Tuesday 19 January 2016

Makalah Riba dan Bunga Bank

A.      Latar belakang
Islam mengajarkan kepada umatnya agar tolong menolong, salah satu contohnya aalah dalam bentuk peminjaman uang. Namun pemberian pinjaman itu jangan sampai merugikan dan menyengsrakan orang lain. Contoh peminjaman yang merugikan adalah sistem riba yang mengandung unsur kelebihan dan tambahan tanpa ada ada ganti atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang melakukan transaksi/akad.[1]
Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang. Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba.
Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.









Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak.[2]

B.       Rumusan Masalah
1.         Apa Pengertian, dasar hukum, dan macam-macam riba?
2.         Bagaimana hukum suatu Bunga bank?
3.         Bagaimana perbedaan sistem bunga dengan syari’ah?
C.    Tujuan
1.    Mengetahui pengertian, dasar hukum serta macam-macam riba.
2.    Mengetahui hukum bunga bank.
3.    Mengetahui perbedaan sistem bunga bank dengan syari’ah.




BAB II
PEMBAHASAN

A.      RIBA
1.         Pengertian Riba
Asal makna “riba” menurut bahasa Arab ialah lebih (bertambah). Adapun yang dimaksud disini menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak di ketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’, atau terlambat menerimanya.[3]
Menurut Al Jurjanji adalah kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ada ganti atau imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad.[4]
2.         Dasar Hukum Riba
Riba dalam Islam hukumnya haram. Beberapa ayat dan hadist yang melarang Riba, adalah sebagai berikut berikut:
firman Allah SWT dalam surat Ali-Imran:130

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

·         Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS : Ali-imran : 130).[5]

Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah: 275-276
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا        .خَالِدُونَ
. يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
Artinya: “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”. (QS : Al-Baqarah : 275-276).[6]

Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah:278-279

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ
Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah : 278-279).[7]
Sabda Nabi SAW:
عَنْ جَابِرٍ لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اكِلَ الرِّبَا وَمُوَكِّلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ (رواه مسلم)
Artinya: Dari Jabir, “Rasulullah SAW, telah melaknat (mengutuk) orang yang makan riba, wakilnya, penulisnya, dan dua saksinya.” (HR. muslim).[8]
Dari beberapa ayat dan hadist yang telah disebutkan tadi jelaslah bagi kita bahwa riba itu betul-betul dilarang dalam agama islam. Disini di jelaskan bahwa riba nasi’ah jelas dilarang karena ayat tersebut diturunkan karenanya.
Mereka mentakhirkan utang dari waktu yang semestinya dengan menambah bayaran, apabila terlambat lagi, sampai utang asalnya seratus rupiah akhirnya menjadi beribu-ribu. Kalau dengan gadai, barang yang tergadai tetap tergadai.
Biasanya tidak ada yang mau melakukannya kecuali orang yang sangat membutuhkannya, walaupun dia tahu dan yakin akan akibat yang akan menimpanya, tetapi karena terdesak oleh kebutuhan, terpaksa dipikulnya juga meskipun akan meruntuhkan bahunya. Apabila yang berhutang memandang bahwa yang mempiutangnya tidak akan mendakwa, menagih pun tidak bila diberi bunganya, tentu akan diberinya walaupun tambahan yang diberikannya itu didapatnya dari pinjaman pula kepada yang lain, atau dengan menjual hartanya yang ada. Keadaannya terus menerus demikian hingga habislah hartanya. Sesudah hartanya habis, dia pun akan tetap terus menerus mendapat tagihan, kadang-kadang sampai berakhir dengan masuk penjara atau barangnya yang tergadai menjadi korban.
Si kaya, meskipun tampaknya dapat untung, tetapi dia telah memudaratkan saudaranya, menganiaya sesama manusia, seerta akan mengalutkan keadaan masyarakat. Inilah yang di maksud oleh Allah SWT yang melarang mengambil harta dengan jalan batil. Meskipun sekarang si kaya kelihatan beruntung, tetapi kalau kita ingat Firman Allah SWT dalam surah Al Baqarah ayat 276, 278, dan 279 di atas, kita percaya bahwa hartanya itu tidak akan membuahkan kebaikan padanya.
Dengan kerusakan masyarakat dan kemelaratan yang terjadi karena ujudnya riba, maka Allah yang maha adil dan mengetahui menitahkan larangan nya yang amat keras supaya riba dihapuskan, dilenyapkan dari muka bumi ini, sampai-sampai Allah berfirman bahwa orang yang tidak berhenti dari riba itu seolah-olah menantang peperangan dengan Allah dan Rasulnya. Riba nasi’ah di haramkan karena menimbulkan kemelaratan yang sangat besar, sedangkan riba yang lain menutup pintu kemudaratan.[9]


