BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah itu bersih dan suci. Untuk menemuinya, manusia
harus terlebih dahulu bersuci dan disucikan. Allah mencintai sesuatu yang
bersih dan suci. Dalam hukum Islam bersuci dan sehala
seluk-beluknya adalah termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting terutama
karena diantaranya syarat-syarat sholat telah ditetapkan bahwa seseorang yang
akan melaksanakan sholat, wajib suci dari hadas dan suci pula badan, pakaian
dan tempatnya dari najis sehingga thaharah dijadikan sebagai alat dan cara
bagaimana mensucikan diri sendiri agar sah saat menjalankan ibadah.
B.
Rumusan
Masalah
1. Jelaskan
Pengertian, Dasar Hukum, Tujuan dan Alat Thaharah?
2. Jelaskan
Najis dan Hadats, serta cara mensucikannya?
3. Jelaskan
Pengertian, Dasar Hukum, Syarat dan Rukun Wudhu, Mandi, Tayammum?
C.
Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian, Dasar Hukum, Tujuan dan
Alat Thaharah.
2. Untuk
Memahami Najis dan Hadats, serta cara mensucikannya.
3. Untuk
Mengetahui Pengertian, Dasar Hukum, Syarat dan Rukun Wudhu, Mandi, Tayammum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Thaharah
Dalam hukum islam, soal
bersuci dan segala seluk beluknya dan termasuk bagian ilmu dan amalan yang
penting, terutamakarena diantara syarat-syarat salat telah ditetapkan bahwa
seseorang yang mengerjakan salat diharuskan suci dari hadas dan suci pula badan,
pakaian, dan tempatnya dari najis.
Firman Allah SWT:
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Al-Baqarah:222).[1]
B. Dasar Hukum Thaharah
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَوٰةِ فَاغْسِلُوا۟
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
وَامْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ
أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟
مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم
مِّنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللّٰـهُ لِيَجْعَلَ
عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ
عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿المائدة:٦﴾
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,
dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”. (Al-maidah).[2]
C. Tujuan dan Alat Thaharah
Tujuan
thaharah
adalah menghilangkan
najis, hadats kecil maupun besar agar Ibadah kita menjadi sah. Alat thaharah yaitu meliputi:
1.
Air
Macam-macam air dan pembagiannya:
a. Air yang
suci dan menyucikan.
Air yang
demikian boleh diminum dan sah dipakai untuk menyucikan (membersihkan) benda
yang lain. Yaitu air yang jatuh dari langit atau terbit dari bumi dan masih
tetap (belum berubah) keadaannya, seperti air hujan, air laut, air sumur, air
es yang sudah hancur kembali,
air embun,
dan air yang keluar dari mata air.
Firman Allah
SWT:
وَيُنَزِّلُ
عَلَيْكُم مِّنَ
السَّمَآءِ مَآءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِ
Artinya:”dan
Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan
itu” (Al-Anfal:11).
Perubahan
air yang tidak menghilangkan keadaan atau sifatnya “suci menyucikan”-walaupun
perubahan itu terjadi pada salah satu dari semua sifatnya yang tiga (warna,
rasa, dan baunya) sebagai berikut:
1)
Berubah karena tempatnya, seperti
air yang tergenang atau mengalir di batu belerang.
2)
Berubah karena lama tersimpan,
seperti air kolam.
3)
Berubah karena sesuatu yang terjadi
padanya, seperti berubah disebabkan ikan atau kambing.
4)
Berubah krena tanah yang suci,
begitu juga segala perubahan yang sukar memeliharanya, misalnya berubah karena
daun-daunan yang jatuh dari pohon-pohon yang berdekatan dengan sumur atau
tempat-tempat air itu.[3]
b. Air yang
suci tapi tidak menyucikan.
Zatnya suci
tapi tidak sah dipakai untuk menyucikan sesuatu. Yang termasuk bagian ini ada tiga macam
air yaitu:
1)
Air yang telah berubah salah satu
sifatnya karena bercampur dengan suatu benda yang suci, selain dari perubahan
yang tersebut di atas, seperti air kopi, the, dan sebagainya.
