Friday 23 October 2015

Makalah THAHARAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Allah itu bersih dan suci. Untuk menemuinya, manusia harus terlebih dahulu bersuci dan disucikan. Allah mencintai sesuatu yang bersih dan suci. Dalam hukum Islam bersuci dan sehala seluk-beluknya adalah termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting terutama karena diantaranya syarat-syarat sholat telah ditetapkan bahwa seseorang yang akan melaksanakan sholat, wajib suci dari hadas dan suci pula badan, pakaian dan tempatnya dari najis sehingga thaharah dijadikan sebagai alat dan cara bagaimana mensucikan diri sendiri agar sah saat menjalankan ibadah.

B.     Rumusan Masalah
1.       Jelaskan Pengertian, Dasar Hukum, Tujuan dan Alat Thaharah?
2.       Jelaskan Najis dan Hadats, serta cara mensucikannya?
3.       Jelaskan Pengertian, Dasar Hukum, Syarat dan Rukun Wudhu, Mandi, Tayammum?

C.     Tujuan
1.       Untuk Mengetahui Pengertian, Dasar Hukum, Tujuan dan Alat Thaharah.
2.       Untuk Memahami Najis dan Hadats, serta cara mensucikannya.
3.       Untuk Mengetahui Pengertian, Dasar Hukum, Syarat dan Rukun Wudhu, Mandi, Tayammum.




BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Thaharah
Dalam hukum islam, soal bersuci dan segala seluk beluknya dan termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting, terutamakarena diantara syarat-syarat salat telah ditetapkan bahwa seseorang yang mengerjakan salat diharuskan suci dari hadas dan suci pula badan, pakaian, dan tempatnya dari najis.
Firman Allah SWT:
إِنَّ اللّٰـهَ يُحِبُّ التَّوّٰبِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ ﴿البقرة:٢٢٢
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Al-Baqarah:222).[1]
B.       Dasar Hukum Thaharah

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَوٰةِ فَاغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللّٰـهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿المائدة:٦
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan

tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”. (Al-maidah).[2]
C.       Tujuan dan Alat Thaharah
Tujuan thaharah adalah menghilangkan najis, hadats kecil maupun besar agar Ibadah kita menjadi sah. Alat thaharah yaitu meliputi:
1.         Air
Macam-macam air dan pembagiannya:
a.    Air yang suci dan menyucikan.
Air yang demikian boleh diminum dan sah dipakai untuk menyucikan (membersihkan) benda yang lain. Yaitu air yang jatuh dari langit atau terbit dari bumi dan masih tetap (belum berubah) keadaannya, seperti air hujan, air laut, air sumur, air es yang sudah hancur kembali, air embun, dan air yang keluar dari mata air.
Firman Allah SWT:
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ السَّمَآءِ مَآءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِ
Artinya:”dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu (Al-Anfal:11).
Perubahan air yang tidak menghilangkan keadaan atau sifatnya “suci menyucikan”-walaupun perubahan itu terjadi pada salah satu dari semua sifatnya yang tiga (warna, rasa, dan baunya) sebagai berikut:
1)        Berubah karena tempatnya, seperti air yang tergenang atau mengalir di batu belerang.
2)        Berubah karena lama tersimpan, seperti air kolam.
3)        Berubah karena sesuatu yang terjadi padanya, seperti berubah disebabkan ikan atau kambing.
4)        Berubah krena tanah yang suci, begitu juga segala perubahan yang sukar memeliharanya, misalnya berubah karena daun-daunan yang jatuh dari pohon-pohon yang berdekatan dengan sumur atau tempat-tempat air itu.[3]
b.    Air yang suci tapi tidak menyucikan.
Zatnya suci tapi tidak sah dipakai untuk menyucikan sesuatu. Yang termasuk bagian ini ada tiga macam air yaitu:
1)        Air yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur dengan suatu benda yang suci, selain dari perubahan yang tersebut di atas, seperti air kopi, the, dan sebagainya.
2)        Air sedikit, kurang dari dua kulah, sudah terpakai untuk menghilangkan hadas atau menghilangkan hukum najis, sedangkan air itu tidak berubah sifatnya dan tidak pula bertambah timbangannya.
3)        Air pohon-pohonan atau air buah-buahan, seperti air yang keluar dari tekukan pohon kayu (air nira), air kelapa, dan sebagainya. 3)
c.    Air yang bernajis.
Air yang termasuk bagian ini ada dua macam:
1)        Sudah berubah salah satu sifatnya oleh najis. Air ini tidak boleh dipakai lagi, baik airnya sedikit atau banyak, sebab hukumnya seperti najis.
2)        Air bernajis, tetapi tidak berubah salah satu sifatnya. Air ini kalau sedikit (berarti kurang dari dua kulah) tidak boleh dipakai lagi, bahkan hukumnya sama dengan seperti najis. 3)
d.   Air yang makruh.
Yaitu yang terjemur oleh matahari dalam bejana selain bejana emas atau perak. Air ini makruh dipakai untuk badan, tetapi tidak makruh untuk pakaian, kecuali air yang terjemur di tanah, seperti air saeah, air kolam, dan tempat-tempat yang bukan bejana yang mungkin berkarat.

D.      Najis
Suatu barang atau benda  menurut hukum aslinya adalah suci selama taka ada dalil yang menunjukkan bahwa benda itu najis. Benda najis itu banyak diantaranya:
1.         Bangkai binatang darat yang berdarah selain dari mayat manusia.
2.         Darah.
3.         Nanah.
4.         Arak setiap minuman yang memabukkan.
5.         Anjing dan babi.
6.         Bagian dari binatang yang diambil selagi dari tubuhnya selagi hidup.[4]
Sementara itu cara mensucikan najis ada beberapa macam, untuk melakukan kafiat mencuci benda yang kena najis, terlabih dahulu akan diterangkan bahwa najis terbagi atas 3 bagian, yakni:
1.         Najis mugallazah (tebal), yaitu najis anjing. Benda yang terkena najis ini hendaklah dibasuh dengan air yang dicampur tanah.

طَهُوْرُاِنَاءِاَحَدِكُمْ اِذَاوَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ اَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ اُوْلَاهُنَّ بِالتُّرَا                                                     
Artinya; “Cara mencuci bejana seorang dari kamu, apabila dijilat anjing hendaklah dibasuh tujuh kali, salah satunya hendaklah dicampur dengan tanah”.  (Riwayat Muslim)
2.         Najis mukhaffafah (ringan), misalnya kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan lain selain ASI. Mencuci benda yang kena najis ini sudah memadai dengan memercikan air pada benda itu, meskipun tidak mengalir. Adapun kencing anak perempuan yang belum memakan apa-apa selain ASI, cara mencucinya hendaklah dibasuh sampai air mengalir diatas benda yang kena najis itu,dan hilang zat najis dan sifat-sifatnya, sebagaimana mencuci kencing orang dewasa.

يُغْسَلُ مِنْ بِوْلِ الْجَارِيَّةِ وَيُرَشُ مِنْ بَوْلِ الْغُلَامِ
Artinya: “kencing kanak-kanak perempuan dibasuh dan kencing kanak-kanak laki-laki deperciki”. (Riwayat Tirmidzi)
3.         Najis mutawassitah (pertengahan), yaitu najis yang lain daripada kedua macam yang tersebut diatas . najis pertengahan ini terbagi atas dua bagian, yakni:
a.         Najis hukmiah, yaituyang kita yakini adanya, tetapi tidak nyata zat, bau, rasa, dan warnanya, seperti kencing yang sudah lama kering, sehingga sifat-sifatnya telah hilang. Cara mencuci najis ini cukup dengan mengalirkan air diatas benda yang kena itu.
b.        Najis ‘ainiyah, yaitu yang masih ada zat, warna, rasa, dan baunya, kecuali warna dan bau yang sangat sukar menghilangkannya, sifat ini dimaafkan. Cara mencuci najis ini hendaklah dengan menghilangkan zat, rasa, warna, dan baunya.[5]
E.       Hadats
Hadats secara etimologi (bahasa), artinya tidak suci atau keadaan badan tidak suci  jadi tidak boleh shalat. Adapun menurut terminologi (istilah) Islam, hadats adalah keadaan badan yang tidak suci atau kotor dan dapat dihilangkan dengan cara berwudhu, mandi wajib, dan tayamum. Dengan demikian, dalam kondisi seperti ini dilarang (tidak sah) untuk mengerjakan ibadah yang menuntut keadaan badan bersih dari hadats dan najis, seperti shalat, thawaf, ’itikaf.
Artinya shalat atau thawaf yang dilakukannya dinyatakan tidak sah karena dalam keadaan berhadats. Adapun yang menjadi sebab-sebabnya seseorang dihukumkan sebagai orang yang berhadats ada bermacam-macam, yang kemudian oleh para ahli fikih dikelompkkan menjadi dua macam yaitu hadats kecil dan hadats besar.[6]
Fuqaha hadits dalam soal wudhu dan mandi mengamalkan sunnah-sunnah yang tidak diperoleh oleh fuqaha-fuqaha yang lain. Mereka mencukupkan bersuci dari hadats kecil dengan menyapu sepatu, serban atau penutup kepala (kudung) saja bagi wanita.
Ummu Salamah istri Rasul pernah menyapu atas kudungnya, sebagai ganti menyapu kepala. Serta Abu Musa dan Anas pernah menyapu atas topinya (penutup kepalanya).
Para fuwaha tidak membolehkan kita menyapu atas penutup kepala. Mereka memerlukan tersapu – walau – sedikit – kepala sendiri.Seperti yang telah diditerangkan di muka bahwa untuk menghilangkan hadats keci seseorang hany diwajibkan berwudhu, sedang untuk menghilangkan hadatas besar maka wajiblah mandi yang sesuai dengan tuntunan syara’, namun kalau dalam keadaan darurat dapat juga dengan tayamum.[7]
F.       Wudhu
1.         Pengertian wudhu
Menurut lughat wudhu’ adalah perbuatan yang mengunakan air pada anggota tubuh tertentu. Sedangkan menurut hadist yang diriwayatkan  oleh Ibnu Majah, wudhu’ diwajibkan sebelum hijrah, pada malam isra’ mi’raj, bersamaan dengan shalat wajib lima waktu, tetapi kewajiban itu dikaitkan dengan keadaan berhadats. Selain itu pendapat lain mengatakan wudhu’ adalah suatu syarat untuk sahnya shalat yang dikerjakan sebelum seseorang mengerjakan shalat.
Jadi wudhu’ adalah perbuatan yang mengunakan air pada anggota tubuh tertentu, untuk syarat sahnya shalat yang dikerjakan sebelim mengerjakan shalat.
2.         Dasar hukum wudhu

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَوٰةِ فَاغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللّٰـهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿المائدة:٦
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai dengan kedua mata kakimu...” (al-Ma’idah/5:6)
3.         Syarat sah wudhu
a.         Islam.
b.        Mumayiz, karena wudhu itu merupakan ibadat yang wajib diniati, sedangkan orang yang tdak beragama islam dan orang yang belum mumayisctidak diberi hak untuk berniat.
c.         Tidak berhadas besar.
d.        Dengan air yang suci dan mensucikan.
e.         Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit, seperti getah dan sebagainyayang melekat diatas kulit anggota wudhu.
4.         Rukun wudhu
Rukun wudhu ada enam yaitu:
a.         Niat.
Niat artinya menyengajakan sesuatu serentak dengan melakukannya. Tempat dan pelaku niat itu adalah hati, namun sunah menyertainya dengan ucapan lisan untuk membantu pernyataan sengaja yang di dalam hati itu.
b.        Membasuh muka.
Basuhan ini mesti merata keseluruh wajah yaitu bagian depan kepala. Batas yang wajib dibasuh ketika berwudhu’ ialah memanjang dari tempat tumbuh rambut sampai dengan ujung dagu dan melintang dari daun telinga kedaun telinga lainya. Dalam membasuh muka air harus mengalir pada bagian luar kulit maupun rambut yang terdapat pada wajah.
c.         Membasuh tangan.
Kewajiban membasuh tangan pada wudhu’ didasarkan atas firman Allah, yang artinya: “dan tanganmu sampai dengan siku basuhlah itu meliputi keseluruhan tangan dari ujung-ujung jari sampai dengan kedua siku” (Al-ma’idah/5:6).
d.        Menyapu kepala.
Yang dimaksud dengan menyapu kepala ialah sekedar menyampaikan air tanpa mengalir, dengan meletakan tangan yang basah pada kepala.
e.         Membasuh kaki.
Dalam membasuh kaki, kedua mata kaki mesti ikut terbasuh sampai kedua mata kaki.
f.         Tertib.
Yang dimaksud dengan tertib ialah melakukan rukun-rukun wudhu’ itu sesuai dengan urutan yang tersebut pada ayat wudhu’ diatas dimulai dengan muka, tangan, kepala, dan kemudian kaki.[8]
5.         Hal-hal yang membatalkan wudhu
Orang-orang yang telah berwudhu’ dipandang suci dari hadats, akan tetapi ada beberapa hal yang dapat menghilangkan kesuciannya itu dan menyebabkan berhadats kembali. Yang membatalakan wudhu’ ada lima yaitu:
a.         Keluar sesuatu dari qubul dan dubur, berupa apapun benda padat, angin, atau cairan kecuali maninya sendiri, baik yang biasa maupun tidak, keluar dengan sendirinya atau dikeluarkan daripadanya.
b.        Tidur, kecuali dalam keadaan tidur dengan mantap.
c.         Hilang akal dengan sebab gila, mabuk, pitam, penyakit atau lain-lain. Batalnya wudhu’ dengan hilang akal adalah berdasarkan qiyas kepada tidur, dengan kehilangan kesadaran sebagai persamaan.
d.        Bersentuh kulit laki-laki dan perempuan.
e.         Menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan tanpa alas.
G.      Mandi
1.         Pengertian mandi
Yang dimaksud dengan mandi disini ialah mengakirkan seluruh badan dengan niat.[9]
2.         Dasar hukum
Firman Allah Swt:

لَا تَقْرَبُوا۟ الصَّلَوٰةَ وَأَنتُمْ سُكٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا۟ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِى سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا۟

Artinya: “Janganlah kamu sekalian kerjakan shalat dilaka kamu sedang mabuk hingga kamu mengetahui apa yang kamu katakan, dan jangan pula kamu kerjakan shalat ketika kamu sedang junub kecuali lewat mandi lebih dahulu”. (An-nisa ayat:43)
3.         Rukun mandi.
a.         Niat. Orang yang junub hendaklah berniat (menyengaja) menghilangkan hadas junubnya, perempuan yang baru habis haid atau nifas hendaknya berniat menghilangkan hadas kotornya
b.        Mengalirkan air ke seluruh badan
4.         Hal-hal yang membatalkan mandi wajib atau sebab-sebab wajib mandi.
a.         Bersetubuh, baik keluar mani ataupun tidak.
b.        Keluar mani, baik keluarnya dengan bermimpi ataupun sebab lain dengan sengaja atau tidak, dengan perbuatan sendiri atau bukan.
c.         Mati, orang Islam yamg mati, fardu kifayah atas muslimin yang hidup memandikannya, kecuali orang yang mati syahid.
d.        Haid, apabila seorang perempuan telah berhenti dari haid, ia wajib mandi agar ia wajib sholat dan dapat bercampur  dengan suaminya. Dengan mandi itu badannyapun menjadi segar dan sehat kembali.
e.         Nifas, yang dinamakan nifas ialah darah yang keluar dari kemaluan perempuan sesudah melahirkan anak. Darah itu merupakan darah haid yang terkumpul, tidak keluar sewaktu perempuan itu mengandung.
f.       Melahirkan, baik anak yang dilahirkan itu cukup umur ataupun tidak, seperti keguguran.[10]
H.      Tayamum
1.         Pengertian tayamum.
Tayammum adalah mengusap tanah kemuka dan kedua tangan sampai siku dengan beberapa syarat. Tayammum adalah penganti wudhu’ dan mandi, sebagai rukhsah (keringanan) untuk orang yang tidak dapat memakai air karena beberapa halangan (uzur) yaitu:
a.         Uzur karena sakit, kalau memakai air bertambah sakitnya atau lambat sembuhnya.
b.        Karena dalam perjalanan.
c.         Karena tidak ada air.[11]
2.         Dasar hukum.
Firman Allah Swt:
وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ
Artinya: “Dan apabila kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat dari buang air(kakus), atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik(bersih), sapulah mukamu dan kedua tanganmu dengan tanah itu”. (Al-Ma’idah/5:6).
3.         Syarat tayammum
a.         Sudah masuk waktu shalat.
Tayammum disyariatkan untuk orang yang terpaksa, sebelum masuk waktu shalat ia belum terpaksa, sebab shalat belum wajib atasnya ketika itu.
b.        Sudah diusahakan  mencari air tetapi tidak dapat, sedangkan waktu shalat sudah masuk.
c.         Dengan tanah yang suci dan berdebu.
d.        Menghilangkan najis.
4.         Rukun Tayammum.
a.         Niat, orang yang melakukan tayammum hendaklah berniat karena mengerjakan shalat. Bukan semata-mata untuk menghilangkan hadats saja, sebab sifat tayammum tidak dapat menghilangkan hadats hanya diperbolehkan karena darurat.
b.        Mengusap muka dengan tanah.
c.         Mengusap dua tangan sampai kesiku dengan tanah.
d.        Menertibkan rukun-rukun.[12]
5.         Hal-hal yang membatalkan tayammum.
a.         Tiap-tiap hal yang membatalakan wudhu’ juga membatalkan tayammum.
b.        Ada air, mendapat air sebelum shalat batallah tayammum, bagi oarang yang bertayammum karena ketiadaan air bukan karena sakit.[13]



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dalam makalah ini membahas tentenag pengertian thaharah, sebagai mana yang telah di jelaskan bahwa thaharah berarti bersuci. Dasar hukum thaharah ada dalam Al-qur’an surat al-ma’idah ayat 7.
Najis dan hadast adalah dua hal yang mempunyai arti tidak suci. Sedangkan cara mensucikannya ada berbagai macam cara ada yang dengan berwudhu, mandi besar (jinabat), bahkan ada juga dengan membersihkan hingga di ulang 7 kali. Itu semua tergantung pada jenis-jenis najis dan hadast yang dikenai.
Wudhu dan tayamum merupakan cara dalam mensucikan diri. Baik dari najis maupun dari hadast kecil dan hadast besar.

B.       Saran
Setelah disusunnya makalah mengenai Agama Islam II ini, diharapkan dapat menambah wawasan pembaca khususnya di mata kuliah Agama Islam II. Disamping itu kami juga menyadari bahwa pada makalah  ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami menerima kritik maupun saran yang membangun agar dalam pembuatan tugas selanjutnya lebih baik lagi.







DAFTAR PUSTAKA

Rasjid, S. 1987. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Rifa’I, M. 1978. Fiqh Islam Lengkap. Semarang: Karya Toha Putra.
Nasution, L. 1997. Fiqh Ibadah. Jakarta: PT. LOGOS Wacana Ilmu.
Ash-Shiddieqy, T. 1999. Kuliah Ibadah. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Ahnan, M. MZ, Labib. 1990. Tuntunan Shalat Lengkap. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.




[1] Sulaiman Rasjid, fiqih islam, (sinar baru algesindo, Bandung) Hlm: 13
[2] Sulaiman Rasjid, fiqih islam, ....... , Hlm: 16
[3] Sulaiman Rasjid, fiqih islam, ......., Hlm: 15
[4] M.Ahnan, tuntunan shalah lengkap, (bintang usaha jaya, Surabaya), Hlm:17-20
[5] Nasution L, fiqih ibadah, (PT Logos wacana ilmu, Jakarta), Hlm: 22
[6] Rifa’i M, fiqih islam lengkap, (karya toha putra, Semarang), Hlm: 21
[7] Nasution L, fiqih ibadah, ....... , Hlm: 26
[8] Ash-shiddieny, kuliah ibadah, ....... , Hlm:24
[9] Sulaiman rasjid, fiqih islam, ....... , Hlm: 34
[10] Rifa’i M, fiqih islam lengkap, ....... , Hlm:31
[11] Sulaiman rasjid, fiqih islam, ....... , Hlm: 39
[12] Sulaiman rasjid, ....... , Hlm: 40
[13] Sulaiman rasjid, fiqih islam, ....... , Hlm: 43