A.
Latar belakang
Qiradh
ialah memberikan modal dari seseorang kepada orang lain untuk modal usaha,
sedangkan keuntungan untuk keduanya menurut perdamaian (perjanjian) antara
keduanya sewaktu akad di bagi dua atau di bagi tiga seumpamanya. Qiradh memang
telah ada di masa jahiliyah (sebelum islam) kemudian di tetepkan (di
perbolehkan) oleh agama islam. Peraturan qiradh ini di adakan karena benar-benar
di butuhkan oleh sebagian umat manusia. Betapa tidak ada orang yang mempunyai
modal tetapi tidak pandai berdagang, atau tidak berkesempatan, sedangkan yang
lain pandai dan cakap lagi mempunyai waktu yang cukup, tetpi tidak mempunyai
modal, qiradh berarti juga untuk pengajuan bersama perdagangan juga mengandung
arti tolong menolong.[1]
Menurut
bahasa, Hiwalah artinya “mengalihkan”. Sedangkan menurut syara’ ialah
memindahkan hak dari tanggungannya orang yang mengalihkan kepada orang yang di
limpahi tanggungan. Hiwalah ialah memindahkan utang dari tanggungan seseorang
kepada tanggungan orang lain. Hiwalah ini merupakan system yang unik yang
sesuai untuk di adaptasikan kepda manusia. Hal ini karena hiwalah sangat erat
hubungannya dengan kehidupan manusia. Hiwalah sering berlaku dalam permasalahan
hutang piutang. Maka salah satu cara untuk menyelesaikan masalah hutang piutang
dalam muamalah adalah hiwalah. Hiwalah bukan saja di gunakan untuk
menyelesaikan masalah hutang piutang akan tetapi bisa juga digunakan sebagai
pemindah dana dari individu kepada individu yang lain.[2]
B. Rumusan
Masalah :
1.
Apa
pengerian, hukum, rukun, syarat, dan cara pelaksanaan qiradh?
2.
Apa
pengertian, hukum, rukun, syarat, dan cara pelaksanaan hiwalah?
C.
Tujuan :
1.
Agar
mengetaui pengertian, hukum, syarat, rukun, serta cara pelaksanaan dari qiradh.
2.
Agar
mengetahui pengertian, hukum, rukun, syarat, serta cara pelaksanaan hiwalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Qiradh
1.
Pengertian Qiradh
Qiradh
ialah memberikan modal dari seseorang kepada orang lain untuk modal usaha,
sedangkan keuntungan untuk keduanya menurut perdamaian (perjanjian) antara
keduanya sewaktu akad di bagi dua atau di bagi tiga seumpamanya. Qiradh memang
telah ada di masa jahiliyah (sebelum islam) kemudian di tetepkan (di
perbolehkan) oleh agama islam. Peraturan qiradh ini di adakan karena
benar-benar di butuhkan oleh sebagian umat manusia. Betapa tidak ada orang yang
mempunyai modal tetapi tidak pandai berdagang, atau tidak berkesempatan,
sedangkan yang lain pandai dan cakap lagi mempunyai waktu yang cukup, tetpi
tidak mempunyai modal, qiradh berarti juga untuk pengajuan bersama perdagangan
juga mengandung arti tolong menolong.[3]
Lafazh
“Qiradl” menurut bahasa adalah berasal dari lafazh “Qardlu” artinya Ialah “memutus”.
Sedangkan menurut syara’ ialah satu akad penyerahan harta yang dilakukan oleh
pemiliknya kepada seseorang supaya memperdagangkan harta tersebut dan
keuntungannya dibagi berdua.[4]
Qiradh
berasal dari kata qaradha yang
berarti “memutuskan atau memastikan”. Di namakan qiradh karena pemilik uang
memutuskan atau memastikan untuk menyerahkan sebagian uangnya kepada orang lain
untuk di perdagangkan, dan juga memutuskan untuk membagi labanya. Definisi
qiradh menurut syara’ adalah akad penyerahan kepada orang lain untuk di
pedagangkan, kemudian labanya dibagi menurut syarat-syarat yang di tentukan,
baik di bagi sama rata maupun tidak sama antara pemilik uang dan pengusaha yang
memperdagangkan uang tersebut.[5]
Qiradh
bisa juga di sebut Mudharabah termasuk
salah satu bentu akad syirkah (perkongsian). Istilah Mudharabah di gunakan oleh orang Irak, sedangkan orang Hijaz
menyebutnya dengan istilah Qiradh. Dengan
demikian, mudharabah dan qiradh adalah dua istilah yang sama. Orang Irak
menyebutnya dengan istilah mudharabah sebab,
setiap orang yang melakukan akad memiliki bagian dari laba. Atau pengusaha
harus mengadakan perjalanan dalam mengusahakan harta modal tersebut.
Mengenai
pengertian mudharabah menurut
istilah, di antara ulama fiqih terjadi perbedaan pendapat, salah satunya
adalah:
اَنْﻳَﺪْﻓَﻊَاﻟْﻣَﺎﻟِﻚُ
اِﱃَاﻟْﻌَﺎﻣِلِﻣَﺎﻻًﻟِﻳَﺘَّﺠِﺮَﻓِﻴْﻪِﻮَﻳَﻘُﻮْنُ
اﻟِﺮّﺑْﺢُﻣُﺸْﺘَِﺮﮐًﺎﺑَﻴْﻨَﻬُﻣَﺎﺑِﺤَﺴْﺐِﻣَﺎﺷُِﺮّﻃَﺎ
Artinya:
“Pemilik harta (modal) menyerahkan modal
kepada pengusaha untuk berdagang dengan modal tersebut, dan laba di bagi antara
keduanya berdasarkan persyaratan yang di sepakati.”
Apabila rugi, hal iru di tanggung oleh
pemilik modal. Dengan kata lain, pekerja tidak bertanggung jawab atas
kerugiannya. Kerugian pengusaha hanyalah dari segi kesungguhan dan pekerjaan
yang tidak akan mendapat imbalan jika rugi.
Apabila rugi hal itu di tanggung dengan
pemilik modal dengan kata lain, pekerja tidak bertanggung ajawab atas
kerugiannya. Kerugian perusahaan hanyalah dari segi kesungguhan dan
pekerjaannya yang tidak akan mendapat imbalan jika rugi. Dari pengertian di
atas, dapat di ketahui bahwa modal boleh berupa barang yang tidak dapat di
bayarkan seperti rumah. Begitu pula tidak boleh berupa hutang, pemilik modal
memiliki hak untuk mendapatkan laba sebab modal tersebut miliknya, sedangkan
pekerja mendapatkan laba dari hasil pekerjaannya.[6]
Qiradh itu sah jika di lakukan dalam
bentuk uang, emas atau perak murni yang telah tercetak, sebab qiradh adalah
akad yang tidak jelas (gharar)
lantaran tidak terbatas pekerjaan (yang di kerjakan) serta tidak ada kepastian
tentang labanya.[7]
2.
Hukum Qiradh
Dasar
hukum qiradh di perbolehkan, kerena qiradh adalah apa yang di lakukan oleh
rosulullah saw ketika beliau berakad qiradh dengan siti khadijah (sebelum
nikah) untuk memperdagangkan hartanya ke negara syam dan lain-lain. Para
sahabat juga telah sepakat menetapkan sah nya perdagangan seperti itu.
Ada
yang mengkiyaskan qiradh dengan mushaqah (akad pengairan tanaman), karena
sama-sama dibutuhkan oleh masyarakat. Sebab kadang-kadang seseorang itu
mempunyai sawah ladang dan pembiayaan, namun tidak mempunyai keahlian dalam
menggolahnya, sedangkan orang lain tidak mempunyai sawah atau ladang, ada yang
mempunyai keahlian untuk mengolah sawah atau ladang tersebut.
