Tuesday 19 January 2016

Makalah Qiradh dan Hiwalah

A.      Latar belakang
Qiradh ialah memberikan modal dari seseorang kepada orang lain untuk modal usaha, sedangkan keuntungan untuk keduanya menurut perdamaian (perjanjian) antara keduanya sewaktu akad di bagi dua atau di bagi tiga seumpamanya. Qiradh memang telah ada di masa jahiliyah (sebelum islam) kemudian di tetepkan (di perbolehkan) oleh agama islam. Peraturan qiradh ini di adakan karena benar-benar di butuhkan oleh sebagian umat manusia. Betapa tidak ada orang yang mempunyai modal tetapi tidak pandai berdagang, atau tidak berkesempatan, sedangkan yang lain pandai dan cakap lagi mempunyai waktu yang cukup, tetpi tidak mempunyai modal, qiradh berarti juga untuk pengajuan bersama perdagangan juga mengandung arti tolong menolong.[1]
Menurut bahasa, Hiwalah artinya “mengalihkan”. Sedangkan menurut syara’ ialah memindahkan hak dari tanggungannya orang yang mengalihkan kepada orang yang di limpahi tanggungan. Hiwalah ialah memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan orang lain. Hiwalah ini merupakan system yang unik yang sesuai untuk di adaptasikan kepda manusia. Hal ini karena hiwalah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia. Hiwalah sering berlaku dalam permasalahan hutang piutang. Maka salah satu cara untuk menyelesaikan masalah hutang piutang dalam muamalah adalah hiwalah. Hiwalah bukan saja di gunakan untuk menyelesaikan masalah hutang piutang akan tetapi bisa juga digunakan sebagai pemindah dana dari individu kepada individu yang lain.[2]

B.       Rumusan Masalah :
1.         Apa pengerian, hukum, rukun, syarat, dan cara pelaksanaan qiradh?
2.         Apa pengertian, hukum, rukun, syarat, dan cara pelaksanaan hiwalah?


C.      Tujuan :
1.         Agar mengetaui pengertian, hukum, syarat, rukun, serta cara pelaksanaan dari qiradh.
2.         Agar mengetahui pengertian, hukum, rukun, syarat, serta cara pelaksanaan hiwalah.


























BAB II
PEMBAHASAN

A.     Qiradh
1.         Pengertian Qiradh
Qiradh ialah memberikan modal dari seseorang kepada orang lain untuk modal usaha, sedangkan keuntungan untuk keduanya menurut perdamaian (perjanjian) antara keduanya sewaktu akad di bagi dua atau di bagi tiga seumpamanya. Qiradh memang telah ada di masa jahiliyah (sebelum islam) kemudian di tetepkan (di perbolehkan) oleh agama islam. Peraturan qiradh ini di adakan karena benar-benar di butuhkan oleh sebagian umat manusia. Betapa tidak ada orang yang mempunyai modal tetapi tidak pandai berdagang, atau tidak berkesempatan, sedangkan yang lain pandai dan cakap lagi mempunyai waktu yang cukup, tetpi tidak mempunyai modal, qiradh berarti juga untuk pengajuan bersama perdagangan juga mengandung arti tolong menolong.[3]
Lafazh “Qiradl” menurut bahasa adalah berasal dari lafazh “Qardlu” artinya Ialah “memutus”. Sedangkan menurut syara’ ialah satu akad penyerahan harta yang dilakukan oleh pemiliknya kepada seseorang supaya memperdagangkan harta tersebut dan keuntungannya dibagi berdua.[4]
Qiradh berasal dari kata qaradha yang berarti “memutuskan atau memastikan”. Di namakan qiradh karena pemilik uang memutuskan atau memastikan untuk menyerahkan sebagian uangnya kepada orang lain untuk di perdagangkan, dan juga memutuskan untuk membagi labanya. Definisi qiradh menurut syara’ adalah akad penyerahan kepada orang lain untuk di pedagangkan, kemudian labanya dibagi menurut syarat-syarat yang di tentukan, baik di bagi sama rata maupun tidak sama antara pemilik uang dan pengusaha yang memperdagangkan uang tersebut.[5]



Qiradh bisa juga di sebut Mudharabah termasuk salah satu bentu akad syirkah (perkongsian). Istilah Mudharabah di gunakan oleh orang Irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya dengan istilah Qiradh. Dengan demikian, mudharabah dan qiradh adalah dua istilah yang sama. Orang Irak menyebutnya dengan istilah mudharabah sebab, setiap orang yang melakukan akad memiliki bagian dari laba. Atau pengusaha harus mengadakan perjalanan dalam mengusahakan harta modal tersebut.
Mengenai pengertian mudharabah menurut istilah, di antara ulama fiqih terjadi perbedaan pendapat, salah satunya adalah:
اَنْﻳَﺪْﻓَﻊَاﻟْﻣَﺎﻟِﻚُ اَِاﻟْﻌَﺎﻣِلِﻣَﺎﻻًﻟِﻳَﺘَّﺠِﺮَﻓِﻴْﻪِﻮَﻳَﻘُﻮْنُ اﻟِﺮّﺑْﺢُﻣُﺸْﺘَِﺮﮐًﺎﺑَﻴْﻨَﻬُﻣَﺎﺑِﺤَﺴْﺐِﻣَﺎﺷُِﺮّﻃَﺎ
Artinya: “Pemilik harta (modal) menyerahkan modal kepada pengusaha untuk berdagang dengan modal tersebut, dan laba di bagi antara keduanya berdasarkan persyaratan yang di sepakati.
Apabila rugi, hal iru di tanggung oleh pemilik modal. Dengan kata lain, pekerja tidak bertanggung jawab atas kerugiannya. Kerugian pengusaha hanyalah dari segi kesungguhan dan pekerjaan yang tidak akan mendapat imbalan jika rugi.
Apabila rugi hal itu di tanggung dengan pemilik modal dengan kata lain, pekerja tidak bertanggung ajawab atas kerugiannya. Kerugian perusahaan hanyalah dari segi kesungguhan dan pekerjaannya yang tidak akan mendapat imbalan jika rugi. Dari pengertian di atas, dapat di ketahui bahwa modal boleh berupa barang yang tidak dapat di bayarkan seperti rumah. Begitu pula tidak boleh berupa hutang, pemilik modal memiliki hak untuk mendapatkan laba sebab modal tersebut miliknya, sedangkan pekerja mendapatkan laba dari hasil pekerjaannya.[6]
Qiradh itu sah jika di lakukan dalam bentuk uang, emas atau perak murni yang telah tercetak, sebab qiradh adalah akad yang tidak jelas (gharar) lantaran tidak terbatas pekerjaan (yang di kerjakan) serta tidak ada kepastian tentang labanya.[7]

