A.
Latar belakang
Islam
mengajarkan kepada umatnya agar tolong menolong, salah satu contohnya aalah
dalam bentuk peminjaman uang. Namun pemberian pinjaman itu jangan sampai
merugikan dan menyengsrakan orang lain. Contoh peminjaman yang merugikan adalah
sistem riba yang mengandung unsur kelebihan dan tambahan tanpa ada ada ganti
atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang melakukan
transaksi/akad.[1]
Di sisi
lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke
berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa
dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang. Perdebatan
panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab
mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul berbagai
pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba.
Riba bukan
cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun
memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut
mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan
kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke
masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.
Dalam Islam,
memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram.
Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Pandangan ini juga yang mendorong
maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari
sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena
menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank
termasuk ke dalam riba. hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu
termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah
menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya
dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah
bagi hasil bagi deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi
selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal persentase yang didapatkan
penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga
tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi,
kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang
hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah
keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang
disepakati oleh kedua belah pihak.[2]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
Pengertian, dasar hukum, dan macam-macam riba?
2.
Bagaimana
hukum suatu Bunga bank?
3.
Bagaimana
perbedaan sistem bunga dengan syari’ah?
C.
Tujuan
1. Mengetahui pengertian, dasar hukum serta
macam-macam riba.
2. Mengetahui hukum bunga bank.
3. Mengetahui perbedaan sistem bunga bank
dengan syari’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
RIBA
1.
Pengertian Riba
Asal
makna “riba” menurut bahasa Arab ialah lebih (bertambah). Adapun yang dimaksud
disini menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran yang
tertentu, tidak di ketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’, atau
terlambat menerimanya.[3]
Menurut
Al Jurjanji adalah kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ada ganti atau
imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad.[4]
2.
Dasar Hukum Riba
Riba
dalam Islam hukumnya haram. Beberapa ayat dan hadist yang melarang Riba, adalah
sebagai berikut berikut:
firman Allah SWT dalam surat
Ali-Imran:130
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا
أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
·
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS :
Ali-imran : 130).[5]
Firman Allah SWT dalam surat
Al-Baqarah: 275-276
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ
يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ
الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن
رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا .خَالِدُونَ
. يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي
الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
Artinya: “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang
kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.
Allah
memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”.
(QS : Al-Baqarah : 275-276).[6]
Firman Allah SWT dalam surat
Al-Baqarah:278-279
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ
اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ
بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ
لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ
Artinya : ”Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa
Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya”. (QS. Al-Baqarah : 278-279).[7]
Sabda Nabi SAW:
عَنْ
جَابِرٍ لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اكِلَ الرِّبَا
وَمُوَكِّلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ (رواه مسلم)
Artinya: Dari Jabir, “Rasulullah SAW, telah melaknat (mengutuk) orang yang
makan riba, wakilnya, penulisnya, dan dua saksinya.” (HR. muslim).[8]
Dari
beberapa ayat dan hadist yang telah disebutkan tadi jelaslah bagi kita bahwa
riba itu betul-betul dilarang dalam agama islam. Disini di jelaskan bahwa riba
nasi’ah jelas dilarang karena ayat tersebut diturunkan karenanya.
Mereka
mentakhirkan utang dari waktu yang semestinya dengan menambah bayaran, apabila
terlambat lagi, sampai utang asalnya seratus rupiah akhirnya menjadi beribu-ribu.
Kalau dengan gadai, barang yang tergadai tetap tergadai.