2)
Air sedikit, kurang dari dua kulah,
sudah terpakai untuk menghilangkan hadas atau menghilangkan hukum najis,
sedangkan air itu tidak berubah sifatnya dan tidak pula bertambah timbangannya.
3)
Air
pohon-pohonan atau air buah-buahan, seperti air yang keluar dari tekukan pohon
kayu (air nira), air kelapa, dan sebagainya. 3)
c. Air yang
bernajis.
Air yang termasuk bagian ini ada dua macam:
1)
Sudah berubah salah satu sifatnya
oleh najis. Air ini tidak boleh dipakai lagi, baik airnya sedikit atau banyak,
sebab hukumnya seperti najis.
2)
Air
bernajis, tetapi tidak berubah salah satu sifatnya. Air ini kalau sedikit
(berarti kurang dari dua kulah) tidak boleh dipakai lagi, bahkan hukumnya sama
dengan seperti najis.
3)
d. Air yang
makruh.
Yaitu yang
terjemur oleh matahari dalam bejana selain bejana emas atau perak. Air ini
makruh dipakai untuk badan, tetapi tidak makruh untuk pakaian, kecuali air yang
terjemur di tanah, seperti air saeah, air kolam, dan tempat-tempat yang bukan
bejana yang mungkin berkarat.
D. Najis
Suatu barang atau benda menurut hukum aslinya adalah suci selama taka
ada dalil yang menunjukkan bahwa benda itu najis. Benda najis itu banyak
diantaranya:
1.
Bangkai binatang darat yang berdarah
selain dari mayat manusia.
2.
Darah.
3.
Nanah.
4.
Arak setiap minuman yang memabukkan.
5.
Anjing dan babi.
Sementara itu cara mensucikan najis ada beberapa
macam, untuk melakukan kafiat mencuci benda yang kena najis,
terlabih dahulu akan diterangkan bahwa najis terbagi atas 3 bagian, yakni:
1.
Najis mugallazah (tebal), yaitu
najis anjing. Benda yang terkena najis ini hendaklah dibasuh dengan air yang
dicampur tanah.
طَهُوْرُاِنَاءِاَحَدِكُمْ
اِذَاوَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ اَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ اُوْلَاهُنَّ
بِالتُّرَا
Artinya; “Cara mencuci bejana
seorang dari kamu, apabila dijilat anjing hendaklah dibasuh tujuh kali, salah
satunya hendaklah dicampur dengan tanah”. (Riwayat Muslim)
2.
Najis mukhaffafah (ringan), misalnya
kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan lain selain ASI. Mencuci
benda yang kena najis ini sudah memadai dengan memercikan air pada benda itu,
meskipun tidak mengalir. Adapun kencing anak perempuan yang belum memakan
apa-apa selain ASI, cara mencucinya hendaklah dibasuh sampai air mengalir
diatas benda yang kena najis itu,dan hilang zat najis dan sifat-sifatnya,
sebagaimana mencuci kencing orang dewasa.
يُغْسَلُ مِنْ بِوْلِ الْجَارِيَّةِ
وَيُرَشُ مِنْ بَوْلِ الْغُلَامِ
Artinya: “kencing kanak-kanak
perempuan dibasuh dan kencing kanak-kanak laki-laki deperciki”. (Riwayat
Tirmidzi)
3.
Najis mutawassitah (pertengahan),
yaitu najis yang lain daripada kedua macam yang tersebut diatas . najis
pertengahan ini terbagi atas dua bagian, yakni:
a.
Najis hukmiah, yaituyang kita yakini
adanya, tetapi tidak nyata zat, bau, rasa, dan warnanya, seperti kencing yang
sudah lama kering, sehingga sifat-sifatnya telah hilang. Cara mencuci najis ini
cukup dengan mengalirkan air diatas benda yang kena itu.
b.
Najis ‘ainiyah, yaitu yang masih ada
zat, warna, rasa, dan baunya, kecuali warna dan bau yang sangat sukar
menghilangkannya, sifat ini dimaafkan. Cara mencuci najis ini hendaklah dengan
menghilangkan zat, rasa, warna, dan baunya.[5]
E.
Hadats
Hadats secara etimologi (bahasa), artinya tidak suci atau keadaan
badan tidak suci jadi tidak boleh
shalat. Adapun menurut terminologi (istilah) Islam, hadats adalah keadaan badan
yang tidak suci atau kotor dan dapat dihilangkan dengan cara berwudhu, mandi
wajib, dan tayamum. Dengan demikian, dalam kondisi seperti ini dilarang (tidak
sah) untuk mengerjakan ibadah yang menuntut keadaan badan bersih dari hadats
dan najis, seperti shalat, thawaf, ’itikaf.
Artinya shalat atau thawaf yang dilakukannya
dinyatakan tidak sah karena dalam keadaan berhadats. Adapun yang menjadi
sebab-sebabnya seseorang dihukumkan sebagai orang yang berhadats ada
bermacam-macam, yang kemudian oleh para ahli fikih dikelompkkan menjadi dua
macam yaitu hadats kecil dan hadats besar.[6]
Fuqaha
hadits dalam soal wudhu dan mandi mengamalkan sunnah-sunnah yang tidak
diperoleh oleh fuqaha-fuqaha yang lain. Mereka mencukupkan bersuci dari hadats
kecil dengan menyapu sepatu, serban atau penutup kepala (kudung) saja bagi
wanita.
Ummu
Salamah istri Rasul pernah menyapu atas kudungnya, sebagai ganti menyapu
kepala. Serta Abu Musa dan Anas pernah menyapu atas topinya (penutup
kepalanya).
Para
fuwaha tidak membolehkan kita menyapu atas penutup kepala. Mereka memerlukan
tersapu – walau – sedikit – kepala sendiri.Seperti yang telah diditerangkan di muka bahwa untuk
menghilangkan hadats keci seseorang hany diwajibkan berwudhu, sedang untuk
menghilangkan hadatas besar maka wajiblah mandi yang sesuai dengan tuntunan
syara’, namun kalau dalam keadaan darurat dapat juga dengan tayamum.[7]
F. Wudhu
1.
Pengertian wudhu
Menurut lughat wudhu’ adalah perbuatan
yang mengunakan air pada anggota tubuh tertentu. Sedangkan menurut hadist yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah, wudhu’
diwajibkan sebelum hijrah, pada malam isra’ mi’raj, bersamaan dengan shalat
wajib lima waktu, tetapi kewajiban itu dikaitkan dengan keadaan berhadats.
Selain itu pendapat lain mengatakan wudhu’ adalah suatu syarat untuk sahnya
shalat yang dikerjakan sebelum seseorang mengerjakan shalat.
Jadi wudhu’ adalah perbuatan yang
mengunakan air pada anggota tubuh tertentu, untuk syarat sahnya shalat yang
dikerjakan sebelim mengerjakan shalat.
2.
Dasar hukum wudhu
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا
قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَوٰةِ فَاغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى
الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ
وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ
أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ
تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللّٰـهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ
وَلٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿المائدة:٦﴾
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan basuhlah kakimu sampai dengan kedua mata kakimu...”
(al-Ma’idah/5:6)
3.
Syarat sah wudhu
a.
Islam.
b.
Mumayiz, karena wudhu itu merupakan
ibadat yang wajib diniati, sedangkan orang yang tdak beragama islam dan orang
yang belum mumayisctidak diberi hak untuk berniat.
c.
Tidak berhadas besar.
d.
Dengan air yang suci dan mensucikan.
e.
Tidak ada yang menghalangi sampainya
air ke kulit, seperti getah dan sebagainyayang melekat diatas kulit anggota
wudhu.
4.
Rukun wudhu
Rukun wudhu ada enam yaitu:
a.
Niat.
Niat artinya menyengajakan sesuatu serentak dengan
melakukannya. Tempat dan pelaku niat itu adalah hati, namun sunah menyertainya
dengan ucapan lisan untuk membantu pernyataan sengaja yang di dalam hati itu.
b.
Membasuh muka.
Basuhan ini mesti merata keseluruh wajah yaitu bagian depan
kepala. Batas yang wajib dibasuh ketika berwudhu’ ialah memanjang dari tempat
tumbuh rambut sampai dengan ujung dagu dan melintang dari daun telinga kedaun
telinga lainya. Dalam membasuh muka air harus mengalir pada bagian luar kulit
maupun rambut yang terdapat pada wajah.
c.
Membasuh tangan.
Kewajiban membasuh tangan pada wudhu’ didasarkan atas firman
Allah, yang artinya: “dan tanganmu sampai
dengan siku basuhlah itu meliputi keseluruhan tangan dari ujung-ujung jari
sampai dengan kedua siku” (Al-ma’idah/5:6).
d.
Menyapu kepala.
Yang dimaksud dengan menyapu kepala ialah sekedar
menyampaikan air tanpa mengalir, dengan meletakan tangan yang basah pada
kepala.
e.
Membasuh kaki.
Dalam membasuh kaki, kedua mata kaki mesti ikut terbasuh
sampai kedua mata kaki.
f.
Tertib.
Yang dimaksud dengan tertib ialah melakukan rukun-rukun
wudhu’ itu sesuai dengan urutan yang tersebut pada ayat wudhu’ diatas dimulai
dengan muka, tangan, kepala, dan kemudian kaki.[8]
5.
Hal-hal yang membatalkan wudhu
Orang-orang yang telah berwudhu’
dipandang suci dari hadats, akan tetapi ada beberapa hal yang dapat
menghilangkan kesuciannya itu dan menyebabkan berhadats kembali. Yang
membatalakan wudhu’ ada lima yaitu:
a.
Keluar sesuatu dari qubul dan dubur,
berupa apapun benda padat, angin, atau cairan kecuali maninya sendiri, baik
yang biasa maupun tidak, keluar dengan sendirinya atau dikeluarkan daripadanya.
b.
Tidur, kecuali dalam keadaan tidur
dengan mantap.
c.
Hilang akal dengan sebab gila,
mabuk, pitam, penyakit atau lain-lain. Batalnya wudhu’ dengan hilang akal
adalah berdasarkan qiyas kepada tidur, dengan kehilangan kesadaran sebagai
persamaan.
d.
Bersentuh kulit laki-laki dan
perempuan.
e.
Menyentuh kemaluan manusia dengan
telapak tangan tanpa alas.
G. Mandi
1.
Pengertian mandi
Yang dimaksud dengan mandi disini ialah mengakirkan seluruh
badan dengan niat.[9]
2.
Dasar hukum
Firman Allah Swt:
لَا
تَقْرَبُوا۟ الصَّلَوٰةَ وَأَنتُمْ سُكٰرَىٰ حَتَّىٰ
تَعْلَمُوا۟ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا
عَابِرِى سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا۟
Artinya: “Janganlah
kamu sekalian kerjakan shalat dilaka kamu sedang mabuk hingga kamu mengetahui
apa yang kamu katakan, dan jangan pula kamu kerjakan shalat ketika kamu sedang
junub kecuali lewat mandi lebih dahulu”. (An-nisa ayat:43)
3.
Rukun mandi.
a.
Niat. Orang yang junub hendaklah
berniat (menyengaja) menghilangkan hadas junubnya, perempuan yang baru habis
haid atau nifas hendaknya berniat menghilangkan hadas kotornya
b.
Mengalirkan air ke seluruh badan
4.
Hal-hal yang membatalkan mandi wajib
atau sebab-sebab wajib mandi.
a.
Bersetubuh, baik keluar mani ataupun
tidak.
b.
Keluar mani, baik keluarnya dengan
bermimpi ataupun sebab lain dengan sengaja atau tidak, dengan perbuatan sendiri
atau bukan.
c.
Mati, orang Islam yamg mati, fardu
kifayah atas muslimin yang hidup memandikannya, kecuali orang yang mati syahid.
d.
Haid, apabila seorang perempuan
telah berhenti dari haid, ia wajib mandi agar ia wajib sholat dan dapat
bercampur dengan suaminya. Dengan mandi
itu badannyapun menjadi segar dan sehat kembali.
e.
Nifas, yang dinamakan nifas ialah
darah yang keluar dari kemaluan perempuan sesudah melahirkan anak. Darah itu
merupakan darah haid yang terkumpul, tidak keluar sewaktu perempuan itu
mengandung.
f. Melahirkan,
baik anak yang dilahirkan itu cukup umur ataupun tidak, seperti keguguran.[10]
H. Tayamum
1.
Pengertian tayamum.
Tayammum adalah mengusap tanah
kemuka dan kedua tangan sampai siku dengan beberapa syarat. Tayammum adalah
penganti wudhu’ dan mandi, sebagai rukhsah
(keringanan) untuk orang yang tidak dapat memakai air karena beberapa
halangan (uzur) yaitu:
a.
Uzur karena sakit, kalau memakai air
bertambah sakitnya atau lambat sembuhnya.
b.
Karena dalam perjalanan.
c.
Karena tidak ada air.[11]
2.
Dasar hukum.
Firman Allah Swt:
وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ
أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لٰمَسْتُمُ
النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا
فَامْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ
Artinya: “Dan apabila kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali
dari tempat dari buang air(kakus), atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
mendapat air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik(bersih), sapulah
mukamu dan kedua tanganmu dengan tanah itu”. (Al-Ma’idah/5:6).
3.
Syarat tayammum
a.
Sudah masuk waktu shalat.
Tayammum disyariatkan untuk orang yang terpaksa, sebelum
masuk waktu shalat ia belum terpaksa, sebab shalat belum wajib atasnya ketika
itu.
b.
Sudah diusahakan mencari air tetapi tidak dapat, sedangkan
waktu shalat sudah masuk.
c.
Dengan tanah yang suci dan berdebu.
d.
Menghilangkan najis.
4.
Rukun Tayammum.
a.
Niat, orang yang melakukan tayammum
hendaklah berniat karena mengerjakan shalat. Bukan semata-mata untuk
menghilangkan hadats saja, sebab sifat tayammum tidak dapat menghilangkan
hadats hanya diperbolehkan karena darurat.
b.
Mengusap muka dengan tanah.
c.
Mengusap dua tangan sampai kesiku
dengan tanah.
d.
Menertibkan rukun-rukun.[12]
5.
Hal-hal yang membatalkan tayammum.
a.
Tiap-tiap hal yang membatalakan
wudhu’ juga membatalkan tayammum.
b.
Ada air, mendapat air sebelum shalat
batallah tayammum, bagi oarang yang bertayammum karena ketiadaan air bukan
karena sakit.[13]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam
makalah ini membahas tentenag pengertian thaharah, sebagai mana yang telah di
jelaskan bahwa thaharah berarti bersuci. Dasar hukum thaharah ada dalam
Al-qur’an surat al-ma’idah ayat 7.
Najis
dan hadast adalah dua hal yang mempunyai arti tidak suci. Sedangkan cara
mensucikannya ada berbagai macam cara ada yang dengan berwudhu, mandi besar
(jinabat), bahkan ada juga dengan membersihkan hingga di ulang 7 kali. Itu
semua tergantung pada jenis-jenis najis dan hadast yang dikenai.
Wudhu
dan tayamum merupakan cara dalam mensucikan diri. Baik dari najis maupun dari
hadast kecil dan hadast besar.
B.
Saran
Setelah disusunnya makalah mengenai Agama Islam II
ini, diharapkan dapat menambah wawasan pembaca khususnya di mata kuliah Agama
Islam II. Disamping itu kami juga menyadari bahwa pada makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari
itu kami menerima kritik maupun saran yang membangun agar dalam pembuatan tugas
selanjutnya lebih baik lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Rasjid, S. 1987. Fiqh
Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Rifa’I, M.
1978. Fiqh Islam Lengkap. Semarang: Karya Toha
Putra.
Nasution, L.
1997. Fiqh Ibadah. Jakarta: PT. LOGOS
Wacana Ilmu.
Ash-Shiddieqy,
T. 1999. Kuliah Ibadah. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Ahnan, M. MZ, Labib. 1990. Tuntunan Shalat
Lengkap. Surabaya: Bintang Usaha
Jaya.