2.         Hukum Qiradh
Dasar hukum qiradh di perbolehkan, kerena qiradh adalah apa yang di lakukan oleh rosulullah saw ketika beliau berakad qiradh dengan siti khadijah (sebelum nikah) untuk memperdagangkan hartanya ke negara syam dan lain-lain. Para sahabat juga telah sepakat menetapkan sah nya perdagangan seperti itu.
Ada yang mengkiyaskan qiradh dengan mushaqah (akad pengairan tanaman), karena sama-sama dibutuhkan oleh masyarakat. Sebab kadang-kadang seseorang itu mempunyai sawah ladang dan pembiayaan, namun tidak mempunyai keahlian dalam menggolahnya, sedangkan orang lain tidak mempunyai sawah atau ladang, ada yang mempunyai keahlian untuk mengolah sawah atau ladang tersebut.
Akad qiradh itu sesuai dengan hadist riwayat Ibnu Majah, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
ﺛَﻼَﺛَﺔٌﻓِﻴْﻬِﻦََّاﻟْﺒَﺮَﻛَﺔُ:اَﻟْﺒَﻴْﻊُﺈَِِأَﺟَﻞٍﻮَاﻟْﻤُﻘَﺎﺿَﺔُ،ﻮَاﺧْﺘِﻼﻃُ اﻟْﺒُﺮَّﺑِﺎاﻟﺸَّﻌِﻴْﺮِ،ﻻَﻟِﻠْﺒَﻴْﻊِ
Artinya: “Ada tiga hal yang mengandung berkah, yaitu jual-beli, yang diberi tempo (masa khiar), penyerahan (pinjaman) uang untuk diperdagangkan, dan campuran gandum dengan terigu bukan untuk di jual-belikan.(H.R Ibnu Majah)”. [8]
Hukum qiradh terbagi dua, yaitu qiradh sahih dan qiradh fasid. Kedua jenis qiradh ini akan menjelaskan di bawah ini.
a.         Hukum Qiradh Fasid
Salah satu contoh qiradh fasid adalah mengatakan “Berburulah dengan jarring saya dan hasil buruannya di bagi di antara kita”. Ulama’ Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa pernyataan termasuk tidak dapat dikatakan qiradh yang sahih karena pengusaha (pemburu) berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya, baik ia mendapatkan buruan atau tidak.
Hasil yang di peroleh pengusaha atau pemburu di serahkan kepada pemilik harta (modal), sedangkan pemburu tidak memiliki hak sebab akadnya fasid. Tentu saja, kerugian yang ada pun di tanggung sendiri oleh pemilik modal. Namun, jia modal rusak atau hilang, yang di terima adalah ucapan pengusaha dengan sumpahnya. Pendapat ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah hampir sama dengan pendapat Hanafiyah.
Beberapa hal lain dalam qiradh fasid yang mengharuskan pemilik modal memberikan upah kepada pengusaha, antara lain:
1)        Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli, menjual, member, atau mengambil barang.
2)        Pemilik modal mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah sehingga pengusaha tidak bekerja, kecuali atas seizinnya.
3)        Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan harta modal tersebut dengan harta orang lain atau barang lain miliknya.[9]
b.        Hukum qiradh sahih
Hukum Qiradh sahih yang tergolong sahih cukup banyak, diantaranya berikut ini.
1)        Tanggung jawab pengusaha
Ulama’ fiqih telah sepakat bahwa pengusaha bertanggung jawab atas modal yang ada di tangnnya, yakni sebagai titipan. Hal ini karena kepemilikan modal tersebut atas izin pemilinya. Apabila pengusaha beruntung, ia memiliki hak atas laba secara bersama-sama dengan pemilik modal. Jika qiradh rusak karena adanya beberapa sebab yang menjadikannya rusak, pengusaha menjadi pedagang sehingga ia pun memiliki hak untuk mendapatkan upah. Jika harta rusak tanpa di sengaja, ia tidak bertanggung jawab atas rusaknya modal tersebut. Jika mengalami kerugian pu, di tanggung oleh pengusaha saja. Jika disyaratkan bahwa pengusaha harus bertanggungjawab atas rusaknya modal, menurut ulam’ Hanafiyah dan Hanabilah, syarat tersebut batal, tetapi akadnya sah. Dengan demikian, pengusaha bertanggungjawab atas modal dan berhak atas laba. Adapun ulama’ Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa qiradh batal.
2)        Tasyarruf Pengusaha
Hukum tentang tasharruf pengusaha berbeda-beda bergantung pada qiradh mutlak atau terikat.
a)         Pada qiradh mutlak
Menurut ulama’ Hanafiyah, jika qiradh mutlak maka pengusaha berhak untuk beraktivitas dengan modal tersebut yang menjurus kepada pendapatan laba, seperti jual beli. Begitu pula pengusaha di bolehkan untuk membawa modal tersebut dalam suatu perjalanan dengan maksud untuk mengusahakan harta tersebut.
Beberapa hal yang perlu di lakukan oleh pengusaha adalah:
(1)     Pengusaha hanya boleh mengusahakan modal setelah ada izin yang jelas dari pemiliknya.
(2)     Menrut ulama’ Makiyah, pengusaha tidak boleh membeli barang dengan melebihi modalyang di berikan kepadanya.
(3)     Pengusaha tidak membelanjakan modal selain untuk qiradh, juga tidak boleh mencampurkannya dengan harta milik orang lain.
Dalam qiradh mutlak, menurut ulama’ Hanafiyah, pengusaha di perbolehkan menyerahkan modal tersebut kepada pengusaha lainnya atas seizing pemilik modal. Namun demikian, harta tersebut tetap berada di bawah tanggung jawabnya (pengusaha pertama). Jika mendapatkan laba, laba tersebut dibagikan kepada pemilik modal dan pengusaha pertama sesuai kesepakatan. Adapun bagian dari laba yang di terima oleh pengusaha pertama di bagi  lagi dengan pengusaha kedua sesuai kesepakatan di antara keduanya. Menurut ulama’ Hanafiyah, pengusaha bertanggung jawab atas modal jika ia memberikan modal kepada orang lain tanpa seizinnya, tetapi laba di bagi atas pengusaha kedua dan pemilik modal. Pengusaha pertana tidak berhak mendapatkan laba sebab laba di berikan kepada mereka yang berusaha secara sempurna.[10]
b)        Pada qiradh terikat
Secara umum, hukum yang terdapat dalam qiradh terikat sama dengan ketetaan yang ada pada qiradh mutlak. Namun ada beberapa pengecualian, anatara lain berikut ini.
(1)     Penentuan tempat
Jika pemilik modal menentukan tampar, seperti ucapan, “Gunakan modal ini untuk qiradh, dengan syarat harus di daerah tasikmalaya.” Pengusaha harus mengusahakan di daerah Tasikmalaya, sebab syarat tempat termasuk persyaratan yang di bolehkan. Apabila pengusaha mengusahakannya bukan di daerah Tasikmalaya, ia bertanggung jawab atas modal tersebut berserta kerugiannya.
(2)     Penentuan orang
Ulama’ Hanafiyah dan Hanabilah membolehnkan pemilik modal untuk menentukan orang yang harus di beli barangnya oleh pengusaha atau kepada siapa ia harus menjual barang, sebab hal ini termasuk syarat yang berfaedah. Adapun ulama’ Syafi;iyah dan Malikiyah melarang persyaratan tersebut sebab hal itu mencegah pengusaha untuk mencari pasar yang sesuai dan menghambat pencarian laba.
(3)     Penentuan waktu
Ulama’ Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan pemilik modal menentukan waktu sehingga jika melewati batas, akad batal. Adapaun ulama’ Syafi’iyah dan Malikiyah melarang persyaratan tersebut sebab terkadang laba tidak dapat di perolah dalam waktu sebentar terkadang dapat di peroleh pada waktu tertentu.
c)         Hak-hak pengusaha (Al-mudharib)
Pengusaha memiliki dua hak atas harta qiradh, yaitu hak nafkah (menggunakan untuk keperluannya) dan hak laba, yang telah di tentukan dalam akad.
(1)     Hak nafkah (membelanjakan).
Para ulama’ berbeda pendapat dalam hak nafkah modal atau harta qiradh. Secar umum, pendapat mereka dapat di bagi menjadi tiga golongan, yaitu:
(a)      Imam Syafi’i, menurut riwayat paling zahir, berpendapat bahwa pengusaha tidak boleh menafkahkan modal untuk dirinya, kecuali atas seizing pemilik modal, sebab pengusaha akan memiliki keuntungan dari laba. Jika pengusaha mengsyaratkan kepada pemilik modal agar di bolehkan menggunakan modal untuk keperluannya, akad menjadi rusak.
(b)     Jumhur ulama, di anataranya Imam Malik, Imam Hanafi, dan Imam Zaidiyah berpendapat bahwa engusaha berhak menafkahkan harta qiradh dalam perjalanan untuk keperluannya, seperti pakaian, makanan, dan lain-lain. Hanya saja menurut Imam Mailik, hal itu bisa di lakukan jika modal yang memang mencukupi untuk itu.
(c)      Ulama’ Hanabilah membolehkan pengusaha untuk menafkahkan harta untuk keperluannya baik pada waktu menetap atau perjalanan jika pada waktu akad. Dengan demikian, jika tidak di syaratkan pada waktu akad, tidak boleh menafkahkan modal.[11]
Diantara alasan para ulam’ membolehkan pengusaha untuk membelanjakan modal qiradh untuk keperluan modal qiradh untuk keperluan antara lain, jika modal boleh di nafkahkan, di khawatirkan manusia tidak mau qiradh sebab kebutuhan mereka cukup banyak ketika qiradh. Belanja yang di bolehkan, sebagaimana pendapat ulama’ Hanafiyah, adalah kebutuhan sehari-hari, seperti makan, minum, pakaian dan lain lain. Dengan syarat tidak berlebih-lebihan (isyraf). Belanja tersebut kemudian di kurangkan dari laba, jika sudah ada laba, di ambil dari modal.
(2)     Hak mendapatkan laba
Pengusaha berhak mendapatkan bagian dari sisa laba sesuai dengan ketetaan dalam akad, jika usahanya mendapatkan laba. Jika tidak, ia tidak mendapatkan apa-apa sebab ia bekerja untuk dirinya sendiri. Dalam pembagian laba, di syaratkan setelah modal di ambil.
Di antara dalil-dalil yang mengharuskan pemilik modal mengambil modalnya terlebih dahulu adalah hadist yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW.ber-sabda:
ﻣَﺜَﻞُاﻟْﻣُﻮْٔﻣﻦِﻣَﺜَﻞُاﻟﺘّّﺎﺟِﺮِﻻَﻳُﺴْﻠِﻢُرِﻳْﺠَﻪُﺣََّﻳُﺴْﻠِﻢَرَٵْسَﻣَﺎﻟِﻪِ٠
Artinya:“Perumpamaan orang muslim seperti pedagang, tidak menyerahkan laba sehingga menyerahkan modalnya.”
Berdasarkan hadist di atas, para ahli fiqih sepakat bahwa sebelum laba di berikan, pengusaha di haruskan menyerahkan dahulu modal kepada pemiliknya.
(3)     Hak pemilik modal
Hak bagi pemilik modal adalah mengambil bagian laba jika menghasilkan laba. Jika tidak ada laba, pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.[12]
Ulama’ fiqih sepakat bahwa mudharabah di syaratkan dalam islam berdasarkan: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.[13]
(4)     Pertentangan antara Pemilik dan Pengusaha
(a)      Perbedaan dalam Mengusahakan (Tasyarruf)
Di antara pemilik modal dan pengusaha terkadang ada perbedaanperbedaan dalam hal keumuman ber-tasharruf, kerusakan harta, pengembalian harta, ukuran laba yang di syaratkan, serta ukuran modal. Jika terjadi perbedaan antara  pemilik dan pengusaha, yaitu suatu pihak menyangkut sesuatu yang umum dan pihak lain menyangkut masalah khusus, yang di terima adalah pernyataan yang menyangkut hal-hal umum dalam perdagangan, yakni menyagkut pendapatan laba yang dapat di peroleh dengan menerapkan ketentuan-ketentuan umum. Jika terjadi perbedaan pendapat secara muthlaq dan muqayyad (terikat), yang di terima adalah perbyataan yang menyatakan muthlaq, seperti jija pemilik modal menyatakan, "saya izinkan kamu untuk berdagang di Mesir, tidak boleh berdagang selain di daerah itu." Akan tetapi, pengusah tidak mengakui bahwa pemilik modal menyebutkan tempat maka yang diterima adalah ucapan penguasa, sebab lebih memdekati kemutlakan. Jika kedua orang yang berakad berbeda dalam jenis usaha atau jenis barang yang harus di beli, maka yang di terima adalah ucapan pemilik harta. Jika pemilik modal menyatakan bahwa modal harus di-tasharruf-kan kepada gandum, tetapi pengusaha menyatakan bahwa modal harus di-tasharruf-kan kepada pakaian, yang di terima adalah ucapan pemilik modal sebab pengusaha harus mengusahakan hartanya atas seizing pemilik harta.
(b)     Perbedaan dalam Harta yang Rusak
Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengusaha tentang rusaknya harta, seperti pengusaha menyatakan bahwa kerusakan di sebabkan pemilik modal, tetapi pemilik modal mengingkarinya, maka yang di terima, berdasarkan kesepakatan para ulama', adalah ucapan pengusaha, sebab pada dasarnya ucapan pengusaha adalah amanah, yakni tidak ada khianat.[14]
(c)      Perbedaan Tentang Pengembalian Harta.
Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengusaha tentang pengembalian harta, seperti ucapan pengusaha bahwa modal telah di kembalikan, yang di terima menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah penryataan pemilik modal, yang di terima adalah pernyataan pemilik modal.
(d)     Perbedaan dalam Jumlah Modal Modal
Ulama fiqih sepakat bahwa jika terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah modal, yang di terima adalah ucapan pengusaha, sebab dialah yang memegangnya.
(e)      Perbedaan dalam Ukuran laba
Ulama Hanafiyah dan Hanabilahmodal, jika pengusaha mengakui bahwa di syaratkan baginya setengah laba, sedangkan menurut pemilik adalah sepertiganya.
Ulama Malikiyah berpendapat, yang di terima adalah ucapan pengusaha beserta sumpahnya dengan syarat: Harus sesuai dengan kebiasaan manusia yang berlaku dalam qiradh., dan Harta masih di pegang oleh pengusaha. Menurut ulama Syafi'iyah, jikaHanabilah terjadi perbedaan pendapat dalam pembagian laba, harusdi putuskan oleh hakim, kemudian pengusaha berhak mendapatkan upah atas perniagaannya.
(f)      Perbedaan dalam Sifat Modal
Ulama Hanabilah dan Hanafiyah berpendapat bahwa bila ada perbedaan dalam sifat modal, ucapan yang diterima adalah pernyataan pemilik harta, misalnyapemilik menyatakan, "Saya serahkan harta untuk qiradh, berdagang, membeli sesuatu, dan lain-lain." Sedangkan pengusaha menyatakan bahwa harta itu diberikan kepadanya secara cuma-cuma sebab yang membayarnya adalah pemilknya.[15]