Akad
qiradh itu sesuai dengan hadist riwayat Ibnu Majah, bahwa Rasulullah SAW pernah
bersabda:
ﺛَﻼَﺛَﺔٌﻓِﻴْﻬِﻦََّاﻟْﺒَﺮَﻛَﺔُ:اَﻟْﺒَﻴْﻊُﺈِِﱃَأَﺟَﻞٍﻮَاﻟْﻤُﻘَﺎﺿَﺔُ،ﻮَاﺧْﺘِﻼﻃُ
اﻟْﺒُﺮَّﺑِﺎاﻟﺸَّﻌِﻴْﺮِ،ﻻَﻟِﻠْﺒَﻴْﻊِ
Artinya:
“Ada tiga hal yang
mengandung berkah, yaitu jual-beli, yang diberi tempo (masa khiar), penyerahan
(pinjaman) uang untuk diperdagangkan, dan campuran gandum dengan terigu bukan
untuk di jual-belikan.(H.R Ibnu Majah)”. [8]
Hukum qiradh terbagi dua, yaitu qiradh sahih dan qiradh fasid. Kedua jenis qiradh ini akan menjelaskan di bawah ini.
a.
Hukum
Qiradh Fasid
Salah
satu contoh qiradh fasid adalah mengatakan “Berburulah
dengan jarring saya dan hasil buruannya di bagi di antara kita”. Ulama’
Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa pernyataan termasuk
tidak dapat dikatakan qiradh yang sahih karena pengusaha (pemburu) berhak
mendapatkan upah atas pekerjaannya, baik ia mendapatkan buruan atau tidak.
Hasil
yang di peroleh pengusaha atau pemburu di serahkan kepada pemilik harta
(modal), sedangkan pemburu tidak memiliki hak sebab akadnya fasid. Tentu saja,
kerugian yang ada pun di tanggung sendiri oleh pemilik modal. Namun, jia modal
rusak atau hilang, yang di terima adalah ucapan pengusaha dengan sumpahnya.
Pendapat ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah hampir sama dengan pendapat Hanafiyah.
Beberapa
hal lain dalam qiradh fasid yang
mengharuskan pemilik modal memberikan upah kepada pengusaha, antara lain:
1)
Pemilik
modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli, menjual, member, atau
mengambil barang.
2)
Pemilik
modal mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah sehingga pengusaha tidak
bekerja, kecuali atas seizinnya.
3)
Pemilik
modal memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan harta modal tersebut
dengan harta orang lain atau barang lain miliknya.[9]
b.
Hukum
qiradh sahih
Hukum
Qiradh sahih yang tergolong sahih
cukup banyak, diantaranya berikut ini.
1)
Tanggung
jawab pengusaha
Ulama’
fiqih telah sepakat bahwa pengusaha bertanggung jawab atas modal yang ada di
tangnnya, yakni sebagai titipan. Hal ini karena kepemilikan modal tersebut atas
izin pemilinya. Apabila pengusaha beruntung, ia memiliki hak atas laba secara
bersama-sama dengan pemilik modal. Jika qiradh rusak karena adanya beberapa
sebab yang menjadikannya rusak, pengusaha menjadi pedagang sehingga ia pun
memiliki hak untuk mendapatkan upah. Jika harta rusak tanpa di sengaja, ia
tidak bertanggung jawab atas rusaknya modal tersebut. Jika mengalami kerugian
pu, di tanggung oleh pengusaha saja. Jika disyaratkan bahwa pengusaha harus
bertanggungjawab atas rusaknya modal, menurut ulam’ Hanafiyah dan Hanabilah,
syarat tersebut batal, tetapi akadnya sah. Dengan demikian, pengusaha
bertanggungjawab atas modal dan berhak atas laba. Adapun ulama’ Malikiyah dan
Syafi’iyah berpendapat bahwa qiradh batal.
2)
Tasyarruf
Pengusaha
Hukum
tentang tasharruf pengusaha berbeda-beda bergantung pada qiradh mutlak atau
terikat.
a)
Pada
qiradh mutlak
Menurut
ulama’ Hanafiyah, jika qiradh mutlak maka pengusaha berhak untuk beraktivitas
dengan modal tersebut yang menjurus kepada pendapatan laba, seperti jual beli.
Begitu pula pengusaha di bolehkan untuk membawa modal tersebut dalam suatu
perjalanan dengan maksud untuk mengusahakan harta tersebut.
Beberapa
hal yang perlu di lakukan oleh pengusaha adalah:
(1) Pengusaha hanya boleh mengusahakan modal
setelah ada izin yang jelas dari pemiliknya.
(2) Menrut ulama’ Makiyah, pengusaha tidak
boleh membeli barang dengan melebihi modalyang di berikan kepadanya.
(3) Pengusaha tidak membelanjakan modal
selain untuk qiradh, juga tidak boleh mencampurkannya dengan harta milik orang
lain.
Dalam qiradh mutlak,
menurut ulama’ Hanafiyah, pengusaha di perbolehkan menyerahkan modal tersebut
kepada pengusaha lainnya atas seizing pemilik modal. Namun demikian, harta
tersebut tetap berada di bawah tanggung jawabnya (pengusaha pertama). Jika
mendapatkan laba, laba tersebut dibagikan kepada pemilik modal dan pengusaha
pertama sesuai kesepakatan. Adapun bagian dari laba yang di terima oleh
pengusaha pertama di bagi lagi dengan
pengusaha kedua sesuai kesepakatan di antara keduanya. Menurut ulama’
Hanafiyah, pengusaha bertanggung jawab atas modal jika ia memberikan modal
kepada orang lain tanpa seizinnya, tetapi laba di bagi atas pengusaha kedua dan
pemilik modal. Pengusaha pertana tidak berhak mendapatkan laba sebab laba di
berikan kepada mereka yang berusaha secara sempurna.[10]
b)
Pada
qiradh terikat
Secara
umum, hukum yang terdapat dalam qiradh terikat sama dengan ketetaan yang ada
pada qiradh mutlak. Namun ada beberapa pengecualian, anatara lain berikut ini.
(1) Penentuan tempat
Jika pemilik modal
menentukan tampar, seperti ucapan, “Gunakan
modal ini untuk qiradh, dengan syarat harus di daerah tasikmalaya.”
Pengusaha harus mengusahakan di daerah Tasikmalaya, sebab syarat tempat
termasuk persyaratan yang di bolehkan. Apabila pengusaha mengusahakannya bukan
di daerah Tasikmalaya, ia bertanggung jawab atas modal tersebut berserta
kerugiannya.
(2) Penentuan orang
Ulama’ Hanafiyah dan
Hanabilah membolehnkan pemilik modal untuk menentukan orang yang harus di beli
barangnya oleh pengusaha atau kepada siapa ia harus menjual barang, sebab hal
ini termasuk syarat yang berfaedah. Adapun ulama’ Syafi;iyah dan Malikiyah
melarang persyaratan tersebut sebab hal itu mencegah pengusaha untuk mencari
pasar yang sesuai dan menghambat pencarian laba.
(3) Penentuan waktu
Ulama’ Hanafiyah dan
Hanabilah membolehkan pemilik modal menentukan waktu sehingga jika melewati
batas, akad batal. Adapaun ulama’ Syafi’iyah dan Malikiyah melarang persyaratan
tersebut sebab terkadang laba tidak dapat di perolah dalam waktu sebentar
terkadang dapat di peroleh pada waktu tertentu.
c)
Hak-hak
pengusaha (Al-mudharib)
Pengusaha
memiliki dua hak atas harta qiradh, yaitu hak nafkah (menggunakan untuk
keperluannya) dan hak laba, yang telah di tentukan dalam akad.
(1) Hak nafkah (membelanjakan).