Biasanya
tidak ada yang mau melakukannya kecuali orang yang sangat membutuhkannya,
walaupun dia tahu dan yakin akan akibat yang akan menimpanya, tetapi karena
terdesak oleh kebutuhan, terpaksa dipikulnya juga meskipun akan meruntuhkan
bahunya. Apabila yang berhutang memandang bahwa yang mempiutangnya tidak akan
mendakwa, menagih pun tidak bila diberi bunganya, tentu akan diberinya walaupun
tambahan yang diberikannya itu didapatnya dari pinjaman pula kepada yang lain,
atau dengan menjual hartanya yang ada. Keadaannya terus menerus demikian hingga
habislah hartanya. Sesudah hartanya habis, dia pun akan tetap terus menerus
mendapat tagihan, kadang-kadang sampai berakhir dengan masuk penjara atau barangnya
yang tergadai menjadi korban.
Si kaya,
meskipun tampaknya dapat untung, tetapi dia telah memudaratkan saudaranya,
menganiaya sesama manusia, seerta akan mengalutkan keadaan masyarakat. Inilah
yang di maksud oleh Allah SWT yang melarang mengambil harta dengan jalan batil.
Meskipun sekarang si kaya kelihatan beruntung, tetapi kalau kita ingat Firman
Allah SWT dalam surah Al Baqarah ayat 276, 278, dan 279 di atas, kita percaya
bahwa hartanya itu tidak akan membuahkan kebaikan padanya.
Dengan
kerusakan masyarakat dan kemelaratan yang terjadi karena ujudnya riba, maka
Allah yang maha adil dan mengetahui menitahkan larangan nya yang amat keras
supaya riba dihapuskan, dilenyapkan dari muka bumi ini, sampai-sampai Allah
berfirman bahwa orang yang tidak berhenti dari riba itu seolah-olah menantang
peperangan dengan Allah dan Rasulnya. Riba nasi’ah di haramkan karena
menimbulkan kemelaratan yang sangat besar, sedangkan riba yang lain menutup
pintu kemudaratan.[9]
3.
Macam-macam Riba
a.
Menurut
Jumhur Ulama
Jumhur ulama membagi
riba dalam dua bagian yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah.
1)
Riba
Fadhl
Riba fadhl adalah jual
beli yang mengandung unsur riba pada barang sejenis dengan adanya tambahan pada
salah satu benda tersebut. Oleh karena itu, jika melaksanakan akad jual-beli
antar barang yang sejenis, tidak boleh dilebihkan salah satunya agar
terhindardari unsur riba.
2)
Riba
Nasi’ah
Maksudnya,menjual
barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak, dengan pembayaran
diakhirkan, seperti menjual satu kilogram gandum dengan satu setengah kilogram
gandum, yang dibayarkan setelah dua bulan. Contoh jual-beli yang tidak
ditimbang, seperti membeli satu buah semangka dengan dua buah semangka yang
akan dibayar setelah sebulan.
Sabda Nabi SAW
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ
بَيْعِ الْحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْئَةً.
Artinya: “Dari Samurah bin jundub sesungguhnya Nabi
SAW. Telah melarang jual beli binatang yang pembayarannya diakhirkan.” (H.R
Lima ahli hadist).
b.
Menurut
Ulama Syafi’iyah
Ulama Syafi’iyah
membagi riba menjadi tiga jenis.
1)
Riba
Fadhl
Riba fadhl adalah jual
beli yang disertai adanya tambahan salah satu pengganti (penukar) dari yang
lainnya. Dengan kata lain, tambahan berasal dari penukar paling akhir. Riba ini
terjadi pada barang yang sejenis, seperti menjual satu kilogram kentang dengan
satu setengah kilogram kentang.
Sabda Nabi SAW:
عَنْ عِبَادَةِ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَاْلفِضَّةُ
بِالضِّفَّةِ وَاْلبُرُّ بِاْلبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ
بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلِ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا
بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هذِهِ اْلأَصْنَافُ فَبِعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ اِذَا كَانَ
يَدًا بِيَدٍ (رواه مسلم وأحمد).
Artinya: dari ubadah
bin as shamit r.a., Nabi SAW, telah besabda, “emas dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam
dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbang terima, apabila
berlainan jenisnya, maka boleh kamu menjual sekehendakmu, asalkan dengan
tunai.” (H.R.Muslim dan Ahmad).[10]
2)
Riba
Yad
Jual beli dengan
mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai-cerai antara dua orang yang
akad sebelum timbang terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara
gandum dengan sya’ir tanpa harus saling menyerahkan dan menerima di tempat
akad.
Menurut ulama
Hanafiyah, riba ini termasuk riba nasi’ah,yakni menambah yang tampak dari
utang.
3)
Riba
Nasi’ah
Riba Nasi’ah, yakni
jual beli yang pembayarannya diakhirkan,tetapi ditambahkan harganya.
Menurut ulama
Syafi’iyah, riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang
yang tidak sejenis. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegangan barang, sedangkan
riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran
diakhirkan meskipun sebentar. Al-Mutawalli menambahkan, jenis riba dengan riba
qurdi (mensyaratkan adanya manfaa). Akan tetapi, Zarkasyi menempatkannya pada
riba fadhl.[11]\
B.
Bunga Bank
1.
Pengertian Bunga Bank
Pengertian bank menurut Undang-undang No.7 Tahun 1992
tentang perbankan ialah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak.
Sedangkan bunga bank adalah kelebihan jasa yang harus
dibayarkan kepada bank dari pihak peminjam atau pihak yang berhutang.[12]
2. Hukum Bunga
Bank
Ada beberapa
pendapat ulama dalam menetapkan hukum bunga bank, yaitu:
a.
Haram dan
termasuk riba, karena kelebihan pembayaran tersebut teklah ditentukan ketika
akad berlangsung.pendapat ini di kemukakan oleh mushthafa zarga dan abu zahra
yaitu ulama besar pada abad ke-20.
b.
Tidak
termasuk riba, sebab cukup rasional untuk biaya pengelolaan serta jasa yang
diberikan kepada pemilik uang. Pendapat ini dapat dikemukakan oleh Mahmud Syaltut dari Al azhr.
c.
Subhat,
yaitu belum jelas antara halal dan haram. Mereka cenderung berhati-hati.
Pendapat ini dikemukakan oleh majlis tarjih muhamadiyah di indonesia.[13]
3.
Produk Bank Menurut Fiqih Muamalah
a.
Produk
Bank Konvensional
Kegiatan usaha bank
dalam melakukan penghimpunan dana masyarakat maupun dalam penyaluran dana
dilakukan melalui produksi jasa keuangan. Hal ini karena produksi jasa keuangan
dan bank dapat mempengaruhi peredaran uang di masyarakat, serta berpengaruh
terhadap perekonomian. Oleh karena itu, produksi jasa keuangan bank diatur oleh
peraturan yang sifatnya mengikat dalam kegiatan operasional bank, sehingga
dapat memberikan keamanan bagi masyarakat dalam menyimpan dananya maupun
stabilitas ekonomi nasional.
Diantara produk-produk
bank, antara lain berikut ini:
1)
Simpanan
adalah dana yang di percayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan
perjanjian penyimpanan.
2)
Giro
adalah simpanan pada bank yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan
menggunakan cek atau surat perintah pembayaran lain atau dengan cara pemindahan
buku.
3)
Cek
adalah perintah tertulis pemegang rekening kepada bank yang di tunjuknya supaya
membayar sejumlah uang.
4)
Tabungan
adalah simpanan yang pada penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat
tertentu yang telah disepakati, namun tidak dapat di tarik dengan cek, bilyet, giro dan lain yang sama itu.
5)
Deposito
adalah produk simpanan berjangka dari tiap-tiap bank.
6)
Inkaso
adalah kegiatan jasa bank untuk melakukan amanat dari pihak ketiga berupa
penagihan sejumlah uang kepada seseorang atau badan tertentu di kota lain yang
telah ditunjuk oleh penunjuk si amanat. Dan
Kliring adalah suatu cara penyelesaian utang-piutang antara bank-bank
peserta kliring dalam bentuk warkat atau surat-surat berharga disuatu tempat
tertentu.
7)
Garansi
Bank adalah jaminan dalam bentuk sebuah sertifikat yang diberikan oleh bank
dalam penyelesaian suatu proyek ketika pelaksana atau kontrantor sebagai
penerima kontrak ingkar/cedera janji.
8)
Surat
yang Dapat Diperdagangkan
9)
Wesel
Bank adalah surat berharga yang berisi perintah tak bersyarat dari bank
penerbit draft tersebut kepada pihak lainnya (tertarik) untuk membanyar
sejumlah uang kepada seseorang yang di tunjukknya pada waktu yang telah
ditentukan.
10) Endosemen adalah pengalihan hak kepada
orang lain atas surat berharga yang dapat di alihkan.
11) Transaksi-transfer adalah suatu kegiatan
jasa bank untuk memindahkan sejumlah dana tertentu sesuai dengan perintah si
pemberi amanat yang ditujukan untuk keuntungan seseorang yang di tunjuk sebagai
penerima transfer.[14]
b.
Tinjauan
Fiqh Muamalah
Pembahasan produk bank
konvesional, menurut tinjauan fiqih muamalah, berkaitan dengan sejumlah bentuk
muamalah dan terpulang pada kedudukan bunga yang dianut oleh bank itu sendiri
dan bentuk produknya.
1)
Kedudukan
Bunga Bank
Yang berkaitan dengan
bunga bank, seperti telah dijelaskan di atas, di sini akan di kemukakan sebab
atau illat hukum diharamkannya riba. Menurut penulis, diharamkannya riba karena
dua hal:
a)
Adanya
kezaliman , yaitu adanya keuntungan yang tidak sebanding. Sebenarnya kelebihan
itu bukan sebab keharaman riba, melainkan karena adanya unsur kezaliman.
b)
Adanya
eksploitasi dalam kebutuhan pokok atau adanya ghara, ketidakpastian, dan
spekulasi yang tinggi.
2)
Bentuk
Produk Bank Konvesional
Di antara produk bank
tersebut yang sangat erat kaitannya dengan fiqih muamalah adalah mudharahah
(join venter). Mudharabah sejak zaman jahiliyah sudah dilaksanakan, kemudian
islam datang dan membolehkannya dengan peraturan-peraturan tertentu.
Di antara persyaratan
mudharabah yang terpenting yang telah ditetapkan fuqaha adalah keuntungan
mudharabah merupakan hak milik bersama antara lain pemilik modal dan pengguna
modal yang pembagiannya melalui persentase seperti 50%, 30% dan lain-lain. Atas
dasar ini, bila salah satu pihak terlebih dahulu menetapkan keuntungan tertentu
tanpa penjelasan, mudharabah dinyatakan fasid, karena dinilai mengandung
kezaliman. Akan tetapi, sebagian fuqaha modern berpendapat bahwa pembatasan
sejumlah uang tertentu sebagai keuntungan pemilik modal tidak merusak
mudharabah selama pembatasan itu disepakati kedua belah pihak. Alasannya:
a)
Keuntungan
dalam mudharahah yang harus bersifat relatif, seperti yang telah di tetapkan
para fuqaha, bukan kadar tertentu dan tidak terdapat dalilnya dalam Al-Quran
dan sunah.
b)
Bagi
fuqaha yang menyatakan mudharabah itu fasid bila tidak memenuhi syarat,
menyatakan bahwa pengguna modal menjadi buruh(penjual jasa) bagi pemilik modal
sehingga masih dibenarkan oleh hukum dan tidak mengandung kezaliman dan
kemadaratan.
Pendapat ini dapat
diterima dengan pertimbangan sebagai berikut:
(1) Masalah pembatasan keuntungan terlebih
dahulu atau tidak adanya penentuan bukanlah maslah akidah atau ibadah yang
tidak dapat berubah, melainkan masalah mualamah, dapat berubah dan bergantung
pada kesepakatan kedua belah pihak dengan syarat untuk menjaga kemaslahatan
manusia.
(2) Syariah islam bertujuan untuk
kemaslahatan manusia.
(3) Tidak dijumpainya nash syara’ yang
melarang penentuan keuntungan terlebih dahulu.
(4) Sesuatu yang sudah diketahui bahwa bank
tidak menentukan keuntungan terlebih dahulu, kecuali setelah penelitian keadaan
pasar, situasi ekonomi, dan situasi muamalah lainnya.
(5) Penentuan keuntungan terlebih dahulu di
zaman sekarang dapat bermanfaat bagi modal dan pengguna modal.
(6) Penentuan keuntungan terlebih dahulu
tidak bertentangan dengan kemungkinan adanya kerugian dari investor.[15]
c.
Perbedaan
sistem bunga dengan syariah
Sistem bunga yang
diterapkan oleh bank knvensional dan prinsip syariah dalam perbankan syariah
dalam kegiatan pemberian pinjaman atau
pembiayaan kepada masing-masing nasabahnya memiliki beberapa perbedaan yang
cukup prinsip, antara lain:[16]
Pokok perbedaan
|
Sistem
bunga/konvensional
|
Prinsip syariah islam
|
Dasar
perjanjian penentuan bunga/imbalan
|
Tidak
berdasarkan keuntungan /kerugian
|
Berdasarkan
keuntungan/kerugian
|
Dasar
perhitungan bunga/imbalan
|
Persentase
tertentu dari pinjaman
|
Nisbah
bagi hasil berdasarkan keuntungan yang diperoleh
|
Kewajiban
membayar bunga/imbalan
|
a. Tetap harus dibayar meskipun usaha
nasabah merugi.
b. Besarnya pembayaran bunga tetap
|
a. Imbalan dibayar bila usaha nasabah
untung. Bila merugi, kerugian di tanggung kedua pihak
b. Besarnya imbalan disesuaikan
keuntungan.
|
Persyaratan
jaminan obyek usaha yang dibiayai
|
Mutlak
diperlukan
Tidak
ada pembatasan jenis usaha sepanjang bankable
|
Tidak
mutlak jenis usaha harus sesuai syariah
|
Kedudukan
sistem bunga berdasarkan prinsip syariah
|
Pengenaan
bunga sifatnya haram
|
Pembayaran
imbalan berdasar bagi hasil adalah halal.
|
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat kami ambil dari makalah
ini adalah, riba dengan segala macam bentuknya merupakan suatu pemaksaan
pemindahan hak milik dari orang yang menjadi objek riba oleh orang yang menjadi
subjek dari perbuatan riba itu secara tidak langsung. Dan perbuatan semacam ini
mendapatkan kecaman yang sangat serius dari Allah dan Rasul-Nya. Orang yang
melakukan transaksi semacam ini balasannya adalah neraka berdasarkan firman
Allah “Dan Allah telah menghalalkan
jualbeli dan mengharamkan riba”. Karena pada dasarnya riba adalah pencurian
yang mempunyai akad.
B. Saran
kami harap bagi pembaca bila menemukan
kekeliruan atau kata yang mempunyai
makna menyinggung ataupun salah dalam penerapan dalam kehidupan
pembaca/bertentangan maka kami mohon maaf, karena kami pembuat makalah ini
hanya ciptaan yang mungkin masih memilikin kekurangan.
DAFTAR PUSTAKA
Sarjono, Ahmad.2008. Buku ajar Fiqh. Jakarta :CV.Sindunata
Siamat Dahlan. 2005. manajemen lembaga keuangan (kebijakan
moneter dan perbankan) edisi lima. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia
Rasjid H. Sulaiman. 1994. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru
Algensindo
Syafe’i Dr. Rachmat, MA. 1997. Fiqh
Muamalah. Bandung
good bang
ReplyDelete