(5)     Perkara yang Membatalkan Qiradh
Qiradh dianggap batal pada hal berikut:
(a)      Pembatalan, Larangan, Berusaha, dan Pemecatan
Qiradh menjadi batal dengan adanya pembatalan qiradh, larangan untuk mengusahakan (tashyarruf), dan pemecatan. Semua ini jika memenuhi syarat pembatalan dan larangan, yakni orang yang melakukan akad mengetahui pembatalan dan pemecatan tersebut, serta modal telah diserahkan ketika pembatalan atau larangan. Akan tetapi, jika pengusaha tidak mengetahui bahwa qiradh te (mudharib) dibolehkan untuk tetap mengusahakannya.
(b)     Salah Seorang Akid Meninggal Dunia
Jumhur ulama berpendapat bahwa qiradh batal, jika salah seorang aqid meninggal dunia, baik pemilik modal maupun pengusaha hal ini karena qiradh berhubungan dengan perwakilan yang akan batal dengan meninggalnya wakil yang mewakilkan. Pembatalan tersebut dipandang sempurna atau sah, baik diketahui salah seorang yang melakukan akad atau tidak. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa qiradh tidak batal dengan meninggalnya salah seorang yang melakukan akad, tetapi dapat di serahkan kepada ahli warisnya, jika dapat dipercaya.
(c)      Salah Seorang Aqid Gila
Jumhur ulama berpendapat bahwa gila membatalkan qiradh, sebab gila atau sejenisnya membataljan keahlian dalam qiradh.
(d)     Pemilik Modal Murtad
Apabila pemilik modal murtad (keluar dari islam) atau terbunuh dalam keadaan murtad, atau bergabung dengan musuh serta telah diputuskan oleh hakim atas pembelotannya, menurut Imam Abu Hanifah hal itu membatalkan qiradh sebab bergabung dengan musuh sama saja dengan mati,. Hal itu menghilangkan keahlian dalm kepemilikan harta, dengan adil bahwa harta orang murtad dibagikan di antara para ahli warisnya.
(e)      Modal Rusak di Tangan Pengusaha
Jika harta rusak sebelum dibelanjakan, qiradh menjadi batal, hal ini karena modal harus dipegang oleh pengusaha. Jika modal rusak, qiradh batal. Begitu pula qiradh di anggap rusak jika midal diberikan kepada orang lain atau dihabiskan sehingga tidak tersisa untuk diusahakan.[16]
(6)     Rukun qiradh:
(a)      Harta (modal), baik berupa uang ataupun lainnya. Keadaan modal hendaknya di ketahui banyaknya.
(b)     Pekerjaan, yaitu berdagang dan lain-lainnya yang berhubungan dengan urusan perdagangan tersebut. Barang yang hendak di perdagangkan, begitu juga tempat, hendaknya tidak ditentukan, hanya di serahkan saja pada pekrja. Arang apa dan di tempat manapun bisa,asal menurut pandangannya ada harapan untuk mendapat keuntungan.
(c)      Keuntungan, banyaknya keuntungan untuk bekerja hendaklah di tentukan sewaktu akad , misalnya seperdua atau sepertiga dari jumlah keuntungan.
(d)     Yang punya modal dan yang bekerja (pekerja). Keduanya hendaklah orang yang berakal dan sudah baligh (berumur 15 tahun) dan bukan orang yang di paksa.[17]