Para ulama’ berbeda
pendapat dalam hak nafkah modal atau harta qiradh. Secar umum, pendapat mereka
dapat di bagi menjadi tiga golongan, yaitu:
(a) Imam Syafi’i, menurut riwayat paling zahir,
berpendapat bahwa pengusaha tidak boleh menafkahkan modal untuk dirinya,
kecuali atas seizing pemilik modal, sebab pengusaha akan memiliki keuntungan
dari laba. Jika pengusaha mengsyaratkan kepada pemilik modal agar di bolehkan
menggunakan modal untuk keperluannya, akad menjadi rusak.
(b) Jumhur ulama, di anataranya Imam Malik,
Imam Hanafi, dan Imam Zaidiyah berpendapat bahwa engusaha berhak menafkahkan
harta qiradh dalam perjalanan untuk keperluannya, seperti pakaian, makanan, dan
lain-lain. Hanya saja menurut Imam Mailik, hal itu bisa di lakukan jika modal
yang memang mencukupi untuk itu.
(c) Ulama’ Hanabilah membolehkan pengusaha
untuk menafkahkan harta untuk keperluannya baik pada waktu menetap atau
perjalanan jika pada waktu akad. Dengan demikian, jika tidak di syaratkan pada
waktu akad, tidak boleh menafkahkan modal.[11]
Diantara
alasan para ulam’ membolehkan pengusaha untuk membelanjakan modal qiradh untuk
keperluan modal qiradh untuk keperluan antara lain, jika modal boleh di
nafkahkan, di khawatirkan manusia tidak mau qiradh sebab kebutuhan mereka cukup
banyak ketika qiradh. Belanja yang di bolehkan, sebagaimana pendapat ulama’
Hanafiyah, adalah kebutuhan sehari-hari, seperti makan, minum, pakaian dan lain
lain. Dengan syarat tidak berlebih-lebihan (isyraf).
Belanja tersebut
kemudian di kurangkan dari laba, jika sudah ada laba, di ambil dari modal.
(2)
Hak
mendapatkan laba
Pengusaha
berhak mendapatkan bagian dari sisa laba sesuai dengan ketetaan dalam akad,
jika usahanya mendapatkan laba. Jika tidak, ia tidak mendapatkan apa-apa sebab
ia bekerja untuk dirinya sendiri. Dalam pembagian laba, di syaratkan setelah
modal di ambil.
Di
antara dalil-dalil yang mengharuskan pemilik modal mengambil modalnya terlebih
dahulu adalah hadist yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW.ber-sabda:
ﻣَﺜَﻞُاﻟْﻣُﻮْٔﻣﻦِﻣَﺜَﻞُاﻟﺘّّﺎﺟِﺮِﻻَﻳُﺴْﻠِﻢُرِﻳْﺠَﻪُﺣََّﻳُﺴْﻠِﻢَرَٵْسَﻣَﺎﻟِﻪِ٠
Artinya:“Perumpamaan orang muslim seperti pedagang,
tidak menyerahkan laba sehingga menyerahkan modalnya.”
Berdasarkan
hadist di atas, para ahli fiqih sepakat bahwa sebelum laba di berikan,
pengusaha di haruskan menyerahkan dahulu modal kepada pemiliknya.
(3) Hak pemilik
modal
Hak bagi pemilik modal
adalah mengambil bagian laba jika menghasilkan laba. Jika tidak ada laba,
pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.[12]
Ulama’ fiqih sepakat
bahwa mudharabah di syaratkan dalam
islam berdasarkan: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.[13]
(4) Pertentangan antara Pemilik dan
Pengusaha
(a) Perbedaan
dalam Mengusahakan (Tasyarruf)
Di
antara pemilik modal dan pengusaha terkadang ada perbedaanperbedaan dalam hal
keumuman ber-tasharruf, kerusakan
harta, pengembalian harta, ukuran laba yang di syaratkan, serta ukuran modal.
Jika terjadi perbedaan antara pemilik
dan pengusaha, yaitu suatu pihak menyangkut sesuatu yang umum dan pihak lain
menyangkut masalah khusus, yang di terima adalah pernyataan yang menyangkut
hal-hal umum dalam perdagangan, yakni menyagkut pendapatan laba yang dapat di
peroleh dengan menerapkan ketentuan-ketentuan umum. Jika terjadi perbedaan
pendapat secara muthlaq dan muqayyad (terikat), yang di terima
adalah perbyataan yang menyatakan muthlaq, seperti jija pemilik modal
menyatakan, "saya
izinkan kamu untuk berdagang di Mesir, tidak boleh berdagang selain di daerah
itu." Akan tetapi, pengusah tidak mengakui bahwa pemilik
modal menyebutkan tempat maka yang diterima adalah ucapan penguasa, sebab lebih
memdekati kemutlakan. Jika kedua orang yang berakad berbeda dalam jenis usaha
atau jenis barang yang harus di beli, maka yang di terima adalah ucapan pemilik
harta. Jika pemilik modal menyatakan bahwa modal harus di-tasharruf-kan kepada gandum, tetapi pengusaha menyatakan bahwa
modal harus di-tasharruf-kan kepada
pakaian, yang di terima adalah ucapan pemilik modal sebab pengusaha harus
mengusahakan hartanya atas seizing pemilik harta.
(b) Perbedaan
dalam Harta yang Rusak
Jika
terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengusaha tentang rusaknya
harta, seperti pengusaha menyatakan bahwa kerusakan di sebabkan pemilik modal,
tetapi pemilik modal mengingkarinya, maka yang di terima, berdasarkan
kesepakatan para ulama', adalah ucapan pengusaha, sebab pada dasarnya ucapan
pengusaha adalah amanah, yakni
tidak ada khianat.[14]
(c) Perbedaan Tentang Pengembalian Harta.
Jika terjadi perbedaan pendapat antara
pemilik modal dan pengusaha tentang pengembalian harta, seperti ucapan
pengusaha bahwa modal telah di kembalikan, yang di terima menurut ulama
Hanafiyah dan Hanabilah adalah penryataan pemilik modal, yang di terima adalah
pernyataan pemilik modal.
(d)
Perbedaan dalam Jumlah Modal Modal
Ulama fiqih sepakat bahwa jika terjadi
perbedaan pendapat tentang jumlah modal, yang di terima adalah ucapan
pengusaha, sebab dialah yang memegangnya.
(e)
Perbedaan dalam Ukuran laba
Ulama Hanafiyah
dan Hanabilahmodal, jika pengusaha mengakui bahwa di syaratkan baginya setengah
laba, sedangkan menurut pemilik adalah sepertiganya.
Ulama
Malikiyah berpendapat, yang di terima adalah ucapan pengusaha beserta sumpahnya
dengan syarat: Harus sesuai dengan
kebiasaan manusia yang berlaku dalam qiradh., dan Harta masih di pegang oleh
pengusaha. Menurut ulama Syafi'iyah, jikaHanabilah terjadi perbedaan pendapat
dalam pembagian laba, harusdi putuskan oleh hakim, kemudian pengusaha berhak
mendapatkan upah atas perniagaannya.
(f)
Perbedaan dalam Sifat Modal
Ulama
Hanabilah dan Hanafiyah berpendapat bahwa bila ada perbedaan dalam sifat modal,
ucapan yang diterima adalah pernyataan pemilik harta, misalnyapemilik
menyatakan, "Saya serahkan harta untuk qiradh, berdagang, membeli
sesuatu, dan lain-lain." Sedangkan pengusaha menyatakan bahwa harta itu diberikan
kepadanya secara cuma-cuma sebab yang membayarnya adalah pemilknya.[15]
(5)
Perkara
yang Membatalkan Qiradh
Qiradh dianggap batal pada hal berikut:
(a) Pembatalan,
Larangan, Berusaha, dan Pemecatan
Qiradh menjadi batal dengan adanya
pembatalan qiradh, larangan untuk mengusahakan (tashyarruf), dan
pemecatan. Semua ini jika memenuhi syarat pembatalan dan larangan, yakni orang
yang melakukan akad mengetahui pembatalan dan pemecatan tersebut, serta modal
telah diserahkan ketika pembatalan atau larangan. Akan tetapi, jika pengusaha
tidak mengetahui bahwa qiradh te
(mudharib) dibolehkan untuk tetap mengusahakannya.