3.         Macam-macam Riba
a.         Menurut Jumhur Ulama
Jumhur ulama membagi riba dalam dua bagian yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah.
1)        Riba Fadhl
Riba fadhl adalah jual beli yang mengandung unsur riba pada barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut. Oleh karena itu, jika melaksanakan akad jual-beli antar barang yang sejenis, tidak boleh dilebihkan salah satunya agar terhindardari unsur riba.
2)        Riba Nasi’ah
Maksudnya,menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak, dengan pembayaran diakhirkan, seperti menjual satu kilogram gandum dengan satu setengah kilogram gandum, yang dibayarkan setelah dua bulan. Contoh jual-beli yang tidak ditimbang, seperti membeli satu buah semangka dengan dua buah semangka yang akan dibayar setelah sebulan.
Sabda Nabi SAW
    عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْئَةً.
Artinya: “Dari Samurah bin jundub sesungguhnya Nabi SAW. Telah melarang jual beli binatang yang pembayarannya diakhirkan.” (H.R Lima ahli hadist).
b.        Menurut Ulama Syafi’iyah
Ulama Syafi’iyah membagi riba menjadi tiga jenis.
1)        Riba Fadhl
Riba fadhl adalah jual beli yang disertai adanya tambahan salah satu pengganti (penukar) dari yang lainnya. Dengan kata lain, tambahan berasal dari penukar paling akhir. Riba ini terjadi pada barang yang sejenis, seperti menjual satu kilogram kentang dengan satu setengah kilogram kentang.
Sabda Nabi SAW:
  عَنْ عِبَادَةِ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَاْلفِضَّةُ بِالضِّفَّةِ وَاْلبُرُّ بِاْلبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلِ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هذِهِ اْلأَصْنَافُ فَبِعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ اِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ (رواه مسلم وأحمد).
Artinya: dari ubadah bin as shamit r.a., Nabi SAW, telah besabda, “emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbang terima, apabila berlainan jenisnya, maka boleh kamu menjual sekehendakmu, asalkan dengan tunai.” (H.R.Muslim dan Ahmad).[10]

2)        Riba Yad
Jual beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai-cerai antara dua orang yang akad sebelum timbang terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara gandum dengan sya’ir tanpa harus saling menyerahkan dan menerima di tempat akad.
Menurut ulama Hanafiyah, riba ini termasuk riba nasi’ah,yakni menambah yang tampak dari utang.
3)        Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah, yakni jual beli yang pembayarannya diakhirkan,tetapi ditambahkan harganya.
Menurut ulama Syafi’iyah, riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak sejenis. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegangan barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Al-Mutawalli menambahkan, jenis riba dengan riba qurdi (mensyaratkan adanya manfaa). Akan tetapi, Zarkasyi menempatkannya pada riba fadhl.[11]\

B.       Bunga Bank
1.         Pengertian Bunga Bank
Pengertian bank menurut Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan ialah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Sedangkan bunga bank adalah kelebihan jasa yang harus dibayarkan kepada bank dari pihak peminjam atau pihak yang berhutang.[12]