(7)     Jenis-jenis Qiradh
Qiradh ada dua macam, yaitu qiradh mutlak (al-mutlaq) dan qiradg terikat (al-muqayyad). Qiradh mutlak adalah penyerahan modal seseorang kepada pengusaha tanpa memberikan batasan, seperti berkata “saya serahkan uang ini kepada mu untuk diusahakan, sedangkan labanya akan dibagi di antara kita, masing-masing setengah atau sepertiga, dan lain-lain”.
 Qiradh muqayyad (terikat) adalah penyerahan modal seseorang kepada pengusaha dengan memberikan batasan. Seperti persayratan bahwa pengusaha harus berdagang di daerah bandung atau harus berdagang sepatu, atau membeli barang dari orang tertentu, dan lain-lain. Ulama; Hanafiyah dan Imam Ahmad memperbolehkan member batasn dengan waktu dan orang, tetapi ulam’ Syafi’iyah dan Malikiyah melarangnya. Ulama’ Hanafiyah dan Ahmad pun membolehkan akad apabila dikaitkan dengan masa yang akan dating, seperti, “Usahakan modal ini mulai bulan depan,” sedangkan ulama’ Syafi’iyah dan Malikiyah melarangnya.[18]
(8)     Sifat Qiradh
Ulama’ fiqih sepakat bahwa akad dalam qiradh sebelum di jalankan oleh pekerja termasuk akad akan tidak lazim. Apabila sudah dijalankan oleh pekerja diantara ulama’ terdapat perbedaan pendapat ada yang berpendapat, ada yang berpendapat termasuk akad yang lazim, yakni dapat di wariskan seperti pendapat Imam Malik, sedangkan menurut Imam Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, akad tersebut tidak lazim, yakni tidak dapat di wariskan. Mudharib (Pengusaha) Lebih dari Seorang. Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa jika qiradh lebih dari seorang, laba di bagikan berdasarkan hasil pekerjaan mereka. Dengan kata lain keuntungan diantara sesame pengusaha tidak boleh di samakan, tetapi menurut kadar usaha dan hasil usahanya.[19]
3.        Syarat Qiradh
a.         Akad qiradl itu ada 4 macam  syaratnya, yaitu:
1)        Qiradl itu sendiri harus berupa uang (dirham dan dinar) yang murni, karena itu tidak sah akad Qiradl dengan emas murni, emas perhiasan, emas yang campuran dan juga tidak sah dengan harta, seperti uang emas atau perak yang tercetak.
2)        Pemilik modal memberikan izin kepada pihak yang memperdagangkan untuk mentasarrufkan secara mutlak. Maka tidak boleh bagi pemilik modal mempersempit pengelola dalam mentasarrufkan, seperti ucapan pemilik modal : “ Kamu jangan membeli sesuatu sebelum bermusyawarah dengan aku” atau : “Kamu jangan membeli, kecuali gandum yang putih, misalnya”. Kemudian mushannif menghubungkan perkataannya yang terdahulu dengan yang ada disini, yakni pemilik modal memberikan izin kepada pihak yang memperdagangkan dalam mengusahakan sesuatu, yang menurut kebiasaan tidak putus wujudnya. Jika pemilik modal berjanji kepada orang yang mengerjakan untuk  membeli sesuatu yang langka wujudnya, seperti  kuda belang, maka hukumnya tidak sah.
3)        Harus ada janji dari pemilik modal kepada orang yang mengerjakan berupa bagian keuntungan yang dapat diketahui,  seperti separo dari keuntungannya, atau sepertigannya. Jika pemilik modal berkata kepad orang yang mengerjakan : “aku mengqiradlkan kepadamu modl ini dengan janji, bahwa kamu akan bersama-sama mendapatkan keuntungan dalam kaitannya dengan modal ini atau bagian dari padanya”, maka akad qiradl ini hukumnya rusak (tidak sah). Atau pemilik modal berkata : “keuntungannya milik kita berdua”, maka hukumnya sah. Dan keuntungan tersebut dibagi dua.
4)        Pihak pemilik modal tidak memperkirakan akan Qiradl dalam suatu masa yang telah maklum, seperti ucapan pemilik modal : “aku mengqiradlkan kepadamu dalam masa satu tahun saja”. Dan pihak orang yang mengakadkan tidak mengantungkan dengan suatu syarat, seperti seperti ucapan pemilik modal : “Bila nanti telah datang awal bulan, maka aku menqiradlkan kepadamu.[20]
b.        Adapun menurut para ulama’ syarat qiradh adalah:
1)        Para ulama’ menentukan syarat qiradh berupa uang dirham dan dinar (atau mata uang yang lainnya-Pen). Tidak boleh melakukan akad qiradh dengan penyerahan barang-barang perhiasan dari emas, emas lempengan (lantakan), atau berupa komoditi (barang dagangan).
2)        Orang yang memperdagangkan uang di dalam akad qiradh tidak boleh di batasi usahanya. Pembatasan usaha tersebut kadang-kadang berupa pencegahan pembelanjaan secara mutlak, misalnya pemberi modal berkata, “janganlah engkau membeli sesuatau sebelum bermusyawarah lebih dahulu denganku!” atau, “janganlah engkau menjual sesuatu sebelum mendapat izinku!”.
3)        Keuntungan akad qiradh tersebut harus sama-sama di rasakan oleh pemilik modal dan orang yang memperdagangkan modal. Pemilik modal mendapat keuntungan sebab modal yang di berikan, dan orang yang menjalankan modal itu mendapat keuntungan sebab tenaganya. Demikian ini bisa menghilangkan tujuan akad qiradh yaitu laba, yakni mengakibatkan hilangnya laba, karena dalam menjual dan membeli sesuatu harus konsultasi terlebih dahulu dengan pemilik modal, maka akan memakan waktu lam sehingga konsumennya tidak sabar lalu beralih ke pengusaha lain.
Pembatasan usaha terkadang sebagai berikut: Pemilik modal mengsyaraatkan orang yang menjalankan uang tersebut hanya boleh membeli barang dagangan tertentu saja, misalnya hanya diperbolehkan membeli gandum jenis tertentu saja, ataupun pakaian jenis tertentu saja. Bisa juga pembatasan usaha tersebut dengan mengsyaratkan untuk membeli barang-barang yang sulit di dapat, misalnya kuda yang warnanya menarik atau yang tangkas dan sebagainya atau mengsyaratkan membeli buah-buahan yang tidak ada pada musim panas atau musim dingi dan sebagainya, atau mensyaratkan beruamalah hanya dengan pedagang tertentu, misalnya pemilik modal mengatakan: “Jangan membeli sesuatu, melainkan dari Fulan saja!”.
Semua syarat-syarat yang membatasi usaha tersebut merusak akad qiradh, karena barang-barang tertentu yang di syaratkan oleh pemilik modal tadi mungkin tidak dijual oleh pemilik barang itu, atau sudi menjual kalau harganya mahal. Akibatnya, usaha di dalam qiradh tersebut tidak akan mendapat laba.
Pengusaha-pengusaha tertentu yang ditunjuk untuk menghubungi mungkin juga tidak mau berhubungan dengan pelaksana qiradh tetapi ternyata mereka tidak mempunyai barang dagangan yang bisa mendatangkan keuntungan, atau mungkin mereka mempunyai barang dagangan tersebut tetapi menjualnya dengan harga yang sangat tinggi (sehingga akad qiradh tersebut tidak bisa menghasilkan laba-Pen).
Pembatasan-pembatasan usaha tersebut akan menghalangi tujuan qiradh yang utama (yaitu untuk mendapatkan laba/keuntungan-Pen.). jadi, pembatasan-pembatasan usaha dengan pemberi persyaratan tertentu seperti itu harus di tiadakan.
Batas waktu qiradh yang tidak boleh di tentukan, lain halnya dengan musaqah (mengairi tanaman), karena keuntungan yang di dapat dari qiradh tidak dapat di tentukan dalam masa tertentu, sedangkan keuntungan yang di dapat dari mengairi tanaman dapat di tentukan dalam masa panennya. Pemilik modal dan orang yang menjalankan modal dalam akad qiradh boleh membatalkan akad sewaktu-waktu mereka menghendaki, karena qiradh itu akad yang jaiz (wenang).
Seandainya pemilik modal menentukan masa, setelah itu ia melarang orang yang menjalankan modal itu untuk membelanjakan modal, maka akad qiradh tersebut rusak karena akan menghalangi tujuan qiradh. Apabila orang yang menjalankan modal sudah membelanjakan modal yang di terima, kemudian pemilik modal melarang orang yangmembelanjakan modal untuk berbelanja lagi, maka tidak sampai membahayakan/membatalkan akad qiradh yang sudah terlanjur berlangsung menurut kaul yang ashah, sebab pemilik modal sewaktu-waktu berhak melarang orang yang menjalankan modal untuk membeli sesuatu. Karena itu, ia boleh mencantumkan hal tersebut pada saat akad.
Syekh Abu Syuja’ berkata:
ﻮَأَنْﻳَﺸْﺘَﺮِﻃَ ﻟَﻪُﺧُﺰْءًاﻣَﻌْﻠُﻮْﻣًﺎﻣِﻦَاﻟﺮَّﺑْﻊِﻮَأَنْﻻَﻳُﻘَﺪَّرَﻩُﺑِﻤُﺪَّةٍ
Artinya: “Pemilik modal qiradh harus menentukan prosentase pembagian keuntungan dari hasil qiradh itu. Pemilik modal tidak boleh memberi batasan waktu..[21]
c.         Syarat Syah Qiradh
Syarat-syarat syah qiradh berkaitan dengan aqidani (dua orang yang akan akad), modal dan laba.
1)        Syarat Aqidani
Di syaratkan bagi orang yang akan melakukan akad, yakni pemilik modal dan pengusaha adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil, sebab qiradh mengusahakan harta pemilik modal, yakni menjadi wakil. Namun demikian, tidak di syaratkan harus muslim. Qiradh di perbolehkan dengan orang kafir dzimmi atau orang kafir yang dilindungi di negara islam.
Adapun ulama’ Malikiyah memakhruhkan qiradh dengan kafir dzimmi jika mereka tidak melakukan riba dan melarangnya jika mereka melakukan riba.


2)        Syarat Modal
a)        Modal harus berupa uang, seperti dinar, dirham, atau jenisnya, yakni segala sesuatu yang memungkinkan dalam perkongsian (Asy-Syirkoh).
b)        Modal harus di ketahui dengan jelas dan memiliki ukuran.
c)        Modal harus ada, bukan berupa utang, tetapi tidak berarti harus ada di tempat akad. Juga di bolehkan mengusahakan harta yang di titipkan kepada orang lain seperti mengatakan, “Ambil harta saya di si fulan kemudian jadikan modal usahakan!”.
d)       Modal harus di berikan kepada pengusaha. Hal itu di maksudkan agar pengusaha dapat mengusahakannya, yakni menggunakan harta tersebut sebagai amanah.[22]
3)        Syarat-syarat Laba
a)        Laba harus memiliki ukuran
Qiradh di maksudkan untuk mendapatkan laba. Dengan demikian, jika laba tidak jelas, qiradh batal. Namun demikian, pengusaha di bolehkan menyerahkan laba sebesar Rp.5.000,00 misalnya untuk dibagi di antara keduanya, tanpa menyebutkan ukuran laba yang akan di terimanya.
Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa apabila pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian harus di tanggung oleh kedua orang yang akad, maka akad rusak, tetapi qiradh tetap sah. Hal ini karena dalam qiradh, kerugian harus di tanggung oleh pemilik modal. Sedangkan apabila pemilik modal mensyaratkan laba harus di berikan semuanya kepadanya, hal itu tidak di katakana qiradh, tetapi pedagang.
Sebaliknya, jika pengusaha mensyaratkan laba harus di berikn kepadanya, menurut ulama’ Hanafiyah dan Hanbilah, hal itu, termasuk qaradh,tetapi menurut ulama’ Syafi’iyah termasuk qiradh yang rusak. Pengusaha di beri upah sesuai usahanya, sebab qiradh mengharuskan adanya pembagian laba. Dengan demikian, jika  laba di syaratkan harus di miliki seseorang, akad menjadi rusak.
Ulama’ Malikiyah membolehkan pengusaha mengsyaratkan semua laba untuknya. Begitu pula semua laba boleh untuk pemilik modal sebab termasuk tabarru’ (derma).
b)        Laba Harus Berupa Bagian yang Umum (Masyhur)
Pembagian laba harus sesuai dengan keadaan yang berlaku secara umum, seperti kesepakatan di antara orang yanga melangsungkan akad bahwa setengah laba adalah untuk pemilik modal, sedangkan setengah lainnya lagi di berikan kepada pengusaha. Akan tetapi, tidak di bolehkan menetapkan jumlah tertentu bagi satu pihak dan sisanya bagi pihak lain, seperti metetapkan laba 1.000 bagi pemilik modal dan menyerahkan sisanya bagi pengusaha.[23]
4.         Cara Pelaksanaan Qiradh
Karena orang yang bekerja wajib ikhlas dalam segala urusan yang bersangkutan dengan qiradl, hendaklah ia dibenarkan dengan semua sumpahnya apabila ia mengatakan tidak mendapat keuntungan atau hanya memperoleh sedikit keuntungan. Begitu juga banyak dan sedikitnya modal, atau dia mengatakan bahwa modalnya hilang, semua pengakuan tersebut hendaklah diperkuat dengan sumpahnya.
Kalau orang yang bekerja dan yang punya modal berselisih tentang pembagian keuntungan, umpamanya orang yang bekerja mengatakan untuk dia seperdua, sedangkan yang punya modal sepertiga, kedua-duanya hendaklah besumpah, dan orang yang bekerja itu di beri keuntungan menurut kebiasaan yang berlaku di tempat dan waktu itu.
Akad qirad adalah akad saling percaya. Maka apabila ada barang yang hilang, yang bekerja tidak wajib mengganti, kecuali jika karena kelalaiannya. Kerugian hendaklah ditutupi (diganti) dengan keuntungan. Kalau masih juga rugi, kerugian itu hendaklah dipikul oleh yang punyamodal sendiri, berarti yang bekerja tidak dituntut mengganti kerugian.[24]
B.     Hiwalah
1.         Pengertian Hiwalah
Kata hawalah dengan dibaca fathah huruf ha’ dan dibaca kasrah, menurut bahasa arinya mengalihkan. Sedangkan menurut syara’ ialah memindahkan hak dari tanggungannya orang yang mengalihkan kepada oarang yang dilimpahi tanggungan.[25]
Kata Hiwalah menurut bahasa berarti pindah/beralih. Menurut istilah, artinya adalah pengalihan utang-piutang dari tanggungan seseorang menjadi tanggungan orang lain.
Sebenarnya Hiwalah itu merupakan  penukaran suatu piutang dengan piutang yang lain, menurut kaul yang ashah. Namun, tidak di kategorikan dalam masalah jual beli karena kebutuhan masyarakat sangat mendesak.
Dasar di pebolehkannya Hiwalah adalah ijmak ulama dan hadist nabi Muhammad SAW yang di riwayatkan Imam Bukhori dan Imam Muslim bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
ﻣَﻄْﻞُاﻟْﻐَﻨِﻲَّﻇُﻟْﻢٌ٬وَاِذَاأُﺗْﺒِﻊَأَﺣَﺪُﻛُﻢْﻋَﻠﻰَﻣَﻠِﻲْءٍﻓَﻠْﻴَﺘْﺒَﻊْ
(رواﻩاﻟﺸﻴﺨﺎن)
Artinya: “Penundaan pembayaran oleh orang kaya adalah suatu kedzaliman (penganiayaan), apabila utang seseorang terhadap orang kaya di alihkan menjadi tanggunganmu, maka turutlah!” (H.R. bukhori dan Muslim)
Dalam riwayat lain, hadist tersebut berbunyi sebagai berikut:
ﻮَإِذَأُﺣِﻴْﻞَأَﺣَﺪُﻛُﻢْﻋَﻠﻰَﻣَﻠِﻲءٍﻓَﻟْﻴَﺤْﺘَﻞْ
 (رواﻩأﺣﻤﺪواﻟﺒﻴﻬﻘﻲ)

Artinya: “... apabila utang seseorang terhadap orang kaya dialihkan menjadi tanggunganmu, maka terimalah pengalihan utang itu.” (H.R. Ahmad dan Baihaqi).[26]
Menurut bahasa, Hiwalah artinya “mengalihkan”. Sedangkan menurut syara’ ialah memindahkan hak dari tanggungannya orang yang mengalihkan kepada orang yang di limpahi tanggungan.
Hiwalah ialah memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan orang lain. Hiwalah ini merupakan system yang unik yang sesuai untuk di adaptasikan kepda manusia. Hal ini karena hiwalah sangat erat hubungan nya dengan kehidupan manusia. Hiwalah sering berlaku dalam permasalahan hutang piutang. Maka salah satu cara untuk menyelesaikan masalah hutang piutang dalam muamalah adalah hiwalah.
Hiwalah bukan saja di gunakan untuk menyelesaikan masalah hutang piutang akan tetapi bisa juga digunakan sebagai pemindah dana dari individu kepada individu ya ng lain.
Sabda Rasulullah SAW.
ﻣَﻄ۟ﻞُاﻟ۟ﻐَﻨِّﻲِﻇُﻠ۟ﻢٌﻓَﺎِذَااُﺣِﻴ۟ﻞَاَﺣَﺪُﻛُﻢ۟ﻋَﻠَﻰءٍﻓَﻠ۟ﻴَﺤ۟ﺘَﻞ۟۰رواأﺣﻤﺪواﻟﺒﻴﻬﻘﻰ

Artinya: “Orang yang mampu membayar utang, haram atasnya melalaikan utangnya. Maka apabila salah seorang diantara kamu memindahkan utangnya kepada orang lain, pemindahan itu hendaklah diterima, asal yang lain itu mampu membayar.” (Riwayat Ahmad Dan Baihaqi).[27]
Hiwalah dapat menjadi sah dengan adanya shighat; Yaitu ijab dari Muhil (pemindah tanggungan utang), misalnya: “Utangku kepadamu kupindahkan tanggungannya kepada si fulan,” “Hak mu pada ku ku pidahkan kepada si fulan. Atau “Hartaku pada si fulan ku jadikan untuk mu”, dan qabul (pihak yang piutangnya dipindahkan), dimana ada ijab qabul tidak dita’liq: misalnya qabul yang sah “pindahkanlah hakku”.
Ada juga kerelaan Muhil yang Muhtal. Untuk Muhal alaih (pihak yang terbebani limpahan utang). Tidak di syaratkan kerelaannya. Dengan terjadi hiwalah, maka piutang muhtal pindah ke muhal alaih, muhil bebas tanggungan utang dari muhtal, dan muhal alaih bebas tanggungan utang kepada muhil.
Menurut ijma’ ulama, (dengan keberadaan hiwalah), maka hak muhtal berpindah menjadi tanggungan muhal alaih. Jika muhtal tidak dapat mengambil piutangnya dari muhal alaih, karena bangkrut sekalipun telah ada sejak diadakan hiwalah-, karena muhal alaih mengingjkari yang berutang untuk menguatkan pengingkarannya, atau karena yang lainnya, misalnya, kesewenang-wenangan muhal alaih dan kematian saksi-saksi hiwalah, maka bagi muhtal tidak boleh menagih piutangnya kepada muhil, sekalipun ia tidak mengetahui halangan-halangan di atas.
Muhtal tidak boleh khiyar, jika jelas akhirnya ada muhal alaih adalah orang yang melarat, sekalipun (waktu akad) di syaratkan ada kecukupan muhal alaih. Jika muhtal melakukan penagihan kepada muhal alaih, lalu dijawab, “Muhil telah membebaskan utangku sebelum akad hiwalah”, (Hayyinah), maka bukti ini dapat di terima, sekalipun muhil berada dalam daerah setempat, kemudian menurut pendapat Al-Mutajjih, bahwa bagi muhtal boleh menagih kembali piutangnya kepada muhil, kecuali jika muhtal masih kukuh pendirian-nya dalam mendustakan muhal alaih.
Jika seseorang menjual budak dan harga penjualannya di hiwalahkan (pembeli berstatus muhal alaih), lalu penjual (muhil) dan pembeli (muhal alaih) sepakat atas adanya kemerdekaan budak tersebut, waktu jual beli, (begitu juga dengan pengakuan muhtal) atau kemerdekaannya tersebut terbukti dengan adanya persaksian Hisbah (sukarela) atau dengan bayyinah yang di ajukan oleh budak itu sendiri, maka hiwalah tersebut hukumnya tidak sah.[28]
2.         Hukum Hiwalah
a.         Hukum hiwalah yaitu sebagai berikut:
1)        Apabila akad hiwalah telah telah sempurna dengan adanya qobul, maka menurut mayoritas ulama’ secara otomatis terbebas dari tanggungan utang yang ada dan bentuk-bentuk jaminan tidak ikut berpindah, akan tetapi statusnya ikut berakhir dan selesai.
2)        Tertetapkannya kewenangan penagihan bagi pihak al-muhalkepada pihak al-muhal alaihi terhadap utang yang berada di dalam tanggungannya. Karena hiwalah menghendaki adanya pemindahan ke dalam tanggung jawab pihak al-muhal alaihi yaitu pemindahan utang dan penagihan sekaligus berdasarkan pendapat yang di nilai lebih kuat.
b.        Rukun Hiwalah:
1)        Muhil (orang yang berhutang dan berpiutang).
2)        Muhtal (orang yang berpiutang).
3)        Muhal alaih (orang yang berutang).
4)        Utang muhil kapada muhtal.
5)        Utang muhal alaih kepada muhil.
6)        Sigat (lafaz akad).[29]
3.         Syarat Hiwalah
Syekh Abu Syuja’ berkata:
وَﺷَﺮَاﺋِﻄُ اﻟْﺤَوَاﻟﺔِاَرْﺑَﻌَﺔُ: رِﺿﻰَاﻟْﻤُﺤِﻴْﻞِ٬وَﻗَﺒُوْلُ اﻟْﻤُﺨْﺘَﺎلِ٬وَﻛََوْنُاﻟْﺤَﻖََّﻣُﺴْﺘَﻘِﺮًّاﻓﯽِاﻟﺬَّﻣَّﺔِﻮَاﻟﺘَّﻔَﺎقُﻣَﺎﻓﻰِذِﻣَّﺔِاﻟْﻤُﺤِﻴْﻞِوَاﻟْﻤُﺤﺎلِﻋَﻟَﻴْﻪِﻓﻲِاﻟﺠِﻨْﺲِﻮَاﻟﻨَّوْعِوَ
اﻟﺤُﻟُوْلِوَاﻟﺘَّﺄْﺟِﻴْﻞِوَﺗَﺒْﺮَأُﺑِﻬَﺎذِﻣَّﺔُاﻟْﻤُﺤِﻴْﻞِ 
Artinya: “Syarat hiwalah (pengalihan utang) itu ada empat: (1) Kerelaan orang yang mengalihkan utang. (2) Kerelaan orang yang menerima pengalihan utang. (3) Adanya hak  yangtetap (pasti) yang menjadi tanggungan. (4) Utang dalam tanggungan yang di peralihkan itu harus sama dengan jenis dan macam, serta dalam kontan dan angsurannya. Dengan adanya akad hiwalah maka orang yang mengalihkan utang bebas dari taggungan utang.” (Selanjutnya utang tersebut menjadi tanggungan orang yang menerima pengalihan utang.Pen.).[30]
a.         Syarat sah hiwalah, namun sebenarnya hanya ada dua syarat. Karena syarat pertama dan  kedua yaitu kerelaan orang yang mengalihkan utang dan kerelaan orang yang menerima pengalihan utang bisa di gabungkan menjadi satu syarat.
1)        Harus ada kerelaan dari orang yang mengalihkan utang tersebut menjadi tanggungan orang yang mengalihkan (sebelum di alihkan). Dan seandainya tidak dialihkan maka orang tersebut bertanggung jawab untuk melunasi uang itu menurut kemauannya. Di syaratkan pula harus ada kerelaan dari pihak penerima pengalihan, kerena tanggungan untuk melunasi utang tersebut setelah di alihkan akan dipikul oleh pihak pengalihan. Jadi, diperlukan adanya saling merelakan sebagaimana dalam masalah tukar menukar barang juga di syaratkan kerelaan dari kedua belah pihak.
2)        Sebagaiman yang di sebutkan adalah utang yang di alihkan itu telah pasti. Kepastian adanya utang itu, seperti di sebutkan Imam Rafi’i adalah ketika pembeli mengalihkan harga barang kepada penjual (maksudnya, pembeli mengalihkan cara utang).
3)        Imam Rafi’i mengatakan, bahwa sahnya hiwalah itu tidak cukup hanya dengan kepastian adanya piutang tersebut ada. Hal tersebut seperti yang berlaku pada akad salam, menurut kaul yang ashah, piutang pada akad salam itu telah pasti, namun apabila akad salam itu di alihkan ke hiwalah (hiwalah dengan utang salam) maka hukumnya tidak sah. Tetapi dalam bab hiwalah ini Imam Rafi’i mengatakan tentang syarat kedua: Pengalihan utang itu sah apabila pihak pengalih dan pihak penerima utang sama-sama mengakui kepastian adanya utang yang di alihkan itu.
Imam Nawawi mengupas ucapan Imam Rafi’i tersebut: Imam Rafi’i memutlakan sahnya hiwalah apabila utang yang dialihkan itu telah pasti adalah mengikuti pendapat Al-Ghazali. Tetapi yang benar tidak demikian, karena kepastian adanya utang pada akad hiwalah pada salam. Ini menurut kaul yang shahih dan telah di putuskan oleh mayoritas ulama.
Upah itu boleh di hiwalahkan, demikian pula dengan maskawin apabila suami belum menyetubuhi istri. Matinya orang yang meninggalkan harta waris juga boleh dihiwalahkan.
Didalam kitab Al-Raudhah, Imam Nawawi menyebutkan syarat-syarat hiwalah, maka ia menyebutkan syarat yang ke dua, yaitu utang yang dihiwalahkan itu telah menjadi pasti atau akan menjadi pasti.[31]
b.        Adapun syarat-syaratnya Hiwalah itu ada empat macam, yaitu:
1)        Kerelaan Muhil. Adapun Muhil ialah orang yang mempunyai tanggungan hutang. Tidak disyaratkan atas orang yang dibebani pemindahan hutang, karena sesungguhnya memang tidak ada syarat kerelaan orang yang dibebani pemindahan hutang (Muhal ‘alaihi) menurut pendapat yang lebih shaleh. Dan tidak boleh akad Hiwalah atas orang yang tidak mempunyai hutang.
2)        Adanya qabul oleh Muhtal. Adapun Muhtal ialah orang yang hak piutangnya dipindahkan atas Muhil (orang yang mempunyai tanggungan hutang).
3)        Hak yang dipindahkan itu tetap berada dalam tanggungan. Adapun memberikan qayyid dengan kata “tetap” adalah sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Rafi’i tetapi Imam Nawawi didalam kitab Raudlah telah menyusuli pendapat tersebut bahwa yang di tetapkan sebagai hutang adalah yang ada dalam pemindahan itu saja, atau hutang yang baru akan menjadi tanggungan.
4)        Adanya penyesuaian tanggungan hutang si Muhil (orang yang mempunyai tanggungan hutang) dan Muhal ‘alaih (orang yang dibebani pemindahan hutang) dalam hal jenis perkiraannya, macamnya, kontan atau tempo dan masih utuh atau sudah pecah.[32]
c.         Adapun lainnya, Syarat Hiwalah adalah sebagai berikut:
1)        Utang yang di janjikan untuk di bayar itu harus bisa menjadi kewajiban yang sah.
2)        Utang C kepada A sama banyak dan jenisnya dengan janji atau tunai dengan utang A kepada B. Maka jika ternyata C tidak dapat membayar Karena ia tidask mampu, maka B tidak dapat kembali kepada A karena hal itu termasuk sia-sia, tidak diselidikinya sebelum terjadi akad hiwalah.
3)        Utang itu harus sudah jatuh temp, walaupun masih tetap harganya untuk di bayarkan oleh seorang hamba sahaya untuk pembebasannya, tetapi tidak perlu utang yangharus di bayarkan itu sudah jatuh tempo.
4)        Kedua pengutang itu harus pada objek jenis yang sama dalam kuantitas dan kualitasnya, walaupun ada banyak pendapat tentang beragam bentuk uang itu.[33]
4.         Cara Pelaksanaan Hiwalah
a.         Umpamanya A (muhil) berhutang kepada B (muhtal) dan ia (A) berpiutang kepada C (muhal alaih). Jadi, A adalah orang yang berutang dan berpiutang, B hanya berpiutang, dan C hanya berutang. Kemudian A dengan persetujuan B menyuruh C membayar utangnya kepada B, tidak kepada (A); setelah terjadi akad hiwalah, terlepaslah A dari utangnya kepada B dan C tidak berutng lagi kepada A, tetapi utangnya kepada A telah berpindah kepada B; berarti C harus membayar utangnya itu kepada B, tidak lagi kepada A.
Memindahkan utang dengan cara ini tidak ada halangannya, dengan syarat “keadaan C mampu membayar utangnya, dan dengan ridha kedua-nya (A dan B)”.[34]
b.        Adapun macam-macam hiwalah ialah:
Madzhab Hanafiyah membagi Hiwalah kepada 2 macam, yaitu:
1)        Al-hiwalah al-Muqayyadah (Pemindahan Bersyarat)
Yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran utang dari pihak pertama kepada pihak kedua. Contoh: Samkhun berpiutang kepada Isman sebesar satu juta rupiah, sedangkan Isman juga berpiutang pada Fahmi satu juta rupiah. Isman kemudian memindahkan haknya untuk menagih piutangnya yang terdapat pada Fahmi kepada Samkhun.
2)        Al-hiwalah al-Muthlaqah (Pemindahan Mutlak)
Yaitu pemindahan yang tidak di tegaskan sebagai ganti pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua. Contoh; Isman berhutang kepada samkhun sebesar satu juta rupiah. Karena Fahmi juga berhutang kepada Isman sebesar satu juta rupiah. Isman mengalihkan utangnya kepada Fahmi sehingga Fahmi berkewajiban membayar utang Isman kepada Samkhun, tanpa menyebutkan bahwa pemindahan utang itu sebagai ganti utang Fahmi kepada Isman.[35]


















BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.         Qiradh ialah memberikan modal dari seseorang kepada orang lain untuk modal usaha,sedangkan keuntungan untuk keduanya menurut perdamaian (perjanjian) antara keduanya sewaktu akad, di bagi dua atau di bagi tiga umpamanya.
a.         Rosulullah saw ketika beliau berakad qiradh dengan siti khadijah (sebelum nikah) untuk memperdagangkan hartanya ke negara syam dan lain-lain. Para sahabat juga telah sepakat menetapkan sah nya perdagangan seperti itu. Rukun qirad ialah harta, pekerjaan, keuntungan, yang punya modal dan yang bekerja.
b.        Syarat qirad ialah:
1)         Qirad itu sendiri harus berupa uangyang murni.
2)        Pemilik modal memberikan izin kepada pihak yang memperdagangkan untuk mentasarrufkan secara mutlak.
c.         Cara pelaksanaan qirad ialah Pekerja hendaklah bekerja ikhlas, tidak boleh mengutamakan barang, tidak boleh membawa barang ke luar negeri, kecuali dengan izin yang punya modal, dan tidak boleh membelanjakan uang qiradh untuk dirinya sendiri; bersedekah dari barang qiradh pun tidak boleh. Belanja untuk keperluannya sendiri hendaklah di ambil dari kantongnya sendiri.
2.         Hiwalah ialah memindahkan utang dari tanggungan seseorang yang lain. Banyak perjanjian hutang yang dapat di pindah tangankan.
a.         Hukum hiwalah: Apabila akad hiwalah telah telah sempurna dengan adanya qobul, maka menurut mayoritas ulama’ secara otomatis terbebas dari tanggungan utang yang ada. Rukun hiwalah: Muhil (orang yang berhutang dan berpiutang), Muhtal (orang yang berpiutangSyarat hiwalah ialah kerelaan muhil, adanya qabul oleh muhtal, hak yang dipindahkan itu tetap berada dalam tanggungan, adanya penyesuaian tanggungan hutang si muhil.
b.        Cara pelaksanaan hiwalah ialah Umpamanya A (muhil) berhutang kepada B (muhtal) dan ia (A) berpiutang kepada C (muhal alaih). Jadi, A adalah orang yang berutang dan berpiutang, B hanya berpiutang, dan C hanya berutang. Kemudian A dengan persetujuan B menyuruh C membayar utangnya kepada B, tidak kepada (A); setelah terjadi akad hiwalah, terlepaslah A dari utangnya kepada B dan C tidak berutng lagi kepada A, tetapi utangnya kepada A telah berpindah kepada B; berarti C harus membayar utangnya itu kepada B, tidak lagi kepada A.

B.       Saran
Penulisan makalah ini di tujukan sekedar bisa menjadi gambaran sekilas, tambahan dan wawasan tentang dunia ilmu agama islam. Penulis menyarankan agar bisa menjadi tuntutan kita dalam melaksanakan sesuai syari’at islam yang telah di tetapkan.



DAFTAR PUSTAKA

Rasyid,Sulaiman.2012.Fiqih Islam.Bandung:Sinar Baru Algensindo.
Alhusaini,Al-imam Taqiyuddin Abubakar.2011.Kifayatul Akhyar.Surabaya:PT.Bina Ilmu.
Syafe’i,Rachmat.1997.Fiqih Muamalah.Bandung:Gunung Djati Press.
Zainuddin,Asy-Syekh  bin Abdul Aziz Al-Malibari.1991.Fat-Hul Mu’in 2.Surabaya
Muhammad,Asy-Syekh bin Qosim Al-Ghazy.1991.Fat-Hul Qorib Jilid 1.Surabaya.



[1] Rasyid,Sulaiman,Fiqih Islam, (Bandung:Sinar Baru Algensindo,2012) hal.299
[2] Rasyid,Sulaiman,Fiqih Islam, ……. hal.312
[3] Rasyid,Sulaiman,Fiqih Islam, (Bandung:Sinar Baru Algensindo,2012) hal.299
[4] Muhammad,Asy-Syekh bin Qosim Al-Ghazy,Fat-Hul Qorib Jilid 1, (Surabaya:1991)hal.417
[5] Alhusaini,Al-imam Taqiyuddin Abubakar ,Kifayatul Akhyar, (Surabaya: PT.Bina Ilmu,2011)hal.164
[6] Syafe’i,Rachmat,Fiqih Muamalah, (Bandung:Gunung Djati Press,1997)hal.223-224
[7] Zainuddin,Asy-Syekh  bin Abdul Aziz Al-Malibari,Fat-Hul Mu’in 2, (Surabaya)hal.321
[8] Alhusaini,Al-imam Taqiyuddin Abubakar ,Kifayatul Akhyar, (Surabaya: PT.Bina Ilmu,2011)hal.164
[9] Syafe’i,Rachmat,Fiqih Muamalah, (Bandung:Gunung Djati Press,1997)hal.229-230
[10] Syafe’i,Rachmat,Fiqih Muamalah, ( Bandung:Gunung Djati Press,1997)hal.230-232
[11] Syafe’i,Rachmat,Fiqih Muamalah, ( Bandung:Gunung Djati Press,1997)hal.232-234
[12] Syafe’i,Rachmat,Fiqih Muamalah, ( Bandung:Gunung Djati Press,1997)hal.234-235
[13] Rasyid,Sulaiman,Fiqih Islam, (Bandung:Sinar Baru Algensindo,2012) hal.224
[14] Rasyid,Sulaiman,Fiqih Islam, (Bandung:Sinar Baru Algensindo,2012) hal.235-236
[15] Rasyid,Sulaiman,Fiqih Islam, (Bandung:Sinar Baru Algensindo,2012) hal. 236
[16] Syafe’i,Rachmat,Fiqih Muamalah, (Bandung:Gunung Djati Press,1997)hal.237-238
[17] Rasyid,Sulaiman,Fiqih Islam, (Bandung:Sinar Baru Algensindo,2012)hal.299
[18] Syafe’i,Rachmat,Fiqih Muamalah, ( Bandung:Gunung Djati Press,1997)hal.227
[19] Syafe’i,Rachmat,Fiqih Muamalah, ( Bandung:Gunung Djati Press,1997)hal.227
[20] Muhammad,Asy-Syekh bin Qosim Al-Ghazy,Fat-Hul Qorib Jilid 1, (Surabaya,1991) hal 417-420
[21] Alhusaini,Al-imam Taqiyuddin Abubakar ,Kifayatul Akhyar, (Surabaya: PT.Bina Ilmu,2011)hal.165-168
[22] Syafe’i,Rachmat,Fiqih Muamalah, ( Bandung:Gunung Djati Press,1997)hal.165
[23] Syafe’i,Rachmat,Fiqih Muamalah, ( Bandung:Gunung Djati Press,1997)hal.165-168
[24] Rasyid,Sulaiman,Fiqih Islam, (Bandung:Sinar Baru Algensindo,2012)hal.300
[25] Muhammad,Asy-Syekh bin Qosim Al-Ghazy,Fat-Hul Qorib Jilid 1, (Surabaya,1991) hal.375
[26] Alhusaini,Al-imam Taqiyuddin Abubakar ,Kifayatul Akhyar, (Surabaya: PT.Bina Ilmu,2011) hal.90-91
[27] Rasyid,Sulaiman,Fiqih Islam, (Bandung:Sinar Baru Algensindo,2012)hal.312
[28] Zainuddin,Asy-Syekh  bin Abdul Aziz Al-Malibari,Fat-Hul Mu’in 2, (Surabaya.1991)hal.284-287
[29] Rasyid,Sulaiman,Fiqih Islam, (Bandung:Sinar Baru Algensindo,2012)hal.312
[30] Alhusaini,Al-imam Taqiyuddin Abubakar ,Kifayatul Akhyar, (Surabaya: PT.Bina Ilmu,2011) hal.89-90
[31] Alhusaini,Al-imam Taqiyuddin Abubakar ,Kifayatul Akhyar, (Surabaya: PT.Bina Ilmu,2011) hal.91-92
[32]Muhammad,Asy-Syekh bin Qosim Al-Ghazy,Fat-Hul Qorib Jilid 1, (Surabaya,1991)hal.376
[33] Rasyid,Sulaiman,Fiqih Islam, (Bandung:Sinar Baru Algensindo,2012)hal.312
[34] Rasyid,Sulaiman,Fiqih Islam, (Bandung:Sinar Baru Algensindo,2012)hal.312-313
[35] Rasyid,Sulaiman,Fiqih Islam, (Bandung:Sinar Baru Algensindo,2012)hal.214

No comments:

Post a Comment