(b) Salah Seorang Akid Meninggal Dunia
Jumhur ulama berpendapat bahwa qiradh batal,
jika salah seorang aqid meninggal dunia, baik pemilik modal maupun pengusaha
hal ini karena qiradh berhubungan dengan perwakilan yang akan batal dengan
meninggalnya wakil yang mewakilkan. Pembatalan tersebut dipandang sempurna atau
sah, baik diketahui salah seorang yang melakukan akad atau tidak.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa qiradh tidak batal dengan
meninggalnya salah seorang yang melakukan akad, tetapi dapat di serahkan kepada
ahli warisnya, jika dapat dipercaya.
(c) Salah Seorang Aqid Gila
Jumhur ulama berpendapat bahwa gila
membatalkan qiradh, sebab
gila atau sejenisnya membataljan keahlian dalam qiradh.
(d) Pemilik Modal Murtad
Apabila pemilik modal murtad (keluar dari
islam) atau terbunuh dalam keadaan murtad, atau bergabung dengan musuh serta
telah diputuskan oleh hakim atas pembelotannya, menurut Imam Abu Hanifah hal
itu membatalkan qiradh sebab bergabung dengan musuh sama saja dengan mati,. Hal
itu menghilangkan keahlian dalm kepemilikan harta, dengan adil bahwa harta
orang murtad dibagikan di antara para ahli warisnya.
(e) Modal Rusak di Tangan Pengusaha
Jika harta rusak sebelum dibelanjakan, qiradh menjadi
batal, hal ini karena modal harus dipegang oleh pengusaha. Jika modal rusak,
qiradh batal. Begitu
pula qiradh di anggap rusak jika midal diberikan kepada orang lain atau
dihabiskan sehingga tidak tersisa untuk diusahakan.[16]
(6)
Rukun
qiradh:
(a) Harta (modal), baik berupa uang ataupun
lainnya. Keadaan modal hendaknya di ketahui banyaknya.
(b) Pekerjaan, yaitu berdagang dan
lain-lainnya yang berhubungan dengan urusan perdagangan tersebut. Barang yang
hendak di perdagangkan, begitu juga tempat, hendaknya tidak ditentukan, hanya
di serahkan saja pada pekrja. Arang apa dan di tempat manapun bisa,asal menurut
pandangannya ada harapan untuk mendapat keuntungan.
(c) Keuntungan, banyaknya keuntungan untuk
bekerja hendaklah di tentukan sewaktu akad , misalnya seperdua atau sepertiga
dari jumlah keuntungan.
(d) Yang punya modal dan yang bekerja
(pekerja). Keduanya hendaklah orang yang berakal dan sudah baligh (berumur 15
tahun) dan bukan orang yang di paksa.[17]
(7) Jenis-jenis Qiradh
Qiradh ada dua macam,
yaitu qiradh mutlak (al-mutlaq) dan
qiradg terikat (al-muqayyad). Qiradh
mutlak adalah penyerahan modal seseorang kepada pengusaha tanpa memberikan
batasan, seperti berkata “saya serahkan
uang ini kepada mu untuk diusahakan, sedangkan labanya akan dibagi di antara
kita, masing-masing setengah atau sepertiga, dan lain-lain”.
Qiradh muqayyad (terikat) adalah penyerahan
modal seseorang kepada pengusaha dengan memberikan batasan. Seperti persayratan
bahwa pengusaha harus berdagang di daerah bandung atau harus berdagang sepatu,
atau membeli barang dari orang tertentu, dan lain-lain. Ulama; Hanafiyah dan
Imam Ahmad memperbolehkan member batasn dengan waktu dan orang, tetapi ulam’
Syafi’iyah dan Malikiyah melarangnya. Ulama’ Hanafiyah dan Ahmad pun
membolehkan akad apabila dikaitkan dengan masa yang akan dating, seperti, “Usahakan modal ini mulai bulan depan,”
sedangkan ulama’ Syafi’iyah dan Malikiyah melarangnya.[18]
(8) Sifat Qiradh
Ulama’ fiqih sepakat
bahwa akad dalam qiradh sebelum di jalankan oleh pekerja termasuk akad akan
tidak lazim. Apabila sudah dijalankan oleh pekerja diantara ulama’ terdapat
perbedaan pendapat ada yang berpendapat, ada yang berpendapat termasuk akad
yang lazim, yakni dapat di wariskan seperti pendapat Imam Malik, sedangkan
menurut Imam Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, akad tersebut tidak lazim,
yakni tidak dapat di wariskan. Mudharib (Pengusaha) Lebih dari Seorang. Ulama’
Malikiyah berpendapat bahwa jika qiradh lebih dari seorang, laba di bagikan
berdasarkan hasil pekerjaan mereka. Dengan kata lain keuntungan diantara sesame
pengusaha tidak boleh di samakan, tetapi menurut kadar usaha dan hasil usahanya.[19]
3.
Syarat Qiradh
a.
Akad
qiradl itu ada 4 macam syaratnya, yaitu:
1)
Qiradl
itu sendiri harus berupa uang (dirham dan dinar) yang murni, karena itu tidak
sah akad Qiradl dengan emas murni, emas perhiasan, emas yang campuran dan juga
tidak sah dengan harta, seperti uang emas atau perak yang tercetak.
2)
Pemilik
modal memberikan izin kepada pihak yang memperdagangkan untuk mentasarrufkan
secara mutlak. Maka tidak boleh bagi pemilik modal mempersempit pengelola dalam
mentasarrufkan, seperti ucapan pemilik modal : “ Kamu jangan membeli sesuatu
sebelum bermusyawarah dengan aku” atau : “Kamu jangan membeli, kecuali gandum
yang putih, misalnya”. Kemudian mushannif menghubungkan perkataannya yang
terdahulu dengan yang ada disini, yakni pemilik modal memberikan izin kepada
pihak yang memperdagangkan dalam mengusahakan sesuatu, yang menurut kebiasaan
tidak putus wujudnya. Jika pemilik modal berjanji kepada orang yang mengerjakan
untuk membeli sesuatu yang langka
wujudnya, seperti kuda belang, maka
hukumnya tidak sah.
3)
Harus
ada janji dari pemilik modal kepada orang yang mengerjakan berupa bagian
keuntungan yang dapat diketahui, seperti
separo dari keuntungannya, atau sepertigannya. Jika pemilik modal berkata kepad
orang yang mengerjakan : “aku mengqiradlkan kepadamu modl ini dengan janji, bahwa
kamu akan bersama-sama mendapatkan keuntungan dalam kaitannya dengan modal ini
atau bagian dari padanya”, maka akad qiradl ini hukumnya rusak (tidak sah).
Atau pemilik modal berkata : “keuntungannya milik kita berdua”, maka hukumnya
sah. Dan keuntungan tersebut dibagi dua.
4)
Pihak
pemilik modal tidak memperkirakan akan Qiradl dalam suatu masa yang telah
maklum, seperti ucapan pemilik modal : “aku mengqiradlkan kepadamu dalam masa
satu tahun saja”. Dan pihak orang yang mengakadkan tidak mengantungkan dengan
suatu syarat, seperti seperti ucapan pemilik modal : “Bila nanti telah datang
awal bulan, maka aku menqiradlkan kepadamu.[20]
b.
Adapun menurut para ulama’ syarat qiradh adalah:
1)
Para
ulama’ menentukan syarat qiradh berupa uang dirham dan dinar (atau mata uang yang
lainnya-Pen). Tidak boleh melakukan akad qiradh dengan penyerahan barang-barang
perhiasan dari emas, emas lempengan (lantakan), atau berupa komoditi (barang
dagangan).
2)
Orang
yang memperdagangkan uang di dalam akad qiradh tidak boleh di batasi usahanya.
Pembatasan usaha tersebut kadang-kadang berupa pencegahan pembelanjaan secara
mutlak, misalnya pemberi modal berkata, “janganlah engkau membeli sesuatau
sebelum bermusyawarah lebih dahulu denganku!” atau, “janganlah engkau menjual
sesuatu sebelum mendapat izinku!”.
3)
Keuntungan
akad qiradh tersebut harus sama-sama di rasakan oleh pemilik modal dan
orang yang memperdagangkan modal. Pemilik modal mendapat keuntungan sebab modal
yang di berikan, dan orang yang menjalankan modal itu mendapat keuntungan sebab
tenaganya. Demikian ini bisa menghilangkan tujuan akad qiradh yaitu
laba, yakni mengakibatkan hilangnya laba, karena dalam menjual dan membeli
sesuatu harus konsultasi terlebih dahulu dengan pemilik modal, maka akan
memakan waktu lam sehingga konsumennya tidak sabar lalu beralih ke pengusaha
lain.
Pembatasan
usaha terkadang sebagai berikut: Pemilik modal mengsyaraatkan orang yang
menjalankan uang tersebut hanya boleh membeli barang dagangan tertentu saja,
misalnya hanya diperbolehkan membeli gandum jenis tertentu saja, ataupun
pakaian jenis tertentu saja. Bisa juga pembatasan usaha tersebut dengan
mengsyaratkan untuk membeli barang-barang yang sulit di dapat, misalnya kuda
yang warnanya menarik atau yang tangkas dan sebagainya atau mengsyaratkan
membeli buah-buahan yang tidak ada pada musim panas atau musim dingi dan
sebagainya, atau mensyaratkan beruamalah hanya dengan pedagang tertentu,
misalnya pemilik modal mengatakan: “Jangan membeli sesuatu, melainkan dari
Fulan saja!”.
Semua
syarat-syarat yang membatasi usaha tersebut merusak akad qiradh, karena
barang-barang tertentu yang di syaratkan oleh pemilik modal tadi mungkin tidak
dijual oleh pemilik barang itu, atau sudi menjual kalau harganya mahal.
Akibatnya, usaha di dalam qiradh tersebut tidak akan mendapat laba.
Pengusaha-pengusaha
tertentu yang ditunjuk untuk menghubungi mungkin juga tidak mau berhubungan
dengan pelaksana qiradh tetapi ternyata mereka tidak mempunyai barang
dagangan yang bisa mendatangkan keuntungan, atau mungkin mereka mempunyai
barang dagangan tersebut tetapi menjualnya dengan harga yang sangat tinggi
(sehingga akad qiradh tersebut tidak bisa menghasilkan laba-Pen).
Pembatasan-pembatasan
usaha tersebut akan menghalangi tujuan qiradh yang utama (yaitu untuk
mendapatkan laba/keuntungan-Pen.). jadi, pembatasan-pembatasan usaha dengan
pemberi persyaratan tertentu seperti itu harus di tiadakan.
Batas
waktu qiradh yang tidak boleh di tentukan, lain halnya dengan musaqah
(mengairi tanaman), karena keuntungan yang di dapat dari qiradh
tidak dapat di tentukan dalam masa tertentu, sedangkan keuntungan yang di dapat
dari mengairi tanaman dapat di tentukan dalam masa panennya. Pemilik modal dan
orang yang menjalankan modal dalam akad qiradh boleh membatalkan akad
sewaktu-waktu mereka menghendaki, karena qiradh itu akad yang jaiz
(wenang).
Seandainya
pemilik modal menentukan masa, setelah itu ia melarang orang yang menjalankan
modal itu untuk membelanjakan modal, maka akad qiradh tersebut rusak karena
akan menghalangi tujuan qiradh. Apabila orang yang menjalankan modal
sudah membelanjakan modal yang di terima, kemudian pemilik modal melarang orang
yangmembelanjakan modal untuk berbelanja lagi, maka tidak sampai
membahayakan/membatalkan akad qiradh yang sudah terlanjur berlangsung
menurut kaul yang ashah, sebab pemilik modal sewaktu-waktu berhak melarang
orang yang menjalankan modal untuk membeli sesuatu. Karena itu, ia boleh
mencantumkan hal tersebut pada saat akad.
Syekh
Abu Syuja’ berkata:
ﻮَأَنْﻳَﺸْﺘَﺮِﻃَ
ﻟَﻪُﺧُﺰْءًاﻣَﻌْﻠُﻮْﻣًﺎﻣِﻦَاﻟﺮَّﺑْﻊِﻮَأَنْﻻَﻳُﻘَﺪَّرَﻩُﺑِﻤُﺪَّةٍ
Artinya:
“Pemilik modal qiradh harus menentukan prosentase pembagian keuntungan dari
hasil qiradh itu. Pemilik modal tidak boleh memberi batasan waktu..[21]
c.
Syarat
Syah Qiradh
Syarat-syarat syah
qiradh berkaitan dengan aqidani (dua orang yang akan akad), modal dan laba.
1)
Syarat
Aqidani
Di
syaratkan bagi orang yang akan melakukan akad, yakni pemilik modal dan
pengusaha adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil, sebab qiradh
mengusahakan harta pemilik modal, yakni menjadi wakil. Namun demikian, tidak di
syaratkan harus muslim. Qiradh di perbolehkan dengan orang kafir dzimmi atau orang kafir yang dilindungi di negara islam.
Adapun
ulama’ Malikiyah memakhruhkan qiradh dengan kafir dzimmi jika mereka tidak
melakukan riba dan melarangnya jika mereka melakukan riba.
2)
Syarat
Modal
a)
Modal
harus berupa uang, seperti dinar, dirham, atau jenisnya, yakni segala sesuatu
yang memungkinkan dalam perkongsian (Asy-Syirkoh).
b)
Modal
harus di ketahui dengan jelas dan memiliki ukuran.
c)
Modal
harus ada, bukan berupa utang, tetapi tidak berarti harus ada di tempat akad.
Juga di bolehkan mengusahakan harta yang di titipkan kepada orang lain seperti
mengatakan, “Ambil harta saya di si fulan
kemudian jadikan modal usahakan!”.
d) Modal harus di berikan kepada pengusaha.
Hal itu di maksudkan agar pengusaha dapat mengusahakannya, yakni menggunakan
harta tersebut sebagai amanah.[22]
3)
Syarat-syarat
Laba
a)
Laba harus memiliki ukuran
Qiradh di maksudkan
untuk mendapatkan laba. Dengan demikian, jika laba tidak jelas, qiradh batal.
Namun demikian, pengusaha di bolehkan menyerahkan laba sebesar Rp.5.000,00
misalnya untuk dibagi di antara keduanya, tanpa menyebutkan ukuran laba yang
akan di terimanya.
Ulama’ Hanafiyah
berpendapat bahwa apabila pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian harus di
tanggung oleh kedua orang yang akad, maka akad rusak, tetapi qiradh tetap sah.
Hal ini karena dalam qiradh, kerugian harus di tanggung oleh pemilik modal.
Sedangkan apabila pemilik modal mensyaratkan laba harus di berikan semuanya
kepadanya, hal itu tidak di katakana qiradh, tetapi pedagang.
Sebaliknya, jika
pengusaha mensyaratkan laba harus di berikn kepadanya, menurut ulama’ Hanafiyah
dan Hanbilah, hal itu, termasuk qaradh,tetapi
menurut ulama’ Syafi’iyah termasuk qiradh yang rusak. Pengusaha di beri upah
sesuai usahanya, sebab qiradh mengharuskan adanya pembagian laba. Dengan
demikian, jika laba di syaratkan harus
di miliki seseorang, akad menjadi rusak.
Ulama’ Malikiyah
membolehkan pengusaha mengsyaratkan semua laba untuknya. Begitu pula semua laba
boleh untuk pemilik modal sebab termasuk tabarru’
(derma).
b)
Laba Harus Berupa Bagian yang Umum (Masyhur)
Pembagian laba harus
sesuai dengan keadaan yang berlaku secara umum, seperti kesepakatan di antara
orang yanga melangsungkan akad bahwa setengah laba adalah untuk pemilik modal,
sedangkan setengah lainnya lagi di berikan kepada pengusaha. Akan tetapi, tidak
di bolehkan menetapkan jumlah tertentu bagi satu pihak dan sisanya bagi pihak
lain, seperti metetapkan laba 1.000 bagi pemilik modal dan menyerahkan sisanya
bagi pengusaha.[23]
4.
Cara Pelaksanaan Qiradh
Karena
orang yang bekerja wajib ikhlas dalam segala urusan yang bersangkutan dengan
qiradl, hendaklah ia dibenarkan dengan semua sumpahnya apabila ia mengatakan
tidak mendapat keuntungan atau hanya memperoleh sedikit keuntungan. Begitu juga
banyak dan sedikitnya modal, atau dia mengatakan bahwa modalnya hilang, semua
pengakuan tersebut hendaklah diperkuat dengan sumpahnya.
Kalau
orang yang bekerja dan yang punya modal berselisih tentang pembagian
keuntungan, umpamanya orang yang bekerja mengatakan untuk dia seperdua,
sedangkan yang punya modal sepertiga, kedua-duanya hendaklah besumpah, dan
orang yang bekerja itu di beri keuntungan menurut kebiasaan yang berlaku di
tempat dan waktu itu.
Akad
qirad adalah akad saling percaya. Maka apabila ada barang yang hilang, yang
bekerja tidak wajib mengganti, kecuali jika karena kelalaiannya. Kerugian
hendaklah ditutupi (diganti) dengan keuntungan. Kalau masih juga rugi, kerugian
itu hendaklah dipikul oleh yang punyamodal sendiri, berarti yang bekerja tidak
dituntut mengganti kerugian.[24]
B. Hiwalah
1.
Pengertian Hiwalah
Kata
hawalah dengan dibaca fathah huruf ha’ dan dibaca kasrah, menurut bahasa arinya
mengalihkan. Sedangkan menurut syara’ ialah memindahkan hak dari tanggungannya
orang yang mengalihkan kepada oarang yang dilimpahi tanggungan.[25]
Kata
Hiwalah menurut bahasa berarti pindah/beralih. Menurut istilah, artinya adalah
pengalihan utang-piutang dari tanggungan seseorang menjadi tanggungan orang
lain.
Sebenarnya
Hiwalah itu merupakan penukaran suatu
piutang dengan piutang yang lain, menurut kaul yang ashah. Namun, tidak di
kategorikan dalam masalah jual beli karena kebutuhan masyarakat sangat
mendesak.
Dasar
di pebolehkannya Hiwalah adalah ijmak ulama dan hadist nabi Muhammad SAW yang
di riwayatkan Imam Bukhori dan Imam Muslim bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
ﻣَﻄْﻞُاﻟْﻐَﻨِﻲَّﻇُﻟْﻢٌ٬وَاِذَاأُﺗْﺒِﻊَأَﺣَﺪُﻛُﻢْﻋَﻠﻰَﻣَﻠِﻲْءٍﻓَﻠْﻴَﺘْﺒَﻊْ
(رواﻩاﻟﺸﻴﺨﺎن)
Artinya: “Penundaan pembayaran oleh orang kaya adalah suatu
kedzaliman (penganiayaan), apabila utang seseorang terhadap orang kaya di
alihkan menjadi tanggunganmu, maka turutlah!” (H.R. bukhori dan Muslim)
Dalam riwayat lain, hadist tersebut berbunyi sebagai berikut:
ﻮَإِذَأُﺣِﻴْﻞَأَﺣَﺪُﻛُﻢْﻋَﻠﻰَﻣَﻠِﻲءٍﻓَﻟْﻴَﺤْﺘَﻞْ
(رواﻩأﺣﻤﺪواﻟﺒﻴﻬﻘﻲ)
Artinya:
“... apabila utang seseorang terhadap orang kaya dialihkan menjadi
tanggunganmu, maka terimalah pengalihan utang itu.” (H.R. Ahmad dan
Baihaqi).[26]
Menurut bahasa, Hiwalah artinya
“mengalihkan”. Sedangkan menurut syara’ ialah memindahkan hak dari tanggungannya
orang yang mengalihkan kepada orang yang di limpahi tanggungan.
Hiwalah ialah memindahkan utang dari
tanggungan seseorang kepada tanggungan orang lain. Hiwalah ini merupakan system
yang unik yang sesuai untuk di adaptasikan kepda manusia. Hal ini karena
hiwalah sangat erat hubungan nya dengan kehidupan manusia. Hiwalah sering
berlaku dalam permasalahan hutang piutang. Maka salah satu cara untuk
menyelesaikan masalah hutang piutang dalam muamalah adalah hiwalah.
Hiwalah bukan saja di gunakan untuk
menyelesaikan masalah hutang piutang akan tetapi bisa juga digunakan sebagai
pemindah dana dari individu kepada individu ya ng lain.
Sabda
Rasulullah SAW.
ﻣَﻄ۟ﻞُاﻟ۟ﻐَﻨِّﻲِﻇُﻠ۟ﻢٌﻓَﺎِذَااُﺣِﻴ۟ﻞَاَﺣَﺪُﻛُﻢ۟ﻋَﻠَﻰءٍﻓَﻠ۟ﻴَﺤ۟ﺘَﻞ۟۰رواأﺣﻤﺪواﻟﺒﻴﻬﻘﻰ
Artinya: “Orang yang mampu membayar utang, haram
atasnya melalaikan utangnya. Maka apabila salah seorang diantara kamu
memindahkan utangnya kepada orang lain, pemindahan itu hendaklah diterima, asal
yang lain itu mampu membayar.” (Riwayat Ahmad Dan Baihaqi).[27]
Hiwalah
dapat menjadi sah dengan adanya shighat; Yaitu ijab dari Muhil (pemindah
tanggungan utang), misalnya: “Utangku kepadamu kupindahkan tanggungannya kepada
si fulan,” “Hak mu pada ku ku pidahkan kepada si fulan. Atau “Hartaku pada si
fulan ku jadikan untuk mu”, dan qabul (pihak yang piutangnya dipindahkan),
dimana ada ijab qabul tidak dita’liq: misalnya qabul yang sah “pindahkanlah
hakku”.
Ada
juga kerelaan Muhil yang Muhtal. Untuk Muhal alaih (pihak yang terbebani
limpahan utang). Tidak di syaratkan kerelaannya. Dengan terjadi hiwalah, maka
piutang muhtal pindah ke muhal alaih, muhil bebas tanggungan utang dari muhtal,
dan muhal alaih bebas tanggungan utang kepada muhil.
Menurut
ijma’ ulama, (dengan keberadaan hiwalah), maka hak muhtal berpindah menjadi
tanggungan muhal alaih. Jika muhtal tidak dapat mengambil piutangnya dari muhal
alaih, karena bangkrut sekalipun telah ada sejak diadakan hiwalah-, karena
muhal alaih mengingjkari yang berutang untuk menguatkan pengingkarannya, atau
karena yang lainnya, misalnya, kesewenang-wenangan muhal alaih dan kematian
saksi-saksi hiwalah, maka bagi muhtal tidak boleh menagih piutangnya kepada
muhil, sekalipun ia tidak mengetahui halangan-halangan di atas.
Muhtal
tidak boleh khiyar, jika jelas akhirnya ada muhal alaih adalah orang yang
melarat, sekalipun (waktu akad) di syaratkan ada kecukupan muhal alaih. Jika
muhtal melakukan penagihan kepada muhal alaih, lalu dijawab, “Muhil telah
membebaskan utangku sebelum akad hiwalah”, (Hayyinah), maka bukti ini
dapat di terima, sekalipun muhil berada dalam daerah setempat, kemudian menurut
pendapat Al-Mutajjih, bahwa bagi muhtal boleh menagih kembali piutangnya kepada
muhil, kecuali jika muhtal masih kukuh pendirian-nya dalam mendustakan muhal
alaih.
Jika
seseorang menjual budak dan harga penjualannya di hiwalahkan (pembeli berstatus
muhal alaih), lalu penjual (muhil) dan pembeli (muhal alaih) sepakat atas
adanya kemerdekaan budak tersebut, waktu jual beli, (begitu juga dengan
pengakuan muhtal) atau kemerdekaannya tersebut terbukti dengan adanya
persaksian Hisbah (sukarela) atau dengan bayyinah yang di ajukan oleh
budak itu sendiri, maka hiwalah tersebut hukumnya tidak sah.[28]
2.
Hukum Hiwalah
a.
Hukum
hiwalah yaitu sebagai berikut:
1)
Apabila
akad hiwalah telah telah sempurna dengan adanya qobul, maka menurut mayoritas
ulama’ secara otomatis terbebas dari tanggungan utang yang ada dan
bentuk-bentuk jaminan tidak ikut berpindah, akan tetapi statusnya ikut berakhir
dan selesai.
2)
Tertetapkannya
kewenangan penagihan bagi pihak al-muhalkepada pihak al-muhal alaihi terhadap
utang yang berada di dalam tanggungannya. Karena hiwalah menghendaki adanya
pemindahan ke dalam tanggung jawab pihak al-muhal alaihi yaitu pemindahan utang
dan penagihan sekaligus berdasarkan pendapat yang di nilai lebih kuat.
b.
Rukun
Hiwalah:
1)
Muhil
(orang yang berhutang dan berpiutang).
2)
Muhtal
(orang yang berpiutang).
3)
Muhal
alaih (orang yang berutang).
4)
Utang
muhil kapada muhtal.
5)
Utang
muhal alaih kepada muhil.
6)
Sigat
(lafaz akad).[29]
3.
Syarat Hiwalah
Syekh
Abu Syuja’ berkata:
وَﺷَﺮَاﺋِﻄُ اﻟْﺤَوَاﻟﺔِاَرْﺑَﻌَﺔُ:
رِﺿﻰَاﻟْﻤُﺤِﻴْﻞِ٬وَﻗَﺒُوْلُ
اﻟْﻤُﺨْﺘَﺎلِ٬وَﻛََوْنُاﻟْﺤَﻖََّﻣُﺴْﺘَﻘِﺮًّاﻓﯽِاﻟﺬَّﻣَّﺔِﻮَاﻟﺘَّﻔَﺎقُﻣَﺎﻓﻰِذِﻣَّﺔِاﻟْﻤُﺤِﻴْﻞِوَاﻟْﻤُﺤﺎلِﻋَﻟَﻴْﻪِﻓﻲِاﻟﺠِﻨْﺲِﻮَاﻟﻨَّوْعِوَ
اﻟﺤُﻟُوْلِوَاﻟﺘَّﺄْﺟِﻴْﻞِوَﺗَﺒْﺮَأُﺑِﻬَﺎذِﻣَّﺔُاﻟْﻤُﺤِﻴْﻞِ
Artinya:
“Syarat hiwalah (pengalihan utang) itu ada empat: (1) Kerelaan orang yang
mengalihkan utang. (2) Kerelaan orang yang menerima pengalihan utang. (3)
Adanya hak yangtetap (pasti) yang
menjadi tanggungan. (4) Utang dalam tanggungan yang di peralihkan itu harus
sama dengan jenis dan macam, serta dalam kontan dan angsurannya. Dengan adanya
akad hiwalah maka orang yang mengalihkan utang bebas dari taggungan utang.”
(Selanjutnya utang tersebut menjadi tanggungan orang yang menerima pengalihan
utang.Pen.).[30]
a.
Syarat
sah hiwalah, namun
sebenarnya hanya ada dua syarat. Karena syarat pertama dan kedua yaitu kerelaan orang yang mengalihkan
utang dan kerelaan orang yang menerima pengalihan utang bisa di gabungkan
menjadi satu syarat.
1)
Harus
ada kerelaan dari orang yang mengalihkan utang tersebut menjadi tanggungan
orang yang mengalihkan (sebelum di alihkan). Dan seandainya tidak dialihkan
maka orang tersebut bertanggung jawab untuk melunasi uang itu menurut
kemauannya. Di syaratkan pula harus ada kerelaan dari pihak penerima
pengalihan, kerena tanggungan untuk melunasi utang tersebut setelah di alihkan
akan dipikul oleh pihak pengalihan. Jadi, diperlukan adanya saling merelakan
sebagaimana dalam masalah tukar menukar barang juga di syaratkan kerelaan dari
kedua belah pihak.
2)
Sebagaiman
yang di sebutkan adalah utang yang di alihkan itu telah pasti. Kepastian adanya
utang itu, seperti di sebutkan Imam Rafi’i adalah ketika pembeli mengalihkan
harga barang kepada penjual (maksudnya, pembeli mengalihkan cara utang).
3)
Imam
Rafi’i mengatakan, bahwa sahnya hiwalah itu tidak cukup hanya dengan
kepastian adanya piutang tersebut ada. Hal tersebut seperti yang berlaku pada
akad salam, menurut kaul yang ashah, piutang pada akad salam itu telah pasti,
namun apabila akad salam itu di alihkan ke hiwalah (hiwalah dengan utang
salam) maka hukumnya tidak sah. Tetapi dalam bab hiwalah ini Imam Rafi’i
mengatakan tentang syarat kedua: Pengalihan utang itu sah apabila pihak
pengalih dan pihak penerima utang sama-sama mengakui kepastian adanya utang
yang di alihkan itu.
Imam Nawawi mengupas
ucapan Imam Rafi’i tersebut: Imam Rafi’i memutlakan sahnya hiwalah
apabila utang yang dialihkan itu telah pasti adalah mengikuti pendapat
Al-Ghazali. Tetapi yang benar tidak demikian, karena kepastian adanya utang
pada akad hiwalah pada salam. Ini menurut kaul yang shahih dan telah di
putuskan oleh mayoritas ulama.
Upah itu boleh di hiwalahkan,
demikian pula dengan maskawin apabila suami belum menyetubuhi istri. Matinya
orang yang meninggalkan harta waris juga boleh dihiwalahkan.
Didalam kitab
Al-Raudhah, Imam Nawawi menyebutkan syarat-syarat hiwalah, maka ia
menyebutkan syarat yang ke dua, yaitu utang yang dihiwalahkan itu telah
menjadi pasti atau akan menjadi pasti.[31]
b.
Adapun
syarat-syaratnya Hiwalah itu ada empat macam, yaitu:
1)
Kerelaan
Muhil. Adapun Muhil ialah orang yang mempunyai tanggungan hutang. Tidak
disyaratkan atas orang yang dibebani pemindahan hutang, karena sesungguhnya
memang tidak ada syarat kerelaan orang yang dibebani pemindahan hutang (Muhal ‘alaihi)
menurut pendapat yang lebih shaleh. Dan tidak boleh akad Hiwalah atas orang
yang tidak mempunyai hutang.
2)
Adanya
qabul oleh Muhtal. Adapun Muhtal ialah orang yang hak piutangnya dipindahkan
atas Muhil (orang yang mempunyai tanggungan hutang).
3)
Hak
yang dipindahkan itu tetap berada dalam tanggungan. Adapun memberikan qayyid
dengan kata “tetap” adalah sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam
Rafi’i tetapi Imam Nawawi didalam kitab Raudlah telah menyusuli pendapat
tersebut bahwa yang di tetapkan sebagai hutang adalah yang ada dalam pemindahan
itu saja, atau hutang yang baru akan menjadi tanggungan.