2.      Hukum Bunga Bank
Ada beberapa pendapat ulama dalam menetapkan hukum bunga bank, yaitu:
a.         Haram dan termasuk riba, karena kelebihan pembayaran tersebut teklah ditentukan ketika akad berlangsung.pendapat ini di kemukakan oleh mushthafa zarga dan abu zahra yaitu ulama besar pada abad ke-20.
b.        Tidak termasuk riba, sebab cukup rasional untuk biaya pengelolaan serta jasa yang diberikan kepada pemilik uang. Pendapat ini dapat dikemukakan  oleh Mahmud Syaltut dari Al azhr.
c.         Subhat, yaitu belum jelas antara halal dan haram. Mereka cenderung berhati-hati. Pendapat ini dikemukakan oleh majlis tarjih muhamadiyah di indonesia.[13]
3.         Produk Bank Menurut Fiqih Muamalah
a.         Produk Bank Konvensional
Kegiatan usaha bank dalam melakukan penghimpunan dana masyarakat maupun dalam penyaluran dana dilakukan melalui produksi jasa keuangan. Hal ini karena produksi jasa keuangan dan bank dapat mempengaruhi peredaran uang di masyarakat, serta berpengaruh terhadap perekonomian. Oleh karena itu, produksi jasa keuangan bank diatur oleh peraturan yang sifatnya mengikat dalam kegiatan operasional bank, sehingga dapat memberikan keamanan bagi masyarakat dalam menyimpan dananya maupun stabilitas ekonomi nasional.
Diantara produk-produk bank, antara lain berikut ini:
1)        Simpanan adalah dana yang di percayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan.
2)        Giro adalah simpanan pada bank yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek atau surat perintah pembayaran lain atau dengan cara pemindahan buku.
3)        Cek adalah perintah tertulis pemegang rekening kepada bank yang di tunjuknya supaya membayar sejumlah uang.
4)        Tabungan adalah simpanan yang pada penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang telah disepakati, namun tidak dapat di tarik dengan  cek, bilyet, giro dan lain yang sama itu.
5)        Deposito adalah produk simpanan berjangka dari tiap-tiap bank.
6)        Inkaso adalah kegiatan jasa bank untuk melakukan amanat dari pihak ketiga berupa penagihan sejumlah uang kepada seseorang atau badan tertentu di kota lain yang telah ditunjuk oleh penunjuk si amanat. Dan  Kliring adalah suatu cara penyelesaian utang-piutang antara bank-bank peserta kliring dalam bentuk warkat atau surat-surat berharga disuatu tempat tertentu.
7)        Garansi Bank adalah jaminan dalam bentuk sebuah sertifikat yang diberikan oleh bank dalam penyelesaian suatu proyek ketika pelaksana atau kontrantor sebagai penerima kontrak ingkar/cedera janji.
8)        Surat yang Dapat Diperdagangkan
9)        Wesel Bank adalah surat berharga yang berisi perintah tak bersyarat dari bank penerbit draft tersebut kepada pihak lainnya (tertarik) untuk membanyar sejumlah uang kepada seseorang yang di tunjukknya pada waktu yang telah ditentukan.
10)    Endosemen adalah pengalihan hak kepada orang lain atas surat berharga yang dapat di alihkan.
11)    Transaksi-transfer adalah suatu kegiatan jasa bank untuk memindahkan sejumlah dana tertentu sesuai dengan perintah si pemberi amanat yang ditujukan untuk keuntungan seseorang yang di tunjuk sebagai penerima transfer.[14]
b.        Tinjauan Fiqh Muamalah
Pembahasan produk bank konvesional, menurut tinjauan fiqih muamalah, berkaitan dengan sejumlah bentuk muamalah dan terpulang pada kedudukan bunga yang dianut oleh bank itu sendiri dan bentuk produknya.
1)        Kedudukan Bunga Bank
Yang berkaitan dengan bunga bank, seperti telah dijelaskan di atas, di sini akan di kemukakan sebab atau illat hukum diharamkannya riba. Menurut penulis, diharamkannya riba karena dua hal:
a)         Adanya kezaliman , yaitu adanya keuntungan yang tidak sebanding. Sebenarnya kelebihan itu bukan sebab keharaman riba, melainkan karena adanya unsur kezaliman.
b)        Adanya eksploitasi dalam kebutuhan pokok atau adanya ghara, ketidakpastian, dan spekulasi yang tinggi.
2)        Bentuk Produk Bank Konvesional
Di antara produk bank tersebut yang sangat erat kaitannya dengan fiqih muamalah adalah mudharahah (join venter). Mudharabah sejak zaman jahiliyah sudah dilaksanakan, kemudian islam datang dan membolehkannya dengan peraturan-peraturan tertentu.
Di antara persyaratan mudharabah yang terpenting yang telah ditetapkan fuqaha adalah keuntungan mudharabah merupakan hak milik bersama antara lain pemilik modal dan pengguna modal yang pembagiannya melalui persentase seperti 50%, 30% dan lain-lain. Atas dasar ini, bila salah satu pihak terlebih dahulu menetapkan keuntungan tertentu tanpa penjelasan, mudharabah dinyatakan fasid, karena dinilai mengandung kezaliman. Akan tetapi, sebagian fuqaha modern berpendapat bahwa pembatasan sejumlah uang tertentu sebagai keuntungan pemilik modal tidak merusak mudharabah selama pembatasan itu disepakati kedua belah pihak. Alasannya:
a)         Keuntungan dalam mudharahah yang harus bersifat relatif, seperti yang telah di tetapkan para fuqaha, bukan kadar tertentu dan tidak terdapat dalilnya dalam Al-Quran dan sunah.
b)        Bagi fuqaha yang menyatakan mudharabah itu fasid bila tidak memenuhi syarat, menyatakan bahwa pengguna modal menjadi buruh(penjual jasa) bagi pemilik modal sehingga masih dibenarkan oleh hukum dan tidak mengandung kezaliman dan kemadaratan.
Pendapat ini dapat diterima dengan pertimbangan sebagai berikut:
(1)     Masalah pembatasan keuntungan terlebih dahulu atau tidak adanya penentuan bukanlah maslah akidah atau ibadah yang tidak dapat berubah, melainkan masalah mualamah, dapat berubah dan bergantung pada kesepakatan kedua belah pihak dengan syarat untuk menjaga kemaslahatan manusia.
(2)     Syariah islam bertujuan untuk kemaslahatan manusia.
(3)     Tidak dijumpainya nash syara’ yang melarang penentuan keuntungan terlebih dahulu.
(4)     Sesuatu yang sudah diketahui bahwa bank tidak menentukan keuntungan terlebih dahulu, kecuali setelah penelitian keadaan pasar, situasi ekonomi, dan situasi muamalah lainnya.
(5)     Penentuan keuntungan terlebih dahulu di zaman sekarang dapat bermanfaat bagi modal dan pengguna modal.
(6)     Penentuan keuntungan terlebih dahulu tidak bertentangan dengan kemungkinan adanya kerugian dari investor.[15]
c.         Perbedaan sistem bunga dengan syariah
Sistem bunga yang diterapkan oleh bank knvensional dan prinsip syariah dalam perbankan syariah dalam kegiatan  pemberian pinjaman atau pembiayaan kepada masing-masing nasabahnya memiliki beberapa perbedaan yang cukup prinsip, antara lain:[16]








