain-lain.
d.        Jual beli alat penukar dengan alat penukar, misalnya uang perak dengan uang emas. Jual beli berdasarkan segi harga terbagi menjadi empat yaitu:
1)        Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah).
2)        Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dengan harga aslinya (at-tauliyah).
3)        Jual beli rugi (al-khasarah).
4)        Jual beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi keduaorang yang akad saling meridlai, jual beli seperti inilah yang berkembang sekarang.
E.       Khiyar
Khiyar artinya boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkannya. Diadakan khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari lantaran merasa tertipu. Macam-macam khiyar ada tiga, yakni:
1.         Khiyar majelis: yaitu penjual dan pembeli boleh memilih antara dua hal, apakah jual beli itu dilangsungkan atau dibatalkan selama keduanya masih di tempat itu. Khiyar Majlis mempunyai syarat-syarat yang harus diperhatikan: 28)
a.         Pilihan hendaknya hanya terdapat sebanyak-banyaknya 3 barang saja.
b.        Barang-barang yang akan dipilih berbeda-beda satu dari yang lain dan harganya pun harus diketahui dengan pasti.
c.         Waktu khiyar supaya dibatasi agar pihak penjual dapat jelas kapan akad
mempunyai kepastian, dan barang-barang yang tidak dipilih segera kembali
untuk kemudian dapat dilakukan oleh penjual.
2.         Khiyar syarat: yaitu jual beli itu bisa dilangsungkan atau dibatalkan dengan menggunakan syarat-syarat tertentu atau dengan perjanjian terlebih dahulu. Contohnya: penjual mengatakan, barang ini saya jual sekian dengan syarat ada khiyar selama 3 hari atau kurang dari 3 hari. Atau pembeli mengatakan: barang ini saya beli dengan harga sekian dengan syarat ada khiyar selama 3 hari atau kurang dari 3 hari.
Khiyar syarat boleh dilakukan dalam segala macam jual beli, kecuali barang yang barang-barang riba. Masa khiyar syarat paling lama hanya tiga hari tiga malam, terhitung dari waktu akad.
Sabda Rasulullah Saw:
لَيَالٍ ثَلَاثَاابْتَعْتَهَ سِلْعَةٍ كُلِّ فِيْ ر بِالْخِيَاأَنْتَ
Artinya: “Engkau boleh khiyar pada segala barang yang telah engkau beli selama tiga hari tiga malam.” ( Riwayat baihaqi dan Ibnu Majah ).
3.         Khiyar ‘aibi (cacat) : yaitu pembeli boleh mengembalikan barang atau benda yang dibelinya, apabila dalam benda tersebut terdapat cacat atau rusak, yang dapat mengurangi nilai barang tersebut atau nilai harganya.
Perkara yang menghalangi untuk mengembalikan barang yang cacat tidak boleh dikembalikan karena adanya hal – hal sebagai berikut:
a.         Rida setelah mengetahui adanya cacat.
b.        Menggugurkan khiyar.
c.         Barang rusak karena perbuatan pembeli.
d.        Adanya tambahan pada barang yang bersatu dengan barang tersebut dan
bukan berasal dari aslinya atau terpisah dari barangnya.
F.        Manfaat khiyar
1.         Untuk mewujudkan adanya keihlasan atau kerelaan di antara keduanya.
2.         Untuk mencegah timbulnya rasa penyesalan dari kedua belah pihak.
3.         Untuk mencegah unsur penipuan dalam akad jual beli.



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Berdasarkan materi yang telah kita bahas, maka dapat kami simpulkan bahwa muamalah merupakan tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan, seperti jual beli, sewa-menyewa, upah-mengupah, pinjam-meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.
Aturan jual beli telah ada dalam A-qur’an surat Al-baqarah ayat 275 dan pada surat An-nisa’ ayat 29. Rukun jual beli yakni: penjual dan pembeli harus sesuai ketentuan, uang dan benda juga harus memenuhi syara’, juga harus adanya ijab qobul. Hukum jual beli ada empat yakni: mubah, wajib, haram, sunat. Khiyar adalah boleh memilih antara meneruskan akad jual beli ataupun mengurungkannya.

B.       Saran
Setelah disusunnya makalah mengenai Agama Islam II ini, diharapkan dapat menambah wawasan pembaca khususnya di mata kuliah Agama Islam II. Disamping itu kami juga menyadari bahwa pada makalah  ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami menerima kritik maupun saran yang membangun agar dalam pembuatan tugas selanjutnya lebih baik lagi.







DAFTAR PUSTAKA

Masduqi, Nana. 1987. Fiqh Mu’amalah (diktat). Bandung : IAIN Sunan Gunung Djati.
Rasjid, Sulaiman, H. 2012. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghozi. 2005. Fathul qorib al-mujib.
Dr. Rachmat, Syafe’i, MA. Fathul qorib.
Drs. H. Mahmud Sujuthi. 1995. Fiqh. Lakarsantri Surabaya: Jl. Raya SawoVII/ 58 Brigin.



[1] Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, (Sinar baru algensindo Bandung) hlm:  278

[2] Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, ……. , hlm:  279

[3] Mahmud sujuthi, Fiqh, (sinar wijaya Surabaya), hlm: 27

[4] Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, ……. , hlm:  281

[5] Mahmud sujuthi, Fiqh, ……., hlm: 27

[6] Masduqi, Nana, Fiqh Mu’amalah, (IAIN Sunan Gunung Djati Bandung), hlm:240

No comments:

Post a Comment