4)
Adanya
penyesuaian tanggungan hutang si Muhil (orang yang mempunyai tanggungan hutang)
dan Muhal ‘alaih (orang yang dibebani pemindahan hutang) dalam hal jenis
perkiraannya, macamnya, kontan atau tempo dan masih utuh atau sudah pecah.[32]
c.
Adapun
lainnya, Syarat Hiwalah adalah sebagai berikut:
1)
Utang
yang di janjikan untuk di bayar itu harus bisa menjadi kewajiban yang sah.
2)
Utang
C kepada A sama banyak dan jenisnya dengan janji atau tunai dengan utang A
kepada B. Maka jika ternyata C tidak dapat membayar Karena ia tidask mampu,
maka B tidak dapat kembali kepada A karena hal itu termasuk sia-sia, tidak
diselidikinya sebelum terjadi akad hiwalah.
3)
Utang
itu harus sudah jatuh temp, walaupun masih tetap harganya untuk di bayarkan
oleh seorang hamba sahaya untuk pembebasannya, tetapi tidak perlu utang
yangharus di bayarkan itu sudah jatuh tempo.
4)
Kedua
pengutang itu harus pada objek jenis yang sama dalam kuantitas dan kualitasnya,
walaupun ada banyak pendapat tentang beragam bentuk uang itu.[33]
4.
Cara Pelaksanaan Hiwalah
a.
Umpamanya
A (muhil) berhutang kepada B (muhtal) dan ia (A) berpiutang kepada C (muhal
alaih). Jadi, A adalah orang yang berutang dan berpiutang, B hanya berpiutang,
dan C hanya berutang. Kemudian A dengan persetujuan B menyuruh C membayar
utangnya kepada B, tidak kepada (A); setelah terjadi akad hiwalah, terlepaslah
A dari utangnya kepada B dan C tidak berutng lagi kepada A, tetapi utangnya
kepada A telah berpindah kepada B; berarti C harus membayar utangnya itu kepada
B, tidak lagi kepada A.
Memindahkan utang
dengan cara ini tidak ada halangannya, dengan syarat “keadaan C mampu membayar
utangnya, dan dengan ridha kedua-nya (A dan B)”.[34]
b.
Adapun
macam-macam hiwalah ialah:
Madzhab
Hanafiyah membagi Hiwalah kepada 2 macam, yaitu:
1)
Al-hiwalah
al-Muqayyadah (Pemindahan Bersyarat)
Yaitu pemindahan
sebagai ganti dari pembayaran utang dari pihak pertama kepada pihak kedua.
Contoh: Samkhun berpiutang kepada Isman sebesar satu juta rupiah, sedangkan
Isman juga berpiutang pada Fahmi satu juta rupiah. Isman kemudian memindahkan
haknya untuk menagih piutangnya yang terdapat pada Fahmi kepada Samkhun.
2)
Al-hiwalah
al-Muthlaqah (Pemindahan Mutlak)
Yaitu pemindahan yang
tidak di tegaskan sebagai ganti pembayaran utang pihak pertama kepada pihak
kedua. Contoh; Isman berhutang kepada samkhun sebesar satu juta rupiah. Karena
Fahmi juga berhutang kepada Isman sebesar satu juta rupiah. Isman mengalihkan
utangnya kepada Fahmi sehingga Fahmi berkewajiban membayar utang Isman kepada
Samkhun, tanpa menyebutkan bahwa pemindahan utang itu sebagai ganti utang Fahmi
kepada Isman.[35]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Qiradh
ialah memberikan modal dari seseorang kepada orang lain untuk modal
usaha,sedangkan keuntungan untuk keduanya menurut perdamaian (perjanjian)
antara keduanya sewaktu akad, di bagi dua atau di bagi tiga umpamanya.
a.
Rosulullah
saw ketika beliau berakad qiradh dengan siti khadijah (sebelum nikah) untuk
memperdagangkan hartanya ke negara syam dan lain-lain. Para sahabat juga telah
sepakat menetapkan sah nya perdagangan seperti itu. Rukun qirad ialah harta,
pekerjaan, keuntungan, yang punya modal dan yang bekerja.
b.
Syarat
qirad ialah:
1)
Qirad itu sendiri harus berupa uangyang murni.
2)
Pemilik
modal memberikan izin kepada pihak yang memperdagangkan untuk mentasarrufkan
secara mutlak.
c.
Cara
pelaksanaan qirad ialah Pekerja hendaklah bekerja ikhlas, tidak boleh
mengutamakan barang, tidak boleh membawa barang ke luar negeri, kecuali dengan
izin yang punya modal, dan tidak boleh membelanjakan uang qiradh untuk dirinya
sendiri; bersedekah dari barang qiradh pun tidak boleh. Belanja untuk
keperluannya sendiri hendaklah di ambil dari kantongnya sendiri.
2.
Hiwalah
ialah memindahkan utang dari tanggungan seseorang yang lain. Banyak perjanjian
hutang yang dapat di pindah tangankan.
a.
Hukum
hiwalah: Apabila akad hiwalah telah telah sempurna dengan adanya qobul, maka
menurut mayoritas ulama’ secara otomatis terbebas dari tanggungan utang yang
ada. Rukun hiwalah: Muhil (orang yang berhutang dan berpiutang), Muhtal (orang
yang berpiutangSyarat hiwalah ialah kerelaan muhil, adanya qabul oleh muhtal,
hak yang dipindahkan itu tetap berada dalam tanggungan, adanya penyesuaian
tanggungan hutang si muhil.
b.
Cara
pelaksanaan hiwalah ialah Umpamanya A (muhil) berhutang kepada B (muhtal) dan
ia (A) berpiutang kepada C (muhal alaih). Jadi, A adalah orang yang berutang
dan berpiutang, B hanya berpiutang, dan C hanya berutang. Kemudian A dengan
persetujuan B menyuruh C membayar utangnya kepada B, tidak kepada (A); setelah
terjadi akad hiwalah, terlepaslah A dari utangnya kepada B dan C tidak berutng
lagi kepada A, tetapi utangnya kepada A telah berpindah kepada B; berarti C
harus membayar utangnya itu kepada B, tidak lagi kepada A.
B.
Saran
Penulisan
makalah ini di tujukan sekedar bisa menjadi gambaran sekilas, tambahan dan
wawasan tentang dunia ilmu agama islam. Penulis menyarankan agar bisa menjadi
tuntutan kita dalam melaksanakan sesuai syari’at islam yang telah di tetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Rasyid,Sulaiman.2012.Fiqih Islam.Bandung:Sinar Baru
Algensindo.
Alhusaini,Al-imam Taqiyuddin Abubakar.2011.Kifayatul Akhyar.Surabaya:PT.Bina
Ilmu.
Syafe’i,Rachmat.1997.Fiqih Muamalah.Bandung:Gunung Djati
Press.
Zainuddin,Asy-Syekh bin Abdul Aziz Al-Malibari.1991.Fat-Hul Mu’in 2.Surabaya
Muhammad,Asy-Syekh
bin Qosim Al-Ghazy.1991.Fat-Hul Qorib
Jilid 1.Surabaya.
[21]
Alhusaini,Al-imam Taqiyuddin Abubakar ,Kifayatul Akhyar,
(Surabaya: PT.Bina Ilmu,2011)hal.165-168
[26]
Alhusaini,Al-imam Taqiyuddin Abubakar ,Kifayatul Akhyar,
(Surabaya: PT.Bina Ilmu,2011) hal.90-91
[30]
Alhusaini,Al-imam Taqiyuddin Abubakar ,Kifayatul Akhyar,
(Surabaya: PT.Bina Ilmu,2011) hal.89-90
[31] Alhusaini,Al-imam Taqiyuddin Abubakar ,Kifayatul Akhyar,
(Surabaya: PT.Bina Ilmu,2011) hal.91-92
No comments:
Post a Comment