Pokok perbedaan
Sistem bunga/konvensional
Prinsip syariah islam
Dasar perjanjian penentuan bunga/imbalan
Tidak berdasarkan keuntungan /kerugian
Berdasarkan keuntungan/kerugian
Dasar perhitungan bunga/imbalan
Persentase tertentu dari pinjaman
Nisbah bagi hasil berdasarkan keuntungan yang diperoleh
Kewajiban membayar bunga/imbalan
a.       Tetap harus dibayar meskipun usaha nasabah merugi.
b.      Besarnya pembayaran bunga tetap
a.       Imbalan dibayar bila usaha nasabah untung. Bila merugi, kerugian di tanggung kedua pihak
b.      Besarnya imbalan disesuaikan keuntungan.
Persyaratan jaminan obyek usaha yang dibiayai
Mutlak diperlukan
Tidak ada pembatasan jenis usaha sepanjang bankable
Tidak mutlak jenis usaha harus sesuai syariah
Kedudukan sistem bunga berdasarkan prinsip syariah
Pengenaan bunga sifatnya haram
Pembayaran imbalan berdasar bagi hasil adalah halal.







BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat kami ambil dari makalah ini adalah, riba dengan segala macam bentuknya merupakan suatu pemaksaan pemindahan hak milik dari orang yang menjadi objek riba oleh orang yang menjadi subjek dari perbuatan riba itu secara tidak langsung. Dan perbuatan semacam ini mendapatkan kecaman yang sangat serius dari Allah dan Rasul-Nya. Orang yang melakukan transaksi semacam ini balasannya adalah neraka berdasarkan firman Allah “Dan Allah telah menghalalkan jualbeli dan mengharamkan riba”. Karena pada dasarnya riba adalah pencurian yang mempunyai akad.

B.       Saran
kami harap bagi pembaca bila menemukan kekeliruan atau kata yang mempunyai  makna menyinggung ataupun salah dalam penerapan dalam kehidupan pembaca/bertentangan maka kami mohon maaf, karena kami pembuat makalah ini hanya ciptaan yang mungkin masih memilikin kekurangan.














DAFTAR PUSTAKA

Sarjono, Ahmad.2008. Buku ajar Fiqh. Jakarta :CV.Sindunata
Siamat Dahlan. 2005. manajemen lembaga keuangan (kebijakan moneter dan perbankan) edisi lima. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Rasjid H. Sulaiman. 1994. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Syafe’i Dr. Rachmat, MA. 1997.  Fiqh Muamalah. Bandung



[1] Sarjono, Ahmadi, Buku Ajar FIQH, solo:2008, halaman:45
[2] Dahlan siamat, manajemen lembaga keuangan (kebijakan moneter dan perbankan) edisi lima, jakarta:2005, halaman: 407
[3] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung, 1994, halaman: 290
[4] Sarjono, Ahmadi, Buku Ajar FIQH, solo, 2008, halaman:46
[5] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung, 1994, halaman: 291
[6] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung, 1994, halaman: 291
[7] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung, 1994, halaman: 292
[8] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung, 1994, halaman: 292
[9] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung, 1994, halaman: 293
[10] Sarjono, Ahmadi, Buku Ajar FIQH, solo,2008, halaman:47
[11] Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Bandung, 1997, halaman; 269
[12] Sarjono, Ahmadi, Buku Ajar FIQH, solo,2008, halaman:50
[13] Sarjono, Ahmadi, Buku Ajar FIQH, solo,2008, halaman:50
[14] Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Bandung, 1997, halaman; 270
[15] Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Bandung, 1997, halaman; 276
[16] Dahlan siamat, manajemen lembaga keuangan (kebijakan moneter dan perbankan) edisi lima, jakarta:2005, halaman: 436

